Ketika membicarakan tim asal Bantul, Persiba, maka ada keharusan bagi generasi saya untuk menyertakan nama Ezequiel Gonzales. Mulai dari angkringan hingga kafe dengan musik yang berdendang kencang, obrolan tentang Persiba di kota Bantul tak pernah surut.
Entah mengingat masa lalu atau justru sambat dengan penampilan saat ini. Namun ada pertautan di antara kedua topik tersebut, apalagi kalau bukan Ezequiel.
Ezequiel lahir di La Plata, Argentina. Kota ini merupakan salah satu area terbesar di Negeri Tango. Sebuah kota dari para pejuang, begitulah mereka menyebutnya. La Plata merupakan tempat tumbuh bagi sosok marxis revolusioner tersohor di dunia, Che Guevara.
Di kota ini pula Guevara memulai perjalanannya keliling Argentina dengan motor yang diabadikan ke dalam buku The Motorcycle Diaries yang tersohor saat menyibak realita itu.
Seorang sastrawan kondang Argentina, Jorge Luis Borges, adalah pembenci sepakbola. Ia pernah menegaskan hal unik bagi masyarakat Argentina yang mayoritas menggilai sepakbola. Borges berkata, “Sepakbola begitu populer karena kebodohan juga populer.”
Menilik kondisi sekarang, mungkin apa yang diucapkan Borges ada benarnya. Kita bisa melihat bahwa saat ini, sepakbola tak lagi hiburan. Sepakbola telah tumbuh menjadi obsesi hingga industri.
Para penonton yang datang ke stadion tak sekadar ingin melihat dua puluh dua orang bermain sepakbola dengan ciamik, tetapi ingin tim yang ia dukung meraih kemenangan. Sementara para pelaku bisnis, mau mengeruk uang sebanyak-banyak dari pertandingan sepakbola. Klop sekali.
Akan tetapi, saat membicarakan Ezequiel, saya merasa bahwa ia merupakan penawar nyata dari kelindan sepakbola yang tak seperti dahulu. Berlebihan? Silakan saja menganggap saya begitu. Saya merasa demikian karena itu yang saya rasakan. Ezequiel seperti mukjizat untuk sebuah klub kecil dari salah satu wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saya amat yakin ketika Ezequiel memulai karier sepakbolanya, ia tidak pernah berpikir mengenai Indonesia. Bahkan saya yakin ia tidak pernah mengetahui ada sebuah tempat bernama Bantul sebelumnya. Lagipula, siapa yang bakal membayangkan Bantul ketika mereka hidup di sebuah kawasan metropolis macam La Plata atau Buenos Aires?
Walau berbeda kasusnya, tetapi sama seperti Guevara dan Borges, pasti Ezequiel merasakan adanya jurang kehidupan sosial, budaya dan adat dari La Plata dan Bantul.
Walau tidak segarang Guevara yang melihat jurang kehidupan sosial berupa distopia di Argentina, Ezequiel melihat itu dengan sudut pandang sepakbola. Argentina menelurkan banyak pesepakbola hebat dan mendunia, sedangkan Indonesia masih terjebak dalam lumpur harapan untuk maju.
Tatkala Ezequiel hijrah dari Estudiantes de La Plata menuju Persiba pada Desember 2006 silam, tak banyak hal yang ia ketahui tentang Laskar Sultan Agung. Namun yang pasti, sejak tahun 2004, manajemen Persiba sedang gencar membangun sepakbola Bantul. Mereka ingin menyetarakan posisi dengan tetangganya yakni PSIM dan PS Sleman.
Pada tahun-tahun itu pula pembangunan Stadion Sultan Agung digarap dengan serius. Bantuan dari Idham Samawi menjadi titik tolak romantisme yang—selalu—diobrolkan. Warna merah mendominasi sisi selatan, hiruk-pikuk Bantul yang bertumpu kepada popularitas Persiba pun kian semarak. Ezequiel hadir sebagai pemantik kegembiraan warga Bantul yang mencintai sepakbola.
Berbeda dengan jalan revolusioner yang ditempuh Guevara dan Borges, Ezequiel memilih jalannya sendiri. Ia pantas dianggap revolusioner karena melawan sebuah pakem dari pesepakbola modern pada umumnya.
Ketika sebagian pesepakbola terlena dengan harta, lelaki kelahiran 24 Januari 1983 ini malah berikrar setia kepada Persiba. Rasa cintanya tumbuh dan terpatri kuat di Stadion Sultan Agung.
Kendaraan jelek, uang pribadi yang ia bakar guna memulihkan diri dari cedera sampai berpetualang ke pedesaan untuk berolahraga adalah sedikit cerita tentang sisi revolusioner pria Argentina yang akrab disapa Mamen ini.
Sejak memulai kiprah bersama Persiba, Ezequiel mampu merebut hati masyarakat Persiba. Dilansir dari Paserbumi.com, di musim 2007/2008 ia berhasil mengemas 14 gol. Gol pertama bagi Laskar Sultan Agung ia lesakkan ke gawang Persipon pada 13 April 2007.
Di musim 2008/2009 ia berhasil mengemas 13 gol yang kemudian meningkat di musim 2009/2010 usai menggelontorkan 18 gol. Saat posisinya digeser dari striker ke gelandang serang, ketajaman Ezequiel masih terlihat karena sukses membukukan 9 gol di musim 2010/2011.
Produktivitasnya memang luar biasa. Aksi-aksinya di atas lapangan pun menawan. Menjadi wajar jika suporter Persiba memujanya bak seorang dewa. Ketika ia dipinang Semen Padang, ada rasa kecewa yang menggelayuti dada fans Persiba. Beruntung, Ezequiel pulang ke Bantul setelah petualangannya di tanah Minang berakhir.
Sekarang Ezequiel sudah kembali ke Argentina dan tetap berkutat di ranah sepakbola. Kabar terakhir menyebutkan bahwa ia menjadi asisten pelatih di salah satu klub junior di Negeri Tango. Walau dirinya terpisah jarak teramat jauh dengan Bantul, Ezequiel pasti mengingat kota ini. Pun dengan masyarakat Bantul yang senantiasa mengingat sosok Mamen.
Sebagai fans Persiba yang begitu rindu dengan penampilan timnya, saya juga merindukan figur sekelas Ezequiel. Dialah yang membuat nadi sepakbola di Bantul berdenyut laju. Ada gairah yang meletup di dada masyarakat Bantul sehingga berduyun-duyun datang ke Stadion Sultan Agung.
Saya pun berandai-andai, kalau Ezequiel saat itu tak datang ke Bantul, apakah antusiasme yang dirasakan fans Persiba dan masyarakat kota ini akan tetap sama?
Di manapun engkau berada sekarang, tetaplah sehat Mamen. Tuhan memberkatimu dan masyarakat Bantul akan selalu mengagumimu.