Jika ada jam yang tidak normal seperti pada umumnya, penunjuk masa di Stadion Volkspark merupakan salah satunya. Alih-alih menunjukkan waktu terkini, jam digital di kandang Hamburger SV itu menampilkan durasi keikutsertaan klub tersebut di Bundesliga Jerman.
Jam itu mulai menghitung sejak salah satu kompetisi si kulit bulat terbesar di daratan Eropa tersebut dimulai, tepatnya pada musim 1963/1964. Kalkulasinya begitu detail, mulai dari tahun, hari, jam, menit, hingga satuan waktu paling kecil, detik.
Benda itu bak sahabat yang senantiasa mendampingi Si Dinosaurus. Baik ketika bergelimang prestasi pada era 1980-an hingga peertengahan 2000-an, maupun saat beberapa kali nyaris degradasi hingga akhir dekade lalu.
Meski tidak memiliki nama khusus, jam tersebut begitu spesial. Bagi suporter Hamburg, penanda waktu itu adalah kebanggaan, seperti sebuah simbol kebesaran. Pasalnya, klub mereka adalah satu-satunya yang belum pernah sekalipun terdegradasi.
Sejarah mencatat, tim-tim yang sempat mencicipi papan atas, seperti , Kaiserslautern, Bayer Leverkusen, dan Schalke saja pernah mengalami degradasi minimal sekali. Bayern Munchen malah baru mulai mentas pada tahun 1965.
Dengan rekor tersebut, Hamburg tentu saja berhak menepuk dada sebagai satu-satunya klub paling awet berada di kasta teratas sejak era Bundesliga dimulai. Suporter mana yang tidak bangga dengan prestasi itu.
Bagi pendukung Hamburg, Hal itu tentu menjadi alasan tersendiri untuk jumawa di hadapan suporter lain, bahkan di hadapan raksasa sebesar Munchen yang bergelimang gelar sekalipun. Dan rekor tersebut dipampangkan dengan sangat jelas di sisi tribun mereka, di sebuah jam digital.
Di sisi lain, penunjuk waktu itu juga menjadi beban tersendiri bagi setiap punggawa Hamburg. Ada tanggung jawab yang harus diusung para penggawa menyangkut harga diri di dalamnya. Detaknya terus mengingatkan mereka untuk berjuang dengan kemampuan penuh.
Apalagi replika jam tersebut juga dipajang di bus milik klub. Bahkan, di luar lapangan, semua anggota tim diingatkan untuk selalu menjaga agar detiknya dapat terus berganti. Yang berarti juga sebuah jewajiban utnuk mempertahankan status tak pernah degradasi.
Sayangnya, sejak periode 2010-an, Hamburg menjelma menjadi klub semenjana. Status sebagai klub besar yang pernah 6 kali menjuarai Bundesliga, 3 kali Piala Liga Jerman, dan satu trofi Si Kuping Besar, menguap begitu saja.
Ketidakberesan di tataran manajemen dan tak maksimalnya pekerjaan di ruang taktik membuat jam di Volksparkstadion sering melemah. Setidaknya tiga kali mereka hampir terperosot, tetapi takdir masih memihak si tua bangka dari kota pelabuhan terbesar kedua di Eropa itu.
Penanda waktu itu masih masih bisa terus bergulir, meski tertatih-tatih. Hingga akhirnya, Hamburg terdampar di posisi 17 klasemen pada pekan ke-33 Bundesliga musim 2017/2018. Jam tersebut kali ini sedang sekarat.
Si Dinosaurus berhasil memperpanjang napasnya saat berhasil menang tipis atas Borussia Monchengladbach di laga terakhir. Namun, skenario indah yang diharapkan tidak terjadi. Kemenangan Wolfsburg atas Koln menghempaskan nyawa simbol Stadion Volkspark itu.
Pada, 12 Mei 2018. jam tersebut berhenti berdetak di angka 54 tahun, 261 hari, 41 menit, dan 36 detik. Di tengah kemarahan dan sesal suporter yang melemparkan bom asap dan cerawat, benda itu menunjukkan waktu yang diarungi Hamburg di kasta teratas.
Sekaligus menandai kejatuhan klub tua itu ke kasta kedua. Sejak saat itu, punah sudah kebanggaan yang tadinya dapat dijumawakan oleh para suporter. Sejarah telah tercoreng, menyisakan malu dan luka yang tak terobati.
Pada akhir musim 2019/2020, penanda waktu tersebut sebenarnya hampir punya kesempatan untuk menjalani kehidupan keduanya. Hamburg sempat hanya membutuhkan satu poin saja untuk mendapatkan tiket play-off melawan peringkat 16 di kasta teratas.
Akan tetapi, di Stadion Volkspark, di depan jam digital tersebut, Si Dinosaurus justru terhempas. Kekalahan telak 1-5 atas SV Sandhausen membuat kesempatan itu melayang. Hamburg harus puas berada di posisi 4 klasemen Bundesliga 2.
Hasil itu sungguh pahit bagi suporter. Mereka harus rela menyaksikan klub kesayangannya berkubang di divisi dua satu musim lagi. Sebuah ironi jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, kala mereka masih bisa menepuk dada dengan rekor terpanjang berada di kasta teratas.