Sabtu malam, 18 Juni 1994, 24 orang berkumpul di sebuah pub bernama The Heights di desa Loughinisland yang terletak hanya 34 kilometer dari Belfast, Irlandia Utara. Tak ada prasangka, tak ada waswas. Mereka, para penduduk desa itu, hanya ingin menikmati akhir pekan dengan menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola.
Memang, pertandingan yang mereka saksikan itu bukan pertandingan biasa. Republik Irlandia, tim “saudara” mereka dari selatan, dijadwalkan untuk bentrok langsung dengan favorit juara Italia, pada partai pembuka Grup E.
Barangkali, tak ada seorang Irlandia pun yang tak pesimistis ketika melihat nama Italia sebagai tim yang harus mereka hadapi. Wajar, toh pada akhirnya memang Italia mampu melaju hingga partai puncak sebelum dikecewakan Dewi Fortuna.
Tetapi, bukan orang Irlandia namanya kalau menyerah sebelum bertanding. Bermain di Giants Stadium, New Jersey, Rep. Irlandia bak berlaga di kandang sendiri. Stadion yang pernah digunakan New York Cosmos sebagai homebase tersebut penuh sesak oleh warna hijau, warna kebesaran bangsa Irlandia.
Benar saja. Ketika pertandingan memasuki menit ke-11, Ray Houghton menyambar bola hasil sapuan Franco Baresi yang sebenarnya ditujukan kepada Demetrio Albertini.
Melihat posisi Gianluca Pagliuca yang terlalu maju, eks-Liverpool tersebut memutuskan untuk mengirim bola lambung yang tak mampu digapai Pagliuca. Gol! Sang favorit juara pun tersentak.
Selama 79 menit berikutnya, Italia terus menggempur pertahanan Rep. Irlandia, namun hari itu rupanya memang bukan harinya Azzurri. The Boys in Green berhasil mengantongi tiga poin berharga yang kemudian akan mengantar mereka lolos dari fase grup.
Keberhasilan Rep. Irlandia menjungkalkan tim sekelas Italia seharusnya membuat Piala Dunia 1994 menjadi turnamen yang menyenangkan bagi mereka. Akan tetapi, meski mampu lolos ke babak 16 besar dan memainkan tiga pertandingan tambahan, turnamen tersebut sudah berhenti bagi Rep. Irlandia tepat setelah wasit Marlo van der Ende meniup peluit penghabisan.
Rupanya, ketika tim nasional Rep. Irlandia berjuang di tanah seberang, tragedi memilukan terjadi di rumah sendiri.
Sekitar pukul 10:10 malam waktu Belfast, atau ketika pertandingan babak kedua baru memasuki menit ke-10, dua orang bersenjata senapan serbu menerobos masuk ke The Heights dan menembakkan timah panas ke seluruh penjuru ruangan.
Keheningan desa kecil yang asri dan indah tersebut pecah. Keriangan yang memenuhi The Heights usai gol Houghton, enyah.
Enam orang, termasuk seorang kakek 87 tahun, tewas seketika, dan lima orang lainnya luka-luka. Mereka yang jadi korban semua beragama Katolik, dan para pelakunya merupakan anggota kelompok paramiliter, UVF (Ulster Volunteer Force).
Bagian dari “The Troubles”
Secara resmi, The Troubles berlangsung selama 30 tahun, yakni antara 1968 hingga 1998. Konflik ini, walau berbumbu sektarianisme, sebetulnya merupakan konflik politik yang melibatkan kelompok Unionist dan Irish Republican.
Mereka yang tergabung dalam Unionist umumnya beragama Protestan, menganggap bahwa mereka adalah orang Britania, dan menginginkan agar Irlandia Utara tetap berada di bawah Kerajaan Inggris.
Sementara, kaum Republikan merupakan orang-orang katolik Irlandia yang ingin agar Irlandia Utara bergabung dengan Republik Irlandia sebagai Irlandia Bersatu.
UVF, bersama UDA (Ulster Defence Association) merupakan dua kelompok paramiliter terbesar yang memperjuangkan ide Irlandia Utara sebagai bagian dari Kerajaan Inggris.
Dalam The Troubles, mereka, bersama beberapa kelompok lain, berhadapan dengan kelompok-kelompok Republikan yang dipimpin oleh dua kelompok paramiliter, Provisional IRA (Irish Republican Army) dan INLA (Irish National Liberation Army).
Sementara itu, meski secara resmi bersikap netral, namun angkatan bersenjata Kerajaan Inggris, badan intelijen domestik (MI5), dan Kepolisian Irlandia Utara (Royal Ulster Constabulary) berada di sisi yang berseberangan dengan kelompok Republikan.
Apa yang terjadi di Loughinisland merupakan bagian dari The Troubles, setelah UVF secara resmi mengklaim aksi penembakan tersebut sebagai aksi balasan penembakan tiga pentolan UVF oleh INLA di Shankill Road, Belfast, dua hari sebelumnya.
Lebih jauh lagi, UVF juga menyebut bahwa acara nonton bareng di The Heights merupakan pertemuan rahasia kelompok Republikan. Klaim kedua pada akhirnya tidak terbukti setelah investigasi selesai dilakukan.
Adapun, menurut seorang jurnalis senior, Peter Taylor, aksi tersebut tidak serta merta merupakan aksi resmi UVF, melainkan semacam “efek samping” dari kebijakan organisasi induk di Belfast.
Kebijakan yang dimaksud adalah kebebasan yang diberikan oleh markas besar UVF kepada cabang-cabangnya untuk “menyerang siapa pun yang dianggap ‘layak’”.
Hal inilah kemudian memunculkan kecurigaan akan keterlibatan oknum RUC. Pasalnya, seorang anggota UVF yang tak mau disebutkan namanya berkeras bahwa ada “laporan intelijen” yang menyebutkan bahwa ada anggota IRA yang hadir di The Heights, dan “laporan intelijen” yang dimaksud konon datang dari pihak kepolisian setempat.
Baru-baru ini, tudingan tersebut akhirnya dikonfirmasi oleh pihak ombudsman kepolisian Irlandia Utara melalui Dr. Robert Maguire.
Aksi penembakan di Louighinisland ini lalu memicu pula aksi balasan dari Provisional IRA yang menembak mati salah satu pemimpin UDA, Ray Smallwoods, beserta dua orang lainnya. Provisional IRA mengklaim bahwa penembakan ini merupakan pembalasan atas Loughinisland.
Namun, aksi kekerasan tak juga berhenti, karena pada UDA pun kemudian mencoba mengulangi apa yang dilakukan UVF di sebuah pub di Annaclone pada malam final Piala Dunia. Untungnya, mereka di Annaclone sudah mengantisipasi hal ini dan korban jiwa pun urung jatuh, meski tujuh orang dari mereka mengalami luka-luka.
Tragedi nan ironis
Aksi saling serang kelompok Unionists dan Republikan pada musim panas 1994 sebenarnya boleh dibilang ironis. Pasalnya, sebelum aksi penembakan di Loughinisland, semangat persatuan Irlandia telah terlebih dahulu didengungkan melalui sepak bola.
Tanggal 17 November 1993, pada laga kualifikasi terakhir yang menentukan, Rep. Irlandia harus bertandang ke Belfast. Tim asuhan Jack Charlton membutuhkan poin untuk bisa lolos ke Amerika Serikat.
Sengitnya pertarungan di Grup 3 antara Republik Irlandia, Spanyol, dan juara Eropa, Denmark, membuat tensi laga pun berlipat ganda. Sulitnya memprediksi hasil antara Spanyol dan Denmark membuat tekanan di pihak Rep. Irlandia semakin kuat.
Situasi politik pun tak mendukung. Pada akhir Oktober 1993, ada dua serangan yang masing-masing dilancarkan oleh Provisional IRA dan UDA. Dua serangan ini menewaskan sedikitnya 18 orang. Rep. Irlandia pun harus bertamu ke kandang lawan yang begitu membenci mereka.
Saking panasnya situasi, rombongan Rep. Irlandia pun harus berangkat ke Belfast melalui jalur udara, alih-alih darat. Selain itu, ketatnya penjagaan militer dan tiadanya suporter Rep. Irlandia di tribun Windsor Park juga menambah keruh pikiran.
Pertandingan itu sendiri berakhir dengan hasil imbang 1-1. Tertinggal terlebih dahulu lewat aksi spektakuler Jimmy Quinn, sepakan pemain pengganti, Alan McLoughlin dari luar kotak penalti akhirnya memastikan kelolosan The Republic ke putaran final Piala Dunia.
Mereka akhirnya mengungguli Denmark di tabel klasemen, setelah unggul jumlah gol yang dicetak (poin dan selisih gol kedua negara sama).
Gol McLoughlin itu sendiri disebut-sebut sebagai salah satu gol terpenting tim nasional (timnas) Rep. Irlandia karena kualitas gol itu sendiri, nilai gol tersebut sebagai gol penentu kelolosan, serta fakta bahwa McLoughlin bukan pilihan utama Charlton untuk menjadi pemain pengganti.
Charlton memasukkan McLoughlin, yang kala itu berbaju Portsmouth lantaran penyerang Chelsea, Tony Cascarino tidak mengenakan seragamnya kala diminta masuk ke lapangan.
Seusai laga, menurut kesaksian Niall Quinn dalam film dokumenter rilisan ESPN, 30 for 30 Soccer Stories: Ceasefire Massacre, kapten timnas Irlandia Utara, Alan McDonald, melakukan sebuah tindakan yang menurutnya, amat mulia.
McDonald mendatangi ruang ganti Rep. Irlandia untuk mengucapkan selamat dan meminta agar timnas Rep. Irlandia mengharumkan nama orang-orang Irlandia di Amerika Serikat. Di tengah kecamuk The Troubles, tindakan McDonald tersebut merupakan oase di tengah kerontang.
Namun, barangkali apa yang diucapkan McDonald tidak pernah keluar dari tembok ruang ganti tersebut karena pada akhirnya, pembantaian di Loughinisland pun tetap terjadi. Ironis memang, apalagi jika menilik betapa luar biasanya dukungan komunitas Irlandia terhadap timnas mereka di Giants Stadium.
Akhir kata, The Troubles memang secara resmi sudah berakhir, akan tetapi luka bangsa Irlandia jelas belum pulih sepenuhnya. Untuk menghormati mereka yang tewas sia-sia di Loughinisland, para suporter Rep. Irlandia akan melakukan standing ovation pada menit keenam laga kontra Belgia (18/6).
Adapun, bagi para pemain, belum diketahui apakah mereka akan mengenakan pita hitam seperti yang mereka lakukan empat tahun silam pada laga Euro 2012 melawan Italia.
Suaimhneas Siorai go Raibh ag a nAnamacha Uaisle