Mencintai Persib Bukanlah Tradisi, Melainkan Takdir

“Apakah hanya masyarakat Sunda saja yang boleh mencintai Persib?”

Begitu kira-kira pertanyaan yang pernah berputar-putar di kepala saya.

Sepakbola bukan hal asing bagi saya lantaran bapak sudah mengenalkan permainan ini kepada saya sejak kecil. Masih teringat di kepala ketika bapak dulu mengajak saya menginap di rumah kakek dan nenek.

Tujuannya jelas, menonton pertandingan televisi. Saat itu, hanya sebagian orang saja yang memiliki televisi dan beruntung, kakek saya adalah salah satunya.

Pertandingan yang samar-samar teringat di kepala adalah ajang Serie A serta Liga Indonesia. Namun yang paling membekas di kepala adalah partai final Piala Eropa 2004 antara Portugal melawan Yunani.

Laga itu sendiri bakal dikenang publik sebagai momen bersejarah. Tim non-unggulan seperti Yunani yang ketika itu diasuh Otto Rehhagel, berhasil menumpas perlawanan Portugal yang ditukangi Luiz Felipe Scolari dan difavoritkan sebagai juara lantaran berstatus tuan rumah.

Pertandingan itu sendiri berlangsung dini hari waktu Indonesia. Saya bersama bapak memutuskan bermalam di rumah kakek demi menyaksikan laga tersebut.

Pada tahun-tahun berikutnya, saya masih cukup rutin menginap di rumah kakek guna menonton pertandingan sepakbola lewat televisi. Namun saat itu, tidak lagi ditemani bapak.

Berbeda dengan tayangan Liga Indonesia yang dimainkan sore hari waktu Indonesia, saya rela begadang sendirian demi menonton laga-laga Liga Champions yang ketika itu hak siarnya dipegang oleh kanal swasta Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan tayang dini hari.

Sepakbola bagaikan magnet tersendiri untuk bocah belasan tahun seperti saya pada waktu itu. Tak heran bila kekaguman saya terhadap balbalan bikin saya bercita-cita menjadi pesepakbola.

Saya bermimpi punya liukan dan umpan seindah Zinedine Zidane. Berlari dari tengah lapangan untuk memanjakan para penyerang dengan umpan-umpan cantik yang bikin bek tim lawan kalang kabut.

BACA JUGA:  Memantau Kinerja Arteta

Tontotan sepakbola Eropa juga mengantar saya untuk menggilai klub asal Inggris, Manchester United. Sementara di tatanan nasional, Persib menjadi idola kendati saat bocah, saya juga kerap menyaksikan pertandingan dari Persebaya, Persija, Persik, sampai PSIS.

Saya bukan orang Sunda. Tidak juga tinggal di Jawa Barat, daerah asal Persib. Saya sekeluarga adalah orang Jawa yang hidup di ujung selatan Pulau Sumatra, tepatnya Lampung. Namun entah mengapa, Maung Bandung mampu menyedot atensi saya sebagai penggemar sepakbola.

Ada berbagai tolok ukur yang dijadikan fans sebagai dasar dukungan mereka terhadap suatu klub. Umumnya, adalah prestasi dari kesebelasan yang didukung. Semakin banyak prestasinya, biasanya juga memiliki pendukung yang masif.

Saat mengenal Persib, prestasi teraktual mereka adalah gelar Liga Indonesia 1994/1995. Setelahnya, kendati banyak pemain bintang yang datang, klub berkostum biru ini belum jua mampu melepaskan dahaga prestasinya.

Media sosial Facebook memberi pengaruh cukup besar pada rasa suka saya terhadap Maung Bandung. Medio 2008 sampai 2009, Facebook menjadi tempat saya beroleh informasi tentang Persib, selain tontonan di televisi. Seingat saya, pada tahun tersebut ada banyak sekali akun fanpage Maung Bandung.

Walau mendaku diri sebagain pendukung Persib, kesempatan untuk menyaksikan secara langsung tim kebanggaan masyarakat Jawa Barat ini berlaga baru muncul kala saya duduk di bangku kuliah.

Fantastisnya, momen itu bertepatan dengan final Indonesian Super League (ISL) 2014 yang mempertemukan Persib dengan Persipura di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang.

Saat itu bertepatan dengan malam keakraban di jurusan saya. Sebagai mahasiswa baru, tentu momen ini tak boleh dilewatkan. Namun mengingat Persib saat itu bermain di daerah yang dekat sekali dengan tempat tinggal, rasanya rugi kalau tidak mencoba hadir di sana.

BACA JUGA:  Piala Menpora: Antara Harapan dan Pertaruhan

Alhasil, saya memutuskan untuk berangkat ke Palembang dan menyaksikan laga final secara langsung. Perasaan saya naik dan turun sepanjang laga. Hingga akhirnya, rasa bahagia dan haru yang memuncak setelah Maung Bandung memenangkan laga via adu penalti.

Gemuruh dari Bobotoh terasa sangat luar biasa kala itu. Saya sendiri takkan bisa melupakan momen emosional tersebut sampai kapanpun.

Hal yang sama saya temui kala menyaksikan pertandingan Persib di Stadion si Jalak Harupat. Datang pertama kali ke stadion di kawasan Soreang itu bikin saya takjub.

Pemandangan serbabiru di sepanjang jalan saat laga akan dimulai jadi sesuatu yang lumrah. Para Bobotoh banyak yang memarkir kendaraan di rumah-rumah warga lalu berjalan kaki menuju stadion layaknya melakoni corteo.

Saat di tribun, atmosfernya semakin luar biasa. Bobotoh menyemut dan menyanyikan lagu-lagu penyemangat bagi Persib baik sebelum, saat hingga sesudah laga tim pujaannya usai.

Raut wajah mereka, termasuk saya, berbinar ketika mengetahui bahwa Persib menang. Mungkin, hal sebaliknya akan terjadi jika klub yang berdiri tahun 1933 ini kalah.

Mencintai Persib memang unik. Bagi orang Sunda, mencintai Persib layaknya tradisi yang turun-temurun. Diwariskan orang tua kepada anak-anaknya.

Akan tetapi, bagi saya mencintai Maung Bandung adalah panggilan hati. Saya bisa menonton pertandingan klub Indonesia yang mana saja, tetapi saya tidak akan pernah mendapatkan ‘rasa’ yang sama.

Tak pernah ada tradisi mendukung Persib yang diturunkan kepada saya, Namun takdirlah yang membawa saya untuk menggemari Persib.

Komentar
Penggemar Manchester United dan Persib. Bisa disapa di akun twitter @separopopeye.