Piala Dunia 2010 Afrika Selatan penuh bising dari dalam hingga luar lapangan. Suara-suara vuvuzela mengiringi laga-laga akbar ketika para pemain mengolah Jabulani dengan kaki-kaki terampil mereka. Ya, Jabulani, bola resmi Piala Dunia 2010 yang diproduksi oleh Adidas. Jabulani mendulang banyak kritik dan menyebabkan masalah untuk para pemain. Namun, tidak untuk Diego Forlan. Cachavacha, julukannya berhasil masuk ke jajaran pencetak gol terbanyak dalam turnamen empat tahunan tersebut.
Piala Dunia sebagai event sepakbola terbesar memang akan selalu menjadi sorotan. Tak terkecuali bola yang digunakan. Dalam dua edisi turnamen sebelumnya, bola Fevernova pada 2002 dan Teamgeist untuk Piala Dunia 2006 juga tak luput dari keluhan. Fevernova dianggap terlalu ringan dan lebih mudah memantul sedangkan Teamgeist terasa terlalu berat sehingga dinilai hanya menguntungkan para juru gedor lapangan. Begitu pun Jabulani yang sudah banyak mendulang komentar pedas sebelum ditendang pertama kali dalam laga resmi di Afrika Selatan.
Menurut penilaian banyak pemain, pergerakan Jabulani sukar ditebak. Gianluigi Buffon menggambarkan Jabulani seperti bola pantai, sementara testimoni Julio Cesar menyematkan label “bola supermarket” terhadapnya. Forlan, dengan sabar melihat kekurangan Jabulani sebagai peluang.
Ia menerima ketidaksempurnaan Jabulani, lalu menemukan keindahan di baliknya. Direktur Sepakbola Adidas Amerika, Antonio Zea mengklaim bahwa bola tersebut telah melewati pengetesan dan memenuhi standar FIFA dengan tingkat akurasi 27 persen lebih tinggi dibanding bola-bola yang beredar di pasaran waktu itu.
Layaknya Tsubasa, Forlan menganggap Jabulani sebagai teman. Beberapa bulan sebelumnya, secara personal Forlan telah berupaya membangun hubungan baik dengan bola yang penuh ketidakpastian itu. “Tiga bulan sebelum Piala Dunia 2010, Forlan meminta Adidas untuk mengirimkan bola Jabulani kepadanya. Di Madrid, dia tetap tinggal setelah sesi latihan, berlatih dengan bola (Jabulani). Dia adalah satu-satunya orang yang berhasil menjinakkan bola itu,” ungkap Sebastian Abreu, rekan senegaranya.
Ia kemudian menghasilkan gol-gol spektakuler di Afrika Selatan, mengiringi kiprah gemilang Uruguay hingga ke semifinal. Gol tembakan jarak jauhnya dalam kemenangan 3-0 Uruguay atas tuan rumah dalam sekejap membisukan vuvuzela yang dibawa oleh para pendukung Afrika Selatan. Bolanya memang mengalami defleksi, tapi tak menihilkan fakta bahwa tembakan Forlan berteknik tinggi.
Di laga versus Ghana dan Belanda juga demikian. Lengkungan dan kekuatan sepakannya tak tertandingi kala itu. Hanya gol keduanya ke gawang Afrika Selatan yang berasal dari titik putih. Selebihnya, luar biasa. Belum lagi soal golnya ke gawang Jerman di pertandingan perebutan tempat ketiga. Tendangan first time-nya memantul indah mengantarkan sang Jabulani melesat masuk ke gawang Der Panzer kawalan Hans-Jorg Butt.
https://twitter.com/AhmedMA4_9/status/1589051919187968000
Di akhir turnamen, eks penyerang Manchester United itu dinobatkan sebagai pemain terbaik berkat kontribusinya untuk Uruguay melalui dua kaki sama kuat yang telah terbiasa dengan Jabulani. Sejak 2008 sebelum Piala Dunia 2010 berlangsung, ia menjalani masa-masa indah di La Liga bersama Atletico Madrid.
28 gol lahir di musim pertamanya berseragam Los Rojiblancos. Berlanjut ke tahun kedua, pasangan duet Sergio Aguero itu semakin tajam hingga mampu melampaui capaian gol Samuel Eto’o dengan koleksi 32 gol dari 33 laga di Spanyol. Ia kemudian mengakhiri musim sebagai top skor.
Semusim sebelum Piala Dunia 2010, tepatnya pada 2009/2010, ketajamannya juga masih terasah. 28 gol dan 10 assists lahir dari talenta dan kerja kerasnya di lapangan. Piala Dunia 2010 benar-benar menjadi klimaks untuk kariernya. Uruguay menjadi tim terproduktif ketiga dalam edisi itu, hanya kalah dari Jerman (16 gol) dan Belanda (12 gol). Parade gol-gol Forlan menyumbang lima dari total 11 gol Timnas Uruguay dan membawa La Celeste melaju ke semifinal untuk pertama kali dalam 40 tahun terakhir.