Marko Pjaca: Berlian Balkan yang Perlahan Kusam

Marko Pjaca: Berlian Balkan yang Perlahan Kusam
Marko Pjaca: Berlian Balkan yang Perlahan Kusam

Tanggal 24 Februari 2012, berlangsung pertandingan antara Lokomotiva melawan Zadar. Bagi seorang pemuda asal Zagreb, Marko Pjaca, hari itu merupakan momen yang menjadi sejarah untuknya.

Baru berusia 17 tahun, Pjaca mencatatkan debut pada laga tersebut dengan menjadi pemain pengganti di menit ke-66. Luar biasanya lagi, ia berhasil mengukir asis. Siapapun, bahkan Pjaca sendiri, yang mengira bahwa laga tersebut menjadi titik balik kehidupannya.

Pjaca adalah fenomena di negara pecahan Yugoslavia itu. Setelah menghabiskan 3 musim di Lokomotiva dengan catatan 9 gol dan 9 asis, dirinya pindah ke klub raksasa Kroasia, Dinamo Zagreb, dengan mahar senilai 1 juta Euro.

Preseden ini merupakan tanda keseriusan Dinamo, kesebelasan yang sukses menemukan dan memoles bakat-bakat seperti Zvonimir Boban, Luka Modric, dan Davor Suker.

Ibarat berlian mentah yang masih kasar, Pjaca terlihat semakin halus dan berkilau manakala berseragam Dinamo. Potensinya meletup secara eksepsional dengan membukukan 14 gol dan 6 asis dari 47 penampilan di musim perdananya.

Performa ciamik itu berimbas pada ketertarikan pelatih tim nasional (timnas) Kroasia, Niko Kovac. Pjaca dimasukkan Kovac sebagai bagian dari skuat Vatreni kala berjumpa Siprus di laga persahabatan. Lebih asiknya lagi, ia pun beroleh kesempatan mengenakan kostum sakral negaranya alias debut di pertandingan itu dengan turun sebagai pengganti Mateo Kovacic.

Semenjak saat itu pula, Pjaca makin dipercaya untuk jadi bagian integral di tubuh timnas Kroasia. Termasuk jadi bagian skuad yang bertempur di Piala Eropa 2016 dan melakoni duel melawan kesebelasan-kesebelasan papan atas seperti Portugal dan Spanyol.

Diberkahi kecepatan, kemampuan olah bola ciamik, dan insting mencetak gol tinggi, membuat publik Kroasia menaruh harapan besar kepada Pjaca. Label wonderkid pun disematkan kepadanya.

Berbekal sinar di usia muda, ia pun digadang-gadang sebagai pemegang tongkat regenerasi Kroasia dari era keemasan yang ditoreh Mario Mandzukic, Modric, dan Ivan Perisic. Wajar juga bila sejumlah klub dari luar Kroasia seperti AC Milan, Internazionale Milano, dan Juventus, bersaing ketat memburu Pjaca.

Beruntung bagi kesebelasan yang disebut terakhir, pada 21 Juli 2016 mereka sukses mengamankan jasanya via kocek senilai 23 juta Euro. Torehan 28 gol dan 13 asis selama tiga musim merumput bersama Dinamo menjadi garansi yang meyakinkan buat La Vecchia Signora.

Saat itu, kehadiran Pjaca dinilai bisa menghadirkan dimensi alternatif bagi strategi Massimiliano Allegri. Bersama nama-nama seperti Daniel Alves, Gonzalo Higuain maupun Miralem Pjanic, pemuda kelahiran Zagreb tersebut diharapkan sanggup menghapus puasa gelar Liga Champions yang terakhir kali diraih musim 1995/1996.

BACA JUGA:  Kevin Sanjaya dan Harapan yang Pernah Ada

Sebagai penggawa muda yang menyesaki skuad berpengalaman Juventus, Pjaca tak serta-merta beroleh tempat utama. Menyingkirkan figur semisal Paulo Dybala, Higuain, dan Mandzukic dari starting eleven jelas bukan persoalan sepele. Terlebih, kematangannya belum sampai di titik puncak.

Di sisi lain, formasi dasar 4-2-3-1 yang gemar digunakan Allegri juga tak memberi ruang kelewat besar untuk Pjaca. Alih-alih menggunakan penyerang sayap murni, Allegri justru kerap bereksperimen dengan memainkan Juan Cuadrado dan Mandzukic di situ.

Alhasil, musim perdananya di Stadion Allianz lebih sering dihabiskannya sebagai pemain cadangan. Total, ia bermain sebanyak 20 laga dan mengemas 1 gol dari seluruh kompetisi yang diikuti La Vecchia Signora. Minimnya kesempatan bermain untuk Pjaca juga disebabkan oleh cedera retak tulang fibula yang ia derita kala memperkuat Kroasia. Sepanjang Oktober hingga Desember 2016, ia pun lebih banyak menepi dari lapangan.

Makin nahas, ketika kebugaran Pjaca mulai membaik, dirinya kembali dihantam cedera. Salah satu cedera paling horor bagi atlet, Anterior Cruciate Ligament (ACL),  menumbangkannya per Maret 2017. Dokter pun memaksa Pjaca untuk beristirahat selama kurang lebih enam bulan sekaligus mengakhiri musim lebih dini.

Di musim berikutnya, Juventus merekrut winger anyar dalam diri Federico Bernardeschi dan Douglas Costa. Situasi demikian bikin nasib Pjaca di kota Turin makin tak menentu, terlebih ia sedang menjalani proses penyembuhan cedera.

Ketimbang memanaskan bangku cadangan, ia akhirnya menyetujui keputusan manajemen La Vecchia Signora yang meminjamkannya ke tim Bundesliga Jerman, Schalke, pada bursa transfer musim dingin.

Pjaca berharap kepindahannya ke Negeri Bavaria dapat membantu ia untuk mengembalikan performanya sebagai pesepakbola potensial dan berkelas. Namun apa mau di kata, perjalanannya bersama Die Koenigsblauen tetap muram. Bukannya jadi andalan dalam mengarungi sisa musim kompetisi 2017/2018, Pjaca malah lebih sering menonton rekan-rekannya bermain. Secara keseluruhan, sosok setinggi 186 sentimeter itu cuma dimainkan sebanyak 9 kali dan menggelontorkan 2 gol.

BACA JUGA:  Menuju Generasi Emas Amerika Serikat

Sesudah masa peminjamannya habis, Pjaca pun kembali ke Juventus. Dengan harapan yang masih besar untuk bermain mengenakan kostum putih-hitam khas La Vecchia Signora, Pjaca lebih optimis menyambut musim 2018/2019. Apalagi kondisi fisiknya pun semakin prima.

Namun seolah jauh panggang dari api, harapan itu menguap begitu saja. Kedatangan megabintang sepakbola dari Portugal, Cristiano Ronaldo, membuatnya harus berpikir ulang mengenai masa depannya di kota Turin.

Pada momen sulit tersebut, Fiorentina datang memberi tawaran. Kubu La Viola ingin meminjam tenaga Pjaca untuk semusim plus opsi tebus di pengujung kompetisi. Tanpa ragu, ia pun menyetujuinya.

Entah dinaungi nasib buruk atau semacamnya, kisah manis yang ingin Pjaca torehkan di Stadion Artemio Franchi buyar seketika. Belum setengah musim, ia dihajar cedera retak ligamen yang memaksanya absen hingga awal musim 2019/2020. Pjaca pun menutup musim bersama Fiorentina yang terpuruk di peringkat ke-16 klasemen akhir dengan catatan 1 gol dan 1 asis dari 19 penampilan.

Kenyataan itu bikin La Viola tak mengaktifkan klausul opsi penebusan. Pjaca pun akhirnya pulang sekali lagi ke Turin guna menyongsong musim kompetisi 2019/2020. Akan tetapi, kegemilangan yang ia coba ukir tak kunjung menampakkan hasil.

Serie A musim ini sudah berjalan tujuh giornata, Pjaca tak kunjung beroleh kans main dari sang pelatih anyar, Maurizio Sarri. Padahal, kondisi kebugarannya sudah membaik sedari awal Oktober.

Pjaca lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berlatih dalam kesunyian di pusat latihan Juventus, mencoba meyakinkan Sarri bahwa dirinya pun layak beroleh kesempatan sekaligus mengembalikan jati dirinya kala dianggap sebagai wonderkid kelas dunia.

Berlian mentah yang dahulu dipandang tinggi itu sekarang mulai kusam. Mungkinkah ia bisa kembali berkilauan? Sebab tak ada satu orang pun, termasuk Pjaca, yang ingin mengekori roda nasib Freddy Adu dan Federico Macheda dahulu.

 

Komentar
Seorang desainer grafis asal Yogyakarta yang menggemari sepakbola, buku, dan berkhayal. Suka berimajinasi dan menuangkannya melalui karya visual maupun karya tulis. Bisa dihubungi melalui Twitter di akun @pradipta_ale dan Instagram di akun @pradiptale untuk melihat karyanya.