Dinding berupa batu-bata lima meter dengan mudah ditembus oleh banyak anak-anak pondok (pesantren). Melewati kuburan tengah malam, lari dari kejaran anjing gila, hanya untuk menonton pertandingan sepakbola. Jika ketahuan oleh teungku (ustaz), maka bersiaplah mendapat hukuman.
Itu sudah delapan tahun lalu, saat Cesar Bravo masih memperkuat PSLS Lhokseumawe, saat pejabat pemerintah menghamburkan uang rakyat untuk sepakbola. Saat gemuruh Stadion Tunas Bangsa -markas Laskar Pasee PSLS- masih terasa.
Tahun 2017, saya berharap sepakbola Indonesia sudah bisa masuk dalam pembahasan taktik dan bagaimana strategi permainan untuk memenangkan sebuah laga.
Namun, sayangnya itu belum sampai ke tanah Aceh. Pemain-pemain bola yang berkarier di Aceh, masih berkutat seputar menuntut gaji yang tak kunjung tuntas.
Saat PSLS Lhokseumawe bermain di Indonesia Premier League (IPL) tahun 2013, ada Camara Fassawa, Sergei Litvinov, dan Carlos Raul yang menjadi pujaan Pasee Mania –suporter PSLS- sebagai trio asing, meski saya sedikit kecewa pada Raul karena janji untuk tukar kaos di akhir musim, tidak ditepatinya.
Saya tetap maklum, mungkin karena gaji tak dibayar, imbasnya saya yang hanya penikmat bola, juga ikut tak dapat baju bernomor 27 itu. Tapi dia orang yang baik. Setiap saya ke hotel tempatnya menginap, ia tetap mengambil flashdisk untuk mengkopi isi memori kamera saya.
Namun, pengalaman di Indonesia mungkin tak akan dilupakan oleh kerabatnya, yang kini sudah dideportasi ke Rusia, Sergei Litvinov. Gajinya tak kunjung dibayar hingga sempat tak jelas hidupnya di Indonesia. Kini dia sudah menjadi pemain futsal di negaranya, Rusia.
Tahun 2017, adalah tahun pemilu, saya tidak terkejut ketika nasib Persiraja Banda Aceh akan ditentukan usai pemilu. Maklum saja, pemegang kendali Persiraja dari manajemen hingga basis fans adalah aktor politik.
Hal ini tentu punya makna ganda. Bisa bagus karena aktor politik punya kemampuan untuk “mencari uang”. Tapi, bisa juga justru klub tak dikelola dengan sebagaimana mestinya. Maka jangan penasaran ketika pemain Aceh banyak yang sukses ketika merantau, daripada bermain di tanah sendiri.
Melahirkan tim nasional yang disegani antarbangsa adalah tujuan akhir dari pembinaan pemain dalam sebuah kompetisi. Sayangnya, Liga 2 (Divisi Utama) Tak seksi dari segi pemasaran dan pemantauan pemain berbakat.
Artinya tidak diketahui bagaimana permainan tim-tim di kasta kedua ini, tidak kecuali siaran langsung di televisi, pemberitaan di media nasional pun kadang ada, sering tidak. Kecuali Persebaya Surabaya yang dimiliki oleh media besar Jawapos.
Kondisi serupa pun menimpa Persiraja Banda Aceh. Minimnya pemberitaan dan antusiasme publik jadi alasan manajemen mengapa sponsor sulit masuk dan nadi klub pun sulit berdenyut.
Alasan lain yang coba dikemukakan adalah letak geografis Aceh yang berada di ujung paling barat negeri, tapi kita tahu Persipura di ujung timur sukses berprestasi.
Regulasi baru untuk kompetisi Liga 2 sebenarnya baik untuk Persiraja. Klub dilarang menggunakan pemain asing. Usia pemain juga dibatasi maksimal 25 tahun dengan catatan diperbolehkan mempunyai pemain berusia di atas 25 tahun sebanyak lima pemain saja. Dan inilah yang Persiraja banget.
Jika dirata-ratakan, pemain klub berjuluk Laskar Rencong ini, diisi pemain berusia 22 tahun. Bahkan Persiraja sangat terbuka menampung pemain binaan PPLP Aceh.
Hal ini tentu sesuai dengan program Garuda Emas yang dicanangkan Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi. Program untuk mengantar Indonesia bermain di Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2026.
Namun, yang menyedihkan Persiraja masih sakit-sakitan. Kalau kompetisi mau bergulir, harus pikir-pikir dulu, ikut atau tidak. Padahal Aceh memiliki segudang pemain berbakat.
Bukan berandai-andai, lihat saja PPLP Aceh, dengan generasi pemain berbeda tetap mampu menjadi juara dua tahun berturut-turut. PPLP Aceh pada tahun 2015 dan 2016 meraih juara PPLP se-Indonesia, artinya Aceh memiliki bibit yang baik. Mereka siap dipanggil untuk menjadi bagian dari klub profesional.
Justru yang disayangkan saat ini adalah dengan besarnya potensi pemain muda di Aceh, tidak diikuti oleh pengelolaan klub yang profesional. Banyak pemain Aceh yang merantau, sebut saja alumni Persiraja, Syakir Sulaiman, Miftahul Hamdi di Bali United, Hendra Sandi di Bhayangkara FC.
Teranyar, tiga eks pemain Persiraja musim lalu kini sudah berlabuh ke Persebaya Surabaya, Fani Aulia, Andri Muliadi, dan Miswar Syahputra. Bahkan Fani membuktikan dirinya yang masih berusia 21 tahun adalah pemain bertalenta dengan mencetak satu gol di debutnya dalam Piala Dirgantara.
Walaupun usang, harapan untuk melihat Persiraja yang lebih sehat bertumpu pada kiprah Walikota Banda Aceh terpilih, Aminullah Usman. Beliau tentu sadar masyarakat rindu kiprah Laskar Rencong.
Setelah APBD tidak diperbolehkan untuk sepakbola profesional dan hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur kembali diperbolehkannya APBD seperti yang diwacanakan beberapa waktu lalu, pekerjaan untuk mengelola klub akan lebih berat.
Aminullah Usman perlu merapatkan barisan dengan manajemen Persiraja untuk menentukan langkah menatap masa depan. Mesti bagaimana mereka bersikap dan melangkahkan kaki, agar kita bisa kembali bersorak untuk Persiraja hingga bisa menikmati kembali kejayaan seperti era 1980-an.