Membayangkan Gus Dur Melatih Klub Sepakbola

Kali pertama mengenal sepakbola, saya menganggap para pelatih adalah bekas pemain mentereng di masanya. Barulah ketika menggemari Chelsea dan mengenal Jose Mourinho, anggapan itu perlahan terkikis. The Special One ternyata tidak berangkat dari latar belakang seorang pesepak bola profesional.

Sampai akhirnya, saya pun mengetahui masa lalu Julian Nagelsmann, Maurizio Sarri dan Andre Villas-Boas yang ternyata juga tidak pernah lintang pukang sebagai pemain sepakbola profesional di atas lapangan.

Usai membaca Sepakbola Seribu Tafsir (2014) gubahan Edward S. Kennedy, saya mendapati satu fakta lagi tentang Jean Paul Sartre yang pernah menukangi Stade Saint-Geman di Prancis pada medio 1960-an.

Di klub tersebut, Sartre dianggap sebagai pelopor false nine dalam formasi 4-4-1-0, sebagaimana yang kerap Pep Guardiola peragakan semasa di Barcelona. Lewat deretan fakta tersebut, saya berkesimpulan bahwa siapapun bisa menjadi pelatih, baik dengan latar belakang seorang akademisi hingga bankir sekali pun. Asalkan, mereka mencintai sepakbola dan memiliki niat serta keinginan untuk belajar.

Kisah Sartre membuat saya membayangkan satu hal, bagaimana jika seorang Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau lebih kondang dengan panggilan Gus Dur melatih klub sepak bola?

Menariknya, Gus Dur dan Sartre memiliki kesamaan yakni keduanya adalah pemikir ulung di masanya. Bila Sartre terkenal dengan eksistensialismenya, maka Gus Dur meneguhkan pribumisasi islam di Indonesia.

Bukan hanya itu, Gus Dur pun menggemari sepak bola sejak kecil. Bersama ayahnya, KH. Wahid Hasyim, Gus Dur sering berlatih menyepak bola di halaman belakang rumahnya.

Masa remaja Gus Dur, pun tidak bisa dilepaskan dari dunia sepak bola. Ia rajin melahap berita, hingga banyak menghabiskan waktu menonton pertandingan. Sesekali, Gus Dur bermain sepak bola bersama kawannya. Posisi favoritnya adalah penyerang. Obsesi Gus Dur pada sepakbola pada akhirnya membuat ia kerap mengisi kolom ulasan sepakbola di media nasional pada rentang 1980-an sampai 1990-an.

BACA JUGA:  Mengapa Arteta Memilih Gabriel Jesus?

Seandainya Gus Dur memiliki niatan besar menjadi pelatih, saat sering menulis tentang sepak bola, ada dua pilihan terbaik baginya untuk mendalami hal itu. Pertama, Coverciano di Italia. Kedua, Hennes-Weisweiler-Akademie di Jerman.

Perkembangan pesat sepak bola di Negeri Pasta semasa Gus Dur rajin menelurkan ulasannya boleh jadi membuat ia lebih dulu menimba ilmu di Coverciano. Di sana, Gus Dur akan belajar perihal Zona Mista sampai Catenaccio.

Akan tetapi, seperti saat kuliah di Universitas Al-Azhar, Coverciano boleh jadi persinggahan belaka untuknya. Sekadar melahap ratusan buku perihal taktik di bilik perpusatakaan, sembari mendengarkan simponi Beethoven.

Gus Dur akan menghabiskan lebih banyak waktunya bersilaturahmi ke penjuru Italia. Menemui pelatih-pelatih klub lokal, menonton dari tribun stadion, dan sesekali mengajak Enzo Bearzot serta Arrigo Sacchi melahap spaghetti. Bukan hal yang mustahil bagi Gus Dur bisa akrab dengan mereka, sebab humor adalah kuncinya.

Dari Italia, petualangan Gus Dur bisa berlanjut ke Jerman. Gus Dur akan menyaksikan bagaimana Jerman mulai membangun iklim sepakbolanya semenjak runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989.

Hennes-Weisweiler-Akademie menjadi ruang pertemuan Gus Dur dengan beragam calon pelatih dari berbagai latar belakang pekerjaan yang berbeda. Sesuatu yang memang disukai Gus Dur yakni bertemu dan berbincang dengan ragam perspektif, terutama urusan taktik dan strategi sepakbola.

Tak lupa pula, menyempatkan diri untuk berjumpa pelatih-pelatih kesohor dan genius seperti Franz Beckenbauer, Juup Derwall, Helmut Schön hingga Berti Vogts untuk berbagi cerita sembari bertukar pikiran.

Sekembalinya ke tanah air, Gus Dur kemungkinan menukangi sebuah klub. Di klub tersebut, apa yang ia dapatkan semasa di Italia dan Jerman akan diimplementasikan secara langsung.

Lantas taktik dan strategi apa yang akan Gus Dur pakai? Dalam ulasan final Piala Dunia 1994, tokoh asal Jombang tersebut mengkritik pertandingan antara Brasil kontra Italia yang dianggapnya membosankan. Baginya, apa dihadirkan oleh Brasil asuhan Carlos Alberto Parreira dan Italia besutan Sacchi adalah kehati-hatian dengan menempatkan banyak pemain di lini tengah. Padahal, tak sepatutnya sepakbola dimainkan dengan cara seperti itu.

BACA JUGA:  Real Madrid Femenino dengan Segala Kontroversinya

Orientasi strategi Gus Dur adalah menyerang. Meski kerap ia memuji apiknya pertahanan Italia dan rapatanya pemosisian diri bek Swedia kala itu. Pembacaan permainan yang baik dan bagaimana Gus Dur merespons situasi di lapangan yang kerap berubah merupakan kunci kemampuannya dalam melatih.

Fleksibilitas Gus Dur merupakan ciri khas permainan anak asuhnya. Hal itu tercermin saat Gus Dur beradu diskusi dengan Shindunata menggunakan idiom sepakbola, sebagaimana yang ia tulis dalam kolom berjudul “Catenaccio Hanya Alat Belaka” (18 Desember 2000).

“Jadi, dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa strategi Totaalvoetbal harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi Catenaccio, sedang dalam hal lain strategi Kick and Rush (ala Inggris). Bahkan, kadang kita menggunakan strategi Totaalvoetbal sekaligus memeragakan permainan cantik ala tarian Samba khas kesebelasan Brasil”, kata Gus Dur.

Gus Dur kemungkinan besar menjadi pelatih hebat dan turut merevolusi perkembangan strategi sepak bola dunia berkat pikirannya yang melampaui zaman. Senada dengan apa yang dikatakan Kepala Sekolah Coverciano, Renzo Ulivieri, bahwa satu-satunya konstanta dalam sepak bola dalam perubahan.

“Tidak ada sepakbola yang sempurna. Yang ada hanyalah sepakbola yang tepat untuk saat yang tepat”, ungkap lelaki yang pernah menangani Bologna, Cagliari, Napoli dan Reggina tersebut.

Gus Dur, dengan pemahaman dan rasa cintanya terhadap sepakbola, sudah pasti memiliki hal itu. Ya, sebuah filosofi sepakbola yang tepat untuk saat yang tepat demi kemajuan Indonesia.

Tulisan ini dipersembahkan untuk KH. Abdurrahman Wahid dalam rangka haul kesepuluhya (Desember 2019)

Komentar
Andi Ilham Badawi, penikmat sepak bola dari pinggiran. Sering berkicau di akun twitter @bedeweib