Nama negara Saint Kitts & Nevis barangkali asing untuk banyak orang. Namun untuk penggemar sepakbola Indonesia, pasti mengenal negara mungil yang terletak di Kepulauan Karibia tersebut.
Per 2018, St. Kitts & Nevis memiliki penduduk sekitar 56 ribu orang. Dari jumlah itu, ada satu nama yang abadi di ingatan penggemar sepakbola Indonesia. Dialah Keith Kayamba Gumbs.
Pernah ada momen di mana kancah sepakbola Indonesia terlalu menyedihkan untuk dikenang. Momen itu berlangsung pada 2011 sampai 2013.
Pertandingan sepakbola pada masa itu seakan tanpa makna. Segalanya kalah oleh pertentangan kepentingan yang terjadi di luar lapangan.
Federasi sepakbola Indonesia (PSSI) digoyang dualisme setelah muncul Komisi Penyelamatan Sepakbola Indonesia (KPSI).
Akibatnya, liga terbelah dua, sejumlah klub mengalami dualisme, sampai adanya dua tim nasional Indonesia berdasarkan masing-masing organisasi.
Tanggal 29 Februari 2012 tentu sulit dilupakan publik sepakbola Indonesia. Skuad Garuda yang tampil di Kualifikasi Piala Dunia 2014 kala itu digunduli Bahrain dengan skor 0-10!
Di media massa, baik cetak maupun elektronik, begitu sering mempertontonkan perdebatan tak kenal akhir di antara Djohar Arifin dengan kroninya versus La Nyalla Matalitti beserta pendukungnya.
Di tengah segala sengkarut yang terjadi ketika itu, Kayamba hadir bak seorang penghibur sejati.
Andai kompetisi Indonesian Super League dibukukan, saya rasa Kayamba layak mejeng sebagai salah satu pemain yang ada di sampulnya.
Datang ke Indonesia, klub asal Sumatra Selatan, Sriwijaya FC, menjadi pelabuhannya. Kayamba hadir tidak di usia terbaiknya sebagai pesepakbola.
Bahkan, saat memulai kariernya di kancah sepakbola nasional, Kayamba sudah berumur 34 tahun!
Ada banyak pihak yang meragukan kapabilitas Kayamba saat itu. Masa aktifnya sebagai pemain juga dinilai takkan lama.
Akan tetapi, Kayamba menepis semua anggapan miring tersebut. Di Indonesia, ia melejit sebagai salah satu striker asing terbaik.
Pada musim pertamanya di Indonesia, Kayamba berhasil mengantar Laskar Wong Kito menjadi Double Winners dengan merebut gelar Indonesian Super League dan Copa Dji Sam Soe.
Kemampuannya sebagai mesin gol dieksploitasi dengan apik. Saya bahkan merasa Kayamba saat itu mirip dengan Wayne Rooney yang beringas di lini serang Manchester United.
Namun yang paling spesial bagi saya adalah musim pamungkasnya bersama Sriwijaya FC yang berujung pada gelar ISL 2011/2012. Menarik sebab di momen itu dirinya juga berstatus pelatih fisik.
Di tengah dualisme yang terjadi, Kayamba menyihir mata para penggemar sepakbola Indonesia dengan aksi-aksi memukaunya di atas lapangan.
Tak cuma itu sebab perangainya di lapangan juga menyenangkan. Kayamba dikenal ndagel alias suka bercanda.
Ia sering melakukan selebrasi gol dengan berbagai gimmick. Kayamba kadang berakting sendirian seraya berjalan koprol di sudut lapangan, menarik jerseinya sendiri sambil jalan mundur atau mengajak rekan setimnya berparodi.
Jujur saja, saya selalu menunggu aksi-aksi Kayamba. Baik saat mencetak gol maupun berselebrasi. Saya merasa ada hiburan luar biasa darinya.
Kesuksesan Kayamba mengantar Sriwijaya FC menjuarai ISL untuk kali kedua membuat namanya melegenda di Palembang dan Sumatra Selatan.
Saya merasa beruntung sempat menyaksikan aksi Kayamba pada masa itu. Masa-masa di mana saya punya banyak obsesi sebagai Anak Baru Gede (ABG).
Gaya Kayamba menjadi alasan mengapa saya tergugah berakting selepas mencetak gol di sudut pelataran sekolah dasar pada sore hari sambil menunggu azan Maghrib.
Hari ini mungkin saya malu untuk melakukannya di depan mata orang-orang dewasa.
Menyenangkan pula bagi Anda sekalian yang memaktub aksinya dari mata, lantas Anda simpan di kepala Anda sendiri.
Bagaimana tidak, sulit hari ini untuk mendapatkan arsip-arsipnya dengan format terbaik di internet.
Mata Anda akan diuji dengan menyaksikan video-video dengan kualitas ala kadarnya di kanal berbagi video seperti YouTube.
ISL purna di akhir tahun 2012, tentu tak ada kiamat, kendati sepakbola Indonesia sempat terkoyak sebelum kiamat.
Tahun berganti, mata Asia batal menyaksikan aksi-aksinya ndagel striker berkepala plontos ini diimpor ke Benua Kuning.
Bukan karena ia kadung pindah ke Arema setelahnya, melainkan karena ISL secara de jure tak diakui sebagai liga resmi, dan Sriwijaya FC gagal manggung di Asia.
Fakta itu menyadarkan saya bahwa era Kayamba di Sriwijaya FC merupakan salah satu hal terbaik yang pernah mata kepala saya saksikan dari lapangan hijau.
Kayamba adalah penghibur sejati dengan semua aksi yang pernah ia tampilkan.