Ketika Ronaldo dan Messi Kembali Menjadi Manusia

Malam yang dingin menusuk tulang di kota Moskow. Namun malam itu berbeda dibanding sebelumnya. Moskow sedang gegap gempita menyambut dua tim terbaik Eropa, Manchester United dan Chelsea.

Malam itu tanggal 21 Mei 2008, Stadion Luzhniki di Moskow menggelar final Liga Champions yang disorot ratusan juta pasang mata dari seluruh dunia.

Saat pertandingan berlangsung, seorang pemuda 23 tahun menunjukkan kualitasnya dengan mencetak gol melalui sundulan memanfaatkan umpan silang Wes Brown.

Akan tetapi, sepakan Frank Lampard berhasil menyamakan kedudukan tak lama kemudian. Pertandingan berlanjut ke babak adu penalti setelah tiada gol lagi yeng tercipta usai 90 menit waktu normal dan perpanjangan waktu.

Pemuda yang mencetak gol tadi menjadi penendang pertama, sayangnya gagal menjaringkan bola dari titik putih.

Beruntung, tim yang dibelanya tetap memenangkan pertandingan, berkat aksi Edwin Van der Sar yang mementahkan eksekusi Nicholas Anelka dan sedikit sentuhan Dewi Fortuna yang bikin John Terry terpeleset. Pemuda itu adalah Cristiano Ronaldo.

Setahun berselang, Ronaldo menemukan pesaing terberatnya. Kali ini di kota Roma yang menyajikan malam lebih hangat tertanggal 27 Mei 2009.

Pada partai final ajang yang sama, Ronaldo dan kolega tak berkutik menghadapi umpan-umpan pendek Barcelona yang terlihat mempesona namun mematikan.

Klimaks pertandingan itu adalah ketika seorang anak muda yang terlihat pendek menyundul bola hasil umpan manis Xavi Hernandez ke gawang United.

Van der Sar hanya bisa terpana melihat bola menerjang gawangnya. The Red Devils dipermalukan Blaugrana dua gol tanpa balas. Pemuda yang bikin gol sundulan itu adalah Lionel Messi.

Ronaldo sepertinya penasaran dengan anak ajaib ini. Setelah malam yang sendu di Roma, dia pindah ke Real Madrid untuk menjajal kemampuan Messi dan Barcelona.

Awal karier Ronaldo di Semenanjung Iberia tidak langsung berjalan mulus. Produksi gol Ronaldo masih mejan di musim 2009/2010.

Ronaldo juga masih belum bisa berbuat banyak saat menghadapi Messi. Dua pertandingan pertamanya di El Clasico menghasilkan kekalahan bagi Madrid yang ketika itu diasuh Manuel Pellegrini.

Namun perlahan tapi pasti, Ronaldo dan penggawa Madrid mulai bisa mengimbangi Barcelona yang saat itu sangat perkasa.

Musim berikutnya di bawah asuhan Jose Mourinho, Ronaldo kembali menemukan performa terbaiknya. Torehan gol dan asis mulai mengalir dari kaki dan kepalanya, sebagaimana sewaktu membela United.

Di pentas La Liga, sepakan penalti Ronaldo memimpin Los Blancos menahan imbang Barcelona di Santiago Bernabeu, meskipun sebelumnya dihajar lima gol tanpa balas di Camp Nou.

Ronaldo akhirnya bisa mengalahkan Messi di final Copa del Rey 2010/2011 berkat sundulannya yang menjadi satu-satunya gol dalam final itu.

Di sisi lain, Messi dan pemain Barcelona lainnya mulai terusik dengan kehadiran Ronaldo di La Liga. Sang entrenador, Pep Guardiola, harus meracik ulang strategi setiap kali bersua Madrid.

Kekalahan di final Copa Del Rey terbalaskan di semifinal Liga Champions musim yang sama. Blaugrana melibas Los Blancos dengan skor agregat 3-1.

Musim berikutnya, giliran Ronaldo dan kawan-kawannya yang berpesta. Madrid berhasil memutus dominasi Barcelona yang sebelumnya menjuarai La Liga tiga tahun berturut-turut.

BACA JUGA:  Harapan yang Hadir Kembali Bagi Sergi Roberto

Barcelona lalu bangkit dan jadi juara lagi pada musim 2012/2013 di bawah asuhan mendiang Tito Vilanova, asisten pelatih yang naik pangkat menjadi pelatih utama tepat setelah Guardiola mundur.

MMessi menjadi aktor utama dengan menjadi pencetak gol terbanyak dalam satu tahun kalender, memecahkan rekor Gerd Muller.

Selama satu dekade terakhir, praktis La Liga Spanyol hanya dikuasai dua tim tersebut, tentu dengan bumbu persaingan pemain andalan di masing-masing klub: Ronaldo di Madrid dan Messi di Barcelona.

Hanya Atletico Madrid yang sempat menodai persaingan kedua kubu ini dengan menjadi kampiun di musim 2013/2014.

Tidak hanya di panggung domestik, persaingan kedua kubu ini  berlanjut ke Benua Biru.

Tercatat dari tahun 2009 hingga 2019, Barcelona merengkuh trofi Liga Champions sebanyak tiga kali, sementara Real Madrid empat kali, termasuk mengangkat Si Kuping Besar tiga tahun berturut-turut.

Aktor utama pun sama, yakni Ronaldo dan Messi. Rekor demi rekor dipecahkan oleh dua pemain ini. Kedua pemain ini bak protagonis dan antagonis di film layar lebar bagi masing-masing penggemarnya. Tak heran jika Goal menobatkan rivalitas kedua pemain ini menjadi The Best of Decade di akhir tahun 2019.

Euforia pecinta sepakbola di berbagai penjuru bumi tertuju kepada persaingan kedua pemain ini, puncaknya pada tahun 2010 hingga 2013.

Ketika itu saya masih di pondok pesantren, namun tidak menyurutkan atensi para santri terhadap sepak bola. Televisi boleh dinyalakan saat akhir pekan, sehingga para santri masih bisa menikmati pertandingan sepak bola, meski tidak sebebas masyarakat pada umumnya.

Selama di pondok saya menyaksikan dua kali pertandingan El Clasico. Pertama saat musim 2011/2012 di Santiago Bernabeu. Pertandingan kala itu digelar di hari Minggu pagi Waktu Indonesia Barat sehingga santri ramai-ramai menonton pertandingan setelah salat subuh.

Pertandingan di pagi yang dingin itu dimenangkan Barcelona dengan skor 3-1. Yang kedua di musim berikutnya tepat di malam minggu, saat sedang tidak ada kegiatan. Kali ini Madrid yang mengukuhkan kemenangan dengan skor 2-1.

Tentu saja para santri menantikan gocekan-gocekan maut Messi dan Ronaldo. Para santri sangat terpukau dengan aksi-aksi kedua pemain ini di lapangan hijau. “Gila, udah kayak main PS aja”, ujar teman saya waktu itu.

Di pondok pesantren saja atensi pada kedua pemain ini sudah tinggi, apalagi di luar pondok. Saya yakin lebih meriah lagi. Tidak dipungkiri memang partai El Clasico menjadi pertandingan yang paling ditunggu-tunggu saat itu.

Pada awal musim 2018/2019, Ronaldo hijrah ke Juventus. El Clasico tidak seseru sebelumnya lagi. Pada titik ini, mulai terlihat penurunan performa kedua pemain, seiring usia yang semakin uzur.

Memang mereka masih mampu membawa Barcelona dan Juventus menjuarai liga domestik, namun mereka mulai kewalahan di Liga Champions.

Ronaldo dipermalukan anak-anak muda Ajax Amsterdam di kandang sendiri. Sementara Messi tertunduk lesu kala timnya dihajar Liverpool empat gol tanpa balas di Anfield, padahal sudah unggul tiga gol terlebih dahulu di Camp Nou.

Musim selanjutnya pun demikian, Juventus disingkirkan Lyon, Barcelona dihancurkan Bayern Munchen. Inkonsistensi performa kedua pemain tersebut berlanjut ke musim ini. Ya, kilau mereka mulai sirna kendati aksi-aksinya tetap mengagumkan.

BACA JUGA:  Les Poteaux Carrés: Kisah AS Saint Etienne dan Tiang Gawang

Tidak diragukan lagi, kedua pemain ini memiliki kemampuan dribel yang luar biasa, determinasi yang tinggi, dan konsistensi di level tinggi yang sangat lama.

Namun publik lupa, bahwa ini adalah olahraga sepak bola. Kemenangan dalam sepakbola bukan mutlak ditentukan oleh pemain yang paling cepat larinya, yang paling kuat fisiknya, atau yang paling banyak melewati lawan.

Faktor-faktor tersebut hanya aspek tambahan yang masih bisa diganti dengan aspek lain sesuai kapasitas dan kebutuhan tim.

Kemenangan dalam sepakbola ditentukan oleh strategi dan taktik mana yang paling efektif dari kedua tim yang bertanding. Ditambah olahraga ini melibatkan 22 orang di atas lapangan yang berebut satu bola, tentu menjadi semakin rumit dan banyak faktor yang mempengaruhinya.

Tidak hanya Ronaldo dan Messi, rekan-rekan setim mereka juga berperan penting dalam upaya merengkuh kesuksesan.

Tanpa kelihaian Xavi dan Andres Iniesta, Messi tidak bisa mendapatkan umpan-umpan manja. Tanpa ketangguhan Nemanja Vidic dan Rio Ferdinand, United akan kebobolan lebih banyak di lini belakang yang pasti memperberat tugas Ronaldo buat mencetak gol.

Jangan lupakan kesigapan Marc Andre Ter Stegen, Keylor Navas, Van der Sar, dan Iker Casillas di bawah mistar gawang yang tidak bisa dianggap enteng.

Kelemahan kedua pemain ini tersingkap ketika membela negaranya masing-masing, Portugal dan Argentina. Ronaldo hanya membawa Portugal sekali juara Piala Eropa tahun 2016.

Prestasinya masih kalah jauh dibanding kiprah Ronaldo Nazario de Lima, Ronaldinho, Rivaldo, Juninho, Kaka, Cafu, dan Roberto Carlos di tim nasional Brasil.

Pemain-pemain di atas mungkin tidak meraih trofi Liga Champions sebanyak Ronaldo dan Messi, namun mereka memiliki prestasi yang seimbang di level klub dan negara.

Sementara itu kita semua tahu Messi tidak mampu menyumbang gelar apapun untuk Argentina di level senior. Fakta ini menunjukkan bahwa sejatinya Ronaldo dan Messi tetaplah seorang manusia biasa. Manusia yang masih mempunyai banyak kekurangan seperti kita.

Kehidupan manusia laksana roda yang berputar. Kita berusaha semaksimal mungkin sampai berhasil merengkuh kejayaan. Namun jangan lupa, suatu saat nanti kita akan memasuki fase senjakala sedikit demi sedikit.

Tuhan sengaja merancang seperti itu agar kita tidak angkuh dan senantiasa mengingat-Nya. Pepatah ini juga berlaku bagi Ronaldo dan Messi.

Berangkat dari keterbatasan, keduanya melewati berbagai ujian hingga mencapai puncak kesuksesan.

Ronaldo berangkat dari kemiskinan dan kehilangan ayahnya karena kecanduan alkohol. Messi sempat kehilangan impian akibat kelainan hormon pertumbuhan. Mereka terus berusaha hingga merengkuh berbagai penghargaan dan trofi bergengsi di pentas Eropa.

Sekarang kesuksesan itu memudar sedikit demi sedikit kembali ke titik semula. Namun hasil kerja keras kedua pemain ini sangat patut untuk diapresiasi.

Kelak ada kisah panjang yang diceritakan ke anak cucu kita, bahwa terdapat dua insan yang pernah bersaing secara sehat untuk menjadi yang terbaik dalam kancah sepak bola. Pencapaian Ronaldo dan Messi akan terus dikenang dalam catatan sejarah dan tak akan terlupakan, untuk selama-lamanya.

Komentar
Tirta Indah Perdana adalah fans Arsenal yang terlalu sabar. Bisa dihubungi di twitter @tirtagooners