Mendukung PSIS Semarang adalah Perkara Identitas

Sebagian orang memeluk agama karena keluarganya sudah terlebih dahulu memeluk agama tersebut. Cerita-cerita tentang hal ini tentu sudah sering kita temui. Karena itu ketika kesadaran seseorang mulai tumbuh, ia akan semakin mantap dengan agama yang dipilihkan oleh keluarganya tersebut, atau bisa jadi ia akan memilih agama yang lain, termasuk memilih untuk tidak beragama.

Dalam kerangka berpikir yang sama, sebagian orang mendukung sebuah klub sepak bola karena keluarganya mendukung klub tersebut. Karena itu tak perlu heran jika kita melihat orang tua yang mendukung Manchester United ingin anaknya mendukung MU, orang tua yang mendukung Arsenal ingin anaknya mendukung tim yang sama, dan seterusnya. Bahkan kalau perlu mereka memakaikan berbagai merchandise klub tersebut, misalnya kaos, ke anaknya.

Dalam konteks tim lokal, saya mencoba memperlebar pengaruh keluarga ini ke komunitas baik itu di kampung-kampung dan di sekolah-sekolah. Saya punya postulat bahwa mendukung tim lokal adalah perkara identitas, tidak melulu karena tertarik dengan permainan tim yang didukung (tentu saya merujuk kepada para suporter glory hunter). Identitas yang membentuk solidaritas bersama dan loyalitas sebagai seorang suporter.

Buat saya, perkara identitas ini salah satu yang menjelaskan bagaimana fanatisme suporter di Indonesia bisa muncul. Dan pada tahap yang lebih jauh, menjadi akar dari kekerasan demi kekerasan yang melibatkan suporter.

***

Pada mulanya adalah kebanggaan. Sebagian besar warga Semarang tentu masih ingat momen pada hari Jumat 9 April 1999. Itu adalah pertandingan final Liga Indonesia yang murung.

PSIS dan Persebaya harus mau melakukan partai final “usiran” di Manado setelah sebelumnya 11 suporter PSIS tewas di Manggarai. Perjumpaan dua seteru lawas sampai harus melibatkan pesawat Hercules yang mengangkut para pemain dan suporter.

Di stadion Klabat, duel keduanya berjalan seimbang. Saya bersama bapak dan tetangga-tetangga nonton bareng di rumah dari layar kaca televisi merek Sony 14 inch.

Itu final yang menegangkan. Bayangkan saja, di skuat Persebaya ada nama-nama seperti Uston Nawawi, Anang Ma’ruf, Aji Santoso, Mussa Kalon, Sugiantoro, Khairil Anwar, dan juga Hendro Kartiko. Itu adalah nama-nama pemain dengan jaminan mutu di liga Indonesia saat itu.

Betapa pun di PSIS ada nama-nama seperti Komang Putra, Agung Setyabudi, Bonggo Pribadi, Ali Sunan, Ebandha Tymothi, Ally Shaha Ali, juga Tugiyo, tidak dapat menutup kekhawatiran bahwa Persebaya akan menang dan membalas kekalahan di final perserikatan 1989.

Sampai kemudian pada menit-menit menjelang akhir permainan, Agung Setyabudi mengobrak-abrik wilayah kekuasaan Aji Santoso dan melempar umpan ke tengah, ada Tugiyo. Dengan 2-3 kali gocek dan gol! Refleks saya melempar bantal yang saya pegang sampai hampir menyentuh lampu bohlam di langit-langit dan berteriak lega. Itu gol yang gila. Beberapa menit kemudian adzan magrib berkumandang.

BACA JUGA:  Dekade 1990-an: Transisi pada Satu Era, Perkenalan dan Cinta untuk FC Internazionale Milano

Itu adalah momen pertama kali saya merasakan kebanggaan sebagai orang Semarang. Usia 10 tahun, saya baru memahami sepak bola sebatas sebagai permainan – saya sering main di banyak lapangan di kampung, termasuk juga halaman rumah, dan halaman sekolah – dan sebagai tontonan.

Belum ada tim untuk didukung dengan melibatkan emosi. Bahkan belum pernah menonton di stadion Jatidiri secara langsung. Dan final Liga Indonesia 1999 tadi membantu saya untuk memutuskan tim mana yang akan saya dukung. Dan karena itu saya mula-mula merasakan kebanggaan sebagai orang Semarang. Kalau yang main di final adalah Persebaya dan Persija, misalnya, hampir pasti tidak akan ada perasaan semacam itu.

Setelah juara itulah Bapak kemudian menjanjikan akan mengajak saya menonton langsung di Jatidiri. Mungkin Bapak menilai saya sudah cukup umur untuk diajak ke stadion. Dan, tak ada yang lebih membahagiakan seorang anak di Semarang yang menggemari sepak bola selain pengalaman pertama datang langsung di tribun Jatidiri.

Dan pertandingan pertama itu adalah pertandingan antara PSIS Semarang melawan Suwon Samsung Bluewings di Liga Champion Asia. PSIS memang kalah, 2-3 dengan gol bunuh diri yang dibikin Anton Wahyudi.

Di laga kedua di Korea Selatan, PSIS malah dibantai 2-6 dengan cerita bahwa sebagian pemain mimisan karena tidak tahan dengan cuaca dingin. Tapi saya tidak terlalu meratapi kekalahan itu. Euforia pengalaman pertama menonton langsung di stadion sungguh berkesan.

Kami membayar tiket 50 ribu di tribun barat C (di Jatidiri ini berarti tribun barat yang di sebelah utara). Berdesak-desakan dengan ribuan penonton lainnya, berteriak kegirangan ketika gol, dan caci-maki kepada Edi Paryono yang tidak segera mengganti Anton Wahyudi, pengalaman yang masih membekas sampai saat ini.

Pada satu titik saya merasa seperti Zinedine Zidane yang di ulang tahunnya ke-12 menyaksikan langsung Michel Platini mengangkat Piala Eropa tahun 1984 di stadion Parc de Princes.

Setelah itu saya merajuk kepada Bapak tiap kali PSIS main di kandang. Saya catat jadwal pertandingan liga Indonesia yang ada di tabloid BOLA, saya pastikan lagi jadwal di Suara Merdeka, dan sehari sebelumnya saya ingin memastikan Bapak mengajak saya menonton di Jatidiri.

Tentu saja tidak semua keinginan menonton dituruti Bapak. Kadang Bapak ada acara, kadang sedang tidak punya uang, kadang juga dilarang Ibu. Kalau sudah begitu, saya akan menangis sesengukan, tapi tetap menyetel radio.

Beruntung memang saat itu RRI selalu menyiarkan langsung. Dan saya selalu memastikan menyetel suara radio kencang-kencang ketika PSIS main, baik di Jatidiri maupun di kandang lawan.

Keesokan harinya, tema hasil akhir PSIS di pertandingan hari sebelumnya hampir pasti mendominasi obrolan saya dengan teman-teman di sekolah, atau ketika ngaji. Salah satu gengsi dan ajang pamer bagi kami adalah bisa menyaksikan PSIS di Jatidiri.

BACA JUGA:  Sebuah Panggung Drama Bernama Stadion Anfield

Biar tidak dianggap kuper, saya selalu mengaku menonton langsung pertandingan di stadion. Meskipun repotnya ya kalau ada teman yang benar-benar menyaksikan langsung. Mesti berbohong lagi kalau ditanya lebih detail. Untung radio membantu saya berbohong di beberapa detail permainan.

Generasi milenial saat ini mungkin akan heran bagaimana bisa menikmati pertandingan sepak bola dari radio. Tapi bagi generasi seangkatan saya, juga generasi Bapak, radio adalah salah satu media yang tak terpisahkan dalam mendukung tim kesayangan yang sedang bermain.

Di Jatidiri sendiri, saya semakin jarang menonton bersama Bapak ketika sudah kelas 2-3 SMP. Saya lebih sering nonton bersama teman-teman. Malu dong sudah gede nonton sama Bapak.

Tidak hanya pengalaman yang indah memang, pernah juga pengalaman yang membuat saya marah. Tahun 2001, PSIS melawan Perserang Serang di Divisi Satu. PSIS sudah memastikan lolos ke babak selanjutnya sebagai juara grup dan karena itu seperti tidak berniat bermain di bola di laga sore itu. Berkali-kali terjadi di mana para pemain PSIS sudah masuk ke kotak pinalti Perserang, bola dikembalikan lagi ke belakang. Terlihat sekali para pemain sedang memeragakan sepak bola gajah.

Dan itu adalah sebuah kesalahan besar. Jatidiri sore itu penuh sesak. Seperti biasa, di menara-menara lampu, puluhan penonton menyaksikan dari menara tersebut dan mengabaikan nyawa mereka. Puluhan ribu penonton tidak puas.

Babak pertama selesai dan para penonton merangsek ke tengah lapangan. Gawang dicabut, rumput dirusak, kaca-kaca di pintu stadion dipecah, melebar ke luar stadion jalan tol diblokir.

Saya dan Bapak ikutan marah-marah. Saya tidak pernah melihat Bapak semarah itu sampai ikut berteriak-teriak mendukung para penonton lain membakar kayu-kayu dan memecahi kaca pintu. Kami pulang duluan dan tidak ikut rusak-rusakan.

Tentu saja hal tersebut tidak sedikit pun mengurangi kecintaan saya pada PSIS.

***

Ini bukan kisah yang unik, saya yakin banyak suporter tim lokal di Indonesia punya kisah serupa. Kedekatan emosional dengan kota, pengalaman masa kecil yang tak terlupakan, interaksi dan solidaritas yang dipupuk dengan teman-teman di lingkungan rumah, adalah sebagian alasan kenapa seseorang memutuskan mendukung tim yang berasal dari kota kelahiran mereka.

Pada satu titik saya melihat bahwa dukungan terhadap tim lokal bukanlah sebuah pilihan yang kita putuskan secara bebas, ia adalah pilihan yang terberi. Dan dukungan emosional seperti ini tidak akan pernah bisa dirasakan oleh tim yang atas nama keuntungan uang mesti berpindah-pindah kota.

 

Komentar
Peneliti media di Remotivi, mengelola pindai.org, dan berumah di @wisnu_prasetya.