Seorang sosiolog ternama, Olivier C. Cox, pernah berpendapat bahwa rasisme merupakan sebuah peristiwa atau situasi yang menilai berbagai tindakan dan nilai dalam suatu kelompok berdasar perspektif kulturalnya serta memandang semua nilai sosial masyarakat lain di luar diri mereka salah dan tidak dapat diterima.
Penyebabnya adalah budaya serta adat istiadat yang hidup dalam kelompok tersebut. Jika dikaitkan dengan permasalahan bangsa, rasisme juga turut disebabkan oleh kesenjangan sosial maupun ekonomi.
Sebagai salah satu cabang olahraga paling kondang di jagad raya, semua lapisan masyarakat, miskin maupun kaya, tua atau muda, berasal dari suku atau ras mana pun, pasti memainkan sepakbola.
Terlebih, sepakbola adalah kegiatan atau peristiwa di tengah kehidupan masyarakat dengan segala permasalahan yang kompleks, mulai dari problem sosial, politik hingga budaya.
Keberadaan sepakbola di tengah-tengah masyarakat membuatnya berpotensi dan selalu rentan digoyang masalah rasisme. Entah sudah berapa ribu kasus rasisme yang terjadi di dunia balbalan. Baik di benua Afrika, Asia, Amerika, Australia maupun Eropa.
Lebih ironis lagi, kasus rasisme di masa sekarang tak hanya terjadi secara langsung di stadion. Keberadaan media sosial, nyatanya juga memicu tindak rasisme di dunia maya.
Pada final Piala Dunia 2006 silam, Zinedine Zidane kedapatan menanduk Marco Materazzi. Kabarnya, hal tersebut dilakukan Zidane karena Materazzi mengatakan suatu hal yang buruk mengenai keluarganya.
Kasus rasisme lain yang menyita perhatian publik menimpa Samuel Eto’o kala ia masih bermain untuk Barcelona. Saat bertandang ke markas Racing Santander, dirinya diejek oleh pendukung tuan rumah dengan suara-suara yang meniru monyet. Eto’o kesal bukan main dan sempat ogah melanjutkan pertandingan.
Di Indonesia pun, kasus rasisme pernah terjadi. Seperti umpatan rasis suporter Sriwijaya FC saat timnya berjumpa Persipura Jayapura di Palembang.
Begitu pula dengan Mbida Messi, eks pemain Persib Bandung yang beroleh ejekan rasis dari suporter Persija Jakarta saat dua rival bebuyutan ini bertemu.
Terbaru, giliran Mario Balotelli yang mendapat perlakukan rasis. Hal itu terjadi ketika Balotelli memperkuat Brescia dalam lanjutan giornata kesebelas Serie A 2019/2020 versus Hellas Verona akhir pekan kemarin.
Ejekan rasis yang dilontarkan suporter Verona bikin Balotelli marah dan menendang bola ke arah tribun. Amarah yang meletup di dada pemain berjuluk Super Mario tersebut bikin dirinya ingin meninggalkan lapangan. Namun rekan-rekannya di I Rondinelle, coba menenangkan Balotelli agar tak keluar lapangan.
Mario Balotelli responded to the racist chants by kicking the ball into the stands.
His teammates and match officials convinced the striker to remain on the pitch. pic.twitter.com/vvzuY7oBHZ
— ESPN FC (@ESPNFC) November 3, 2019
Makin menyedihkan, pelatih Verona, Ivan Juric, mengklaim bahwa tidak ada perlakuan rasis yang dilakukan tifosi I Gialloblu. Padahal, video yang memperlihatkan hal sebaliknya sudah tersebar di media sosial.
Verona fans waiting for Mario Balotelli to touch the ball so they can racially abuse him with monkey noises.
I still can’t believe we’re witnessing stuff like this in 2019. This is absolutely disgusting. pic.twitter.com/Ewzhp1SL8T
— The Futbol Page (@TheFutbolPage) November 4, 2019
Federasi tertinggi sepakbola dunia (FIFA), sebenarnya sudah sejak lama melakukan kampanye anti-rasisme. Lewat slogan yang berbunyi. “Say No To Racism,” FIFA berharap semua pihak dapat menghentikan segala hal yang berbau rasisme di ranah sepakbola. Namun kenyataanya, rasisme masih sering terjadi hingga saat ini.
Pasalnya, pelaku rasisme acap tak mendapat hukuman yang tegas. Padahal, untuk menghentikan praktek rasisme, dibutuhkan penegakan aturan yang tidak pandang bulu. Tak perlu takut dianggap kejam atau kelewat batas. Toh, tindakan dari para pelaku rasisme juga sudah berlebihan dan tak manusiawi.
Peran Penting Federasi
Menangani kasus rasisme memang tidak mudah, bahkan sesudah FIFA menginisiasi kampanye anti-rasisme. Kendati demikian, federasi sepakbola dari masing-masing negara kudu bergerak aktif dan sungguh-sungguh buat memberantas persoalan ini sebab merekalah yang punya wewenang untuk merancang aturan sekaligus menentukan bentuk hukuman bagi pelaku rasisme.
Jika federasi tak memperlihatkan keseriusan akan hal tersebut, mustahil melihat rasisme lenyap dari kancah sepakbola karena seperti yang telah ditulis di bagian awal artikel ini bahwa rasisme memang ada di dalam masyarakat sebagai perwujudan dari perspektif kulturalnya.
Sepakbola, bagaimanapun juga, mesti dijauhkan sejauh-jauhnya dengan rasisme. Betapapun sulitnya, langkah nyata memberantas rasisme wajib diambil. Khususnya oleh federasi-federasi sepakbola yang ada di seluruh dunia.
Sementara kita, para suporter, dapat mencegah tindak rasisme dengan lebih mengontrol perilaku. Baik saat berada di stadion maupun aktif di media sosial. Alih-alih menjadi pelaku rasisme, sudah sepantasnya kita menjadi pionir untuk tidak melakukan itu.
Mendukung tim kesayangan di stadion dengan cara yang benar adalah keharusan. Menjaga jemari agar tidak menulis hal-hal di luar batas (yang bersinggungan dengan rasisme) juga sebuah keharusan. Kita mesti ingat bahwa rasisme tak sepatutnya mendapat tempat di sepakbola.