Di sisi selatan Stadion Wilis Madiun, terdapatlah sebuah patung banteng. Awalnya, patung tersebut tidak berada di sisi selatan Stadion Wilis, melainkan di Taman Makan Pahlawan. Saat berada di Taman Makam Pahlawan, patung banteng tersebut ditempatkan di depan jalan protokol utama di Kota Madiun ini, menatap publik yang melintasi Jalan Pahlawan.
Saat Orde Baru berkuasa, patung banteng dipindahkan ke sisi selatan Stadion Wilis. Pertama kali saya melihat patung banteng tersebut adalah ketika saya berusia 10 tahun, yakni sekitar tahun 1989, lewat sebuah gambar sketsa patung banteng dan pejuang yang digambar almarhum bapak saya. Menurut cerita beliau yang saya ingat, sketsa tersebut dibuatnya pada era Orde Lama di masa muda almarhum. Beliau pun akhirnya berjanji untuk mengajak saya melihat patung banteng yang telah terpisah dari patung pejuang.
Pada suatu hari Minggu pada tahun 1989, bapak saya, yang kebetulan memiliki jiwa seni lukis, mengajak saya ke Stadion Wilis untuk melihat patung banteng dan darinya, saya mendapat banyak cerita tentang patung banteng. Dalam ingatan saya, patung banteng saat itu tertutup lapak–lapak penjual tanaman hias yang memenuhi sisi selatan Stadion Wilis. Kondisinya mengenaskan, berlumut dan catnya sudah mengelupas.
Saat saya masih menempuh pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di SMA Negeri 3 Madiun antara tahun 1995 s/d 1998, seringkali pelajaran olahraga dilangsungkan di dalam Stadion Wilis yang belum mengalami renovasi. Tribun Stadion Wilis masih berupa gundukan tanah dengan pohon–pohon yang tumbuh subur di tribunnya. SMA Negeri 3 Madiun kala itu berada di Jalan Suhud Nosingo yang berada 400 meter di selatan Stadion Wilis, jadi ketika berjalan kaki ke stadion, kami selalu melintasi sisi selatan Stadion Wilis. Patung banteng di sisi selatan Stadion Wilis masih tertutup oleh kios tanaman hias dengan kondisi yang masih mengenaskan dan tidak terawat.
Pada masa saya SMA, jarang sekali ada anak muda di Kota Madiun yang menyadari keberadaan patung banteng ini. Tersembunyi dari pandangan publik, rezim Orde Baru menyembunyikan patung banteng dari perhatian publik. Dalam pelajaran sejarah, tidak pernah sekalipun kami diwariskan narasi cerita tentang patung banteng oleh guru sejarah kami.
Rezim Orde Baru menganggap banteng sebagai simbol nasionalisme ala Partai Nasional Indonesia (PNI), partai nasionalis terbesar di masa Orde Lama yang dipaksa berfusi ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada pemilu kedua masa Orde Baru. Orde Baru merepresi partai–partai politik peninggalan Orde Lama untuk mengamankan dogma “pembangunan adalah panglima”. Patung banteng yang terbuka di depan publik dianggap sebagai ancaman atas dogma ini oleh penguasa. Bayangkan saja, lokasi penempatan sebuah patung pun tidak lepas kepentingan politik.
Di berbagai kota, binatang seringkali dijadikan simbol kebanggaan sebuah klub sepak bola. Di Surabaya, Persebaya memiliki nama julukan “Bajul Ijo” (buaya hijau). Nama julukan ini dilatarbelakangi oleh keberadaan gambar buaya pada lambang klub dan warna kebesaran Persebaya yang hijau. Di Malang, Arema memilih gambar singa pada lambang klub karena klub ini dilahirkan pada 11 Agustus 1987 dan tanggal 11 Agustus sendiri, berdasarkan perhitungan astrologi, masuk ke dalam naungan zodiak Leo yang disimbolkan oleh singa. Mereka pun dengan bangga menyebut diri mereka “Singo Edan”. Selain itu, ada pula Persija Jakarta dan Persib Bandung yang akrab dengan harimau (Macan Kemayoran dan Maung Bandung) serta PSS Sleman yang identik dengan Elang Jawa – burung langka yang hidup di Gunung Merapi.
Beruntunglah Madiun, di mana sebuah patung banteng bisa menjadi simbol bagi klub sepak bola lokal Madiun, Persatuan Sepak Bola Madiun (PSM) Madiun. Sejarah patung banteng tersebut bisa menjadi dalil yang kuat untuk menjadikan banteng sebagai identitas sepak bola Madiun. Dibuat oleh Trijoto Abdullah – pematung perempuan yang juga cucu pahlawan nasional Dokter Wahidin Sudirohusodo – pada tahun 1947, patung banteng dibangun untuk mengenang semangat warga Madiun dalam melawan agresi militer Belanda I. Dengan ekspresi banteng yang terlihat marah dan bertuliskan kata-kata “rawe–rawe rantas, malang–malang putung,” patung banteng di Madiun dikenal juga dengan banteng ketaton. Sebuah persembahan untuk rakyat Madiun dalam keberaniannya menentang agresi Militer Belanda.
Awalnya, bersama patung banteng, terdapatlah patung seorang pejuang yang memegang bambu runcing. Ketika patung banteng dipindahkan ke Stadion Wilis, patung pejuang ditinggalkan di Taman Makam Pahlawan. Dalam relasi kuasa dan pengetahuan ala Michel Foucault, pemisahan ini bisa dilihat sebagai strategi kuasa Orde Baru untuk mengeksklusi banteng sebagai simbol kepahlawanan.
Rezim Orde Baru akhirnya jatuh pada tahun 1998. Bersamaan dengan pembangunan kembali Stadion Wilis, patung banteng kembali terlihat dari pandangan publik yang melewati sisi selatan Stadion Wilis. Sayangnya, banteng ketaton belum mampu menyimbolkan kebangkitan klub bersejarah: PSM Madiun.
Sebagai salah satu pendiri PSSI, PSM Madiun – yang awalnya bernama Madioensche Voetbal Bond (MVB) – kini menjadi salah satu klub yang prestasinya paling menyedihkan. Alih–alih berprestasi, PSM Madiun justru terpuruk. Jangan bandingkan prestasi PSM Madiun dengan para pendiri PSSI yang lain: Persebaya Surabaya, Persis Solo, PSIM Yogyakarta, PPSM Magelang, Persija Jakarta dan Persib Bandung. Saya menghubungi Tri Agung Sudrajat, anak muda Madiun yang peduli dengan sepak bola dan sejarah lokal Madiun untuk mendapatkan informasi tentang PSM Madiun. Menurut informasinya darinya, PSM Madiun bahkan kini tidak ikut serta dalam Liga Nusantara.
Terpuruknya prestasi PSM Madiun ini sebenarnya bukan hanya isu lokal Madiun saja. Sebagai salah satu klub pendiri PSSI, PSM Madiun adalah artefak hidup dalam sejarah sepak bola Indonesia yang harus diselamatkan pencinta sepak bola nasional. Ketakutan saya adalah bahwa PSM Madiun suatu hari nanti akan lenyap sepenuhnya dari peta persepakbolaan Indonesia akibat keterpurukan dan kenihilannya mengarungi kompetisi. Tri Agung Sudrajat dan beberapa anak muda di Madiun yang memiliki kepedulian terhadap sepak bola lokal dan sejarah Madiun yang saya hubungi saat menyusun tulisan ini pun memiliki ketakutan yang sama tentang masa depan PSM Madiun.
Saat mudik lebaran, saya menyempatkan diri untuk mengajak anak saya, Elnino Profetika Zarathrustra (8 tahun) mendatangi patung banteng ketaton, seperti yang dilakukan almarhum bapak saya lebih dari 25 tahun lalu. Kepada Nino, saya ceritakan narasi tentang sejarah patung tersebut serta nasibnya yang sampai sekarang masih terpinggirkan dari pelajaran sejarah di bangku sekolah. Tak lupa, saya juga bercerita tentang sebuah klub sepak bola bernama PSM Madiun yang belum pernah sekalipun ia saksikan di layar kaca.
Pernah suatu kali saya bermimpi, saya pulang ke Madiun dan menyaksikan PSM Madiun bermain di Stadion Wilis pada level tertinggi sepak bola nasional. Di tribun, koreografi berbentuk banteng digelar oleh para pendukungnya menghiasi tribun Stadion Wilis. Sayangnya, itu semua hanya mimpi yang entah kapan akan terwujud.