Kobe Bryant dan Sejumput Kisah Rivalitas dalam Satu Tim

Kompetisi National Basket Association atau populer dengan akronim NBA musim 2015/2016 telah memulai babak playoffs per Minggu (17/4) waktu Indonesia. Ada 16 tim yang bertarung guna memperebutkan Larry O’Brien Trophy alias gelar juara.

Sayangnya, dari 16 tim tersebut, nama Los Angeles Lakers tidak masuk daftar. Ya, klub peraih 16 gelar juara NBA, terbanyak kedua setelah Boston Celtics, memang gagal lolos ke playoffs karena hanya menyelesaikan musim dengan rekor menang kalah amat buruk 17-65.

Jeleknya performa Lakers ini sendiri seakan menjadi penutup karier yang tak ciamik untuk legenda Lakers, Kobe Bryant, yang memutuskan untuk pensiun begitu musim ini berakhir. Kobe, yang memperkuat Lakers sejak 1996 memilih untuk mengakhiri karier basketnya pada usia 37 tahun setelah cukup sering bergelut dengan cedera dalam beberapa waktu belakangan ini.

Namun Kobe tetaplah Kobe, di partai resmi terakhirnya pekan lalu (14/4) melawan Utah Jazz di Staples Center, dirinya sukses mencetak 60 poin guna membawa Lakers menang 101-96. Catatan 60 poin ini sendiri merupakan rekor angka tertinggi dalam satu pertandingan yang bisa dibuat pebasket di NBA musim ini.

Secara keseluruhan penampilan sang legenda pada sepanjang musim ini tetaplah berkelas. Berdasarkan statistik dari basketball-reference.com, Kobe punya statistik 17.6 PPG (point per game), 3.7 RPG (rebound per game), 2.8 APG (assist per game), 0.9 SPG (steal per game) dan 0.2 BPG (block per game).

Catatan ini bahkan masih lebih baik ketimbang statistik miliknya sendiri pada musim pertama dan kedua berkarier di NBA.

Selama 20 tahun beraksi di atas lapangan, Kobe dikenal sebagai atlet yang tangguh, cerdas dan sangat pandai menjaga performa. Berkat hal itu pula, Kobe sanggup meraih lima cincin juara NBA bersama Lakers, sekali keluar menjadi pemain terbaik atau MVP (Most Valuable Player) NBA, dua kali terpilih sebagai pemain terbaik final NBA, 18 kali terpilih sebagai pemain All-Star dan memenangi kontes Slam Dunk di All-Star game pada 1997 silam.

Sungguh mentereng, bukan? Tak banyak lho pemain NBA yang bisa menorehkan prestasi macam itu.

Berposisi persis dengan legenda hidup NBA, Michael Jordan, juga membuat Kobe kerapkali dibanding-bandingkan dengan sang maestro. Keduanya merupakan Shooting Guard jempolan. Pandai melepas tembakan jarak jauh namun juga ahli melakukan penetrasi ke paint area.

Bila Jordan menjadi tumpuan Chicago Bulls, Kobe merupakan andalan Lakers. Ya, Jordan adalah Bulls, Kobe adalah Lakers. Sesederhana itu. Namun menilai siapa yang lebih baik di antara keduanya bukanlah perkara simpel dan mudah. Baiknya Anda cek statistik keduanya saja di sini guna memberi penilaian.

Tak afdol rasanya jika membahas tentang Kobe namun tak menyinggung nama Shaquille O’Neal. Nama ini merupakan bekas rekan setim Kobe di Lakers dan bahu-membahu memenangkan tiga gelar NBA dalam kurun 2000-2002. Kombinasi keduanya saat itu menjadi senjata ampuh Lakers asuhan Phil Jackson dalam menghempaskan para rival.

BACA JUGA:  Ayrton Senna dan Piala Dunia 1994

Tapi, tahukah Anda bila sebenarnya Kobe dan Shaq sering terlibat rivalitas dan tidak menyukai satu sama lain ketika itu?

Setim namun tidak akur dan masih sanggup jadi juara NBA memang cerita yang sungguh unik, bukan? Namun kenyataannya memang begitu.

Kala masih bermain bersama, baik Kobe dan Shaq kerap berselisih serta saling mengejek dan mengkritik satu sama lain. Beruntung Jackson mampu mengendalikan situasi tersebut hingga membuat keduanya “sangat akur” di atas lapangan. Perselisihan keduanya ini bahkan diceritakan Jackson melalui bukunya yang berjudul The Last Season: A Team in search of Its Soul.

Kala berlaga, keduanya selalu berusaha tampil lebih baik dari yang lainnya. Mencetak angka lebih banyak dari yang lain sampai membuat aksi-aksi yang lebih keren dari yang lain. Jangan heran pula jika jarang ada tos atau keriaan di antara mereka. Kalaupun ada, tentulah itu lebih didasarkan pada respek semata.

Seperti yang sering disebut-sebut media, Kobe tak menyukai pilihan Jackson yang menjadikan Shaq sebagai inti permainan Lakers dalam strategi Triangle Offense kesukaan sang pelatih. Di sisi lain, Shaq juga cemburu dengan kepopuleran Kobe di mata fans Lakers sehingga penjualan jersey Lakers dengan nama Kobe menjadi yang paling banyak kala itu.

Ditambah dengan ego masing-masing yang begitu menjulang, perselisihan ini pun meruncing sampai kemudian Shaq di-trade ke Miami Heat pada 2004 silam sementara Kobe menandatangani kontrak anyar bersama Lakers.

Perselisihan Kobe-Shaq ini mengingatkan saya pada beberapa rivalitas lain yang melibatkan rekan setim. Di antaranya adalah Oliver Kahn-Jens Lehmann di bidang sepak bola dan Alain Prost-Ayrton Senna di arena Formula 1 (F1).

Siapa yang tak mengenal sosok Kahn dan Lehmann, keduanya merupakan dua kiper hebat yang dimiliki tim nasional Jerman era 1990-an hingga 2000-an.

Bedanya, Kahn dan Lehmann tak pernah bermain di klub yang sama. Namun jangan tanyakan bagaimana sengitnya mereka dalam memperebutkan posisi nomor satu kiper timnas.

Saling sindir hingga kritikan berbumbu ejekan pun menjadi hal yang sangat biasa. Hal yang sempat membuat Uli Hoeness, eks bos besar Bayern Munchen, berharap kepada Juergen Klinsmann, pelatih timnas rentang 2004-2006, untuk menengahi konflik personal ini.

Sama-sama memiliki kemampuan yang bagus jelas membuat keduanya tak ingin kalah dari yang lain. Sayangnya posisi penjaga gawang dalam permainan sepak bola hanya menyediakan satu tempat. Ditambah sikap dan egoisme tinggi, maka perselisihan pun sulit terelakkan.

Ketika Kahn melakukan blunder, maka Lehmann dengan penuh semangat bakal langsung menyerang. Sebaliknya, ketika Lehmann melakukan hal-hal bodoh, Kahn pun tak ragu melontarkan serangan balik.

BACA JUGA:  Francesco Totti, Melody, dan Kapten yang Tak Tergantikan

Walau mungkin hanya menghasilkan efek minor, namun perselisihan ini sendiri pada akhirnya lebih banyak menghasilkan kegagalan buat timnas Jerman. Di Piala Eropa 2000 dan Piala Eropa 2004 mereka porak-poranda. Sementara di Piala Dunia 2002 dan Piala Dunia 2006, Jerman tetap tak sanggup menggondol trofi juara.

Sementara F1 yang begitu kesohor sebagai adu balap mobil paling cepat sejagad raya itu, pernah lahir sebuah persaingan mahadahsyat yang melibatkan antara pebalap hebat yang jadi kesayangan petinggi F1, Alain Prost dan pebalap keren pujaan publik, Ayrton Senna.

Keduanya merupakan talenta paling ciamik yang pernah ada di balap F1. Era akhir 1980-an hingga awal 1990-an merupakan zaman di mana Prost-Senna bersaing ketat dan bergantian menjadi kampiun dunia.

Rivalitas yang bermula dari tim berbeda pada akhirnya jadi sangat panas setelah Senna bergabung dengan tim McLaren pada 1988. Prost sendiri adalah pebalap andalan McLaren sejak 1984 dan telah meraup dua gelar juara dunia bersama tim asal Inggris tersebut, yakni pada tahun 1985 dan 1986.

Dikenal sebagai pebalap berkualitas, kedatangan Senna ke McLaren justru seakan membawa bom waktu ke dalam tim. Karena Prost maupun Senna bukan tipe pebalap yang bersedia kalah. Menjadi yang terbaik merupakan tujuan mereka.

Rivalitas setim pun tak terelakkan lagi bagi keduanya meski hanya dua musim (1988 dan 1989) membela tim yang sama. Di dua musim itu juga keduanya bergantian menjadi juara dunia. McLaren sendiri selalu keluar sebagai juara dunia konstruktor pada dua musim tersebut.

Persaingan panas Prost-Senna di McLaren mencapai puncaknya pada 1989, tepatnya di GP Jepang. Kala itu Prost-Senna bersaing memperebutkan pos terdepan namun keduanya terlibat tabrakan di tikungan chicane Casio Triangle.

Balapan Prost tamat sementara Senna masih dapat melanjutkan balap hingga memenangi lomba. Namun sayang, pada akhirnya Senna didiskualifikasi dari lomba dan membuat usahanya mengejar poin Prost di klasemen semakin mustahil.

Upaya bandingnya pun ditolak sehingga membuat jalan Prost menjadi juara dunia tahun itu semakin lapang. Reaksi Senna? Jelas marah besar.

Dalam olahraga, apa pun cabangnya, rivalitas merupakan hal yang sangat sulit dihindari. Rivalitas dapat melahirkan hal buruk semisal perselisihan, adu argumen, ejekan dan hal-hal negatif lainnya.

Akan tetapi rivalitas juga dapat melahirkan jiwa kompetitif nan sehat yang dibutuhkan atlet mana pun, memunculkan keinginan untuk terus berkembang makin baik dari waktu ke waktu, termasuk dengan rekan setim.

Kobe-Shaq, Kahn-Lehmann dan Prost-Senna telah menunjukkan kepada kita mengenai hal tersebut. Walau semuanya tak selalu memberikan hasil yang manis untuk tim.

 

Komentar