Dua momen yang paling saya ingat tentang kepala Zinedine Zidane adalah ketika dua kali sundulannya menjebol gawang Claudio Taffarel pada final Piala Dunia 1998 serta tandukannya ke dada Marco Materazzi di final Piala Dunia 2006, yang menjadi pertandingan terakhirnya sebagai pesepak bola profesional.
Peristiwa pertama menjadi jalan bagi saya untuk mencintai sepak bola. Tapi insiden tandukan Zidane ke dada Matrix akan terus saya ingat.
***
Suatu saat bapak menghadiahkan sebuah radio bekas kepada saya yang ia kirim dari Pontianak melalui salah satu kerabat yang mudik ke Madura. Tentu saja itu bukan kado ulang tahun ataupun reward karena saya berhasil menjadi juara kelas. Lagian saya tidak pernah dapat ranking satu. Pikiran kecil saya mengatakan kalau radio itu bapak berikan hanya sebagai sogokan karena ia ingin segera menikah lagi selepas meninggalnya ibu.
Radio itu saya letakkan di dekat pintu kamar saya, posisi paling dekat dari colokan listrik. Dari sana saya mengenal lagu-lagu Peterpan, atau agar kalian menganggap saya keren dari sana pula saya mengenal The Reason milik Hoobastank, Muse, Where’d You Go-nya Fort Minor, hingga Inul Daratista.
Kalian boleh membayangkan betapa terbelakangnya desa kami tapi jangan pernah mengira bahwa tempat kami adalah desa miskin sehingga tak mampu membeli sebuah pesawat televisi. Tentu saja tidak perlu sampai menunggu panen tembakau hanya untuk membeli sebuah televisi.
Kami hanya perlu menjual seekor anak sapi di pasar Kamisan atau menelepon kerabat yang kerja di Malaysia untuk mengirimkan sejumlah uang. Dengan begitu, kami sudah dapat melihat benda persegi empat itu dan meletakkannya di salah satu sudut dalam rumah kami.
Hanya saja ketika itu di sebagain besar masyarakat di sini, televisi diperlakukan tak ubahanya keris atau benda suci lainnya. Televisi hanya boleh ditonton selepas magrib usai anak-anak pulang mangaji dan harus dimatikan sebelum pukul 12 malam.
Jadi, pada masa itu radio tetap menjadi alternatif hiburan. Kami biasa mendengarkan Suara Giri FM sambil bisa berleha-leha menyambut tidur siang. Dan hanya cukup membelikan dua baterai, kami sudah bisa menyetel radio sambil menyabit rumput untuk makan ternak, mencangkul atau membajak sawah.
Saya sendiri barangkali akan mengutuk diri sendiri ketika dilahirkan sebagai laki-laki introvert sekaligus penggila sepak bola jika radio tak pernah hadir dalam hidup saya. Apalagi saya tinggal dalam keluarga yang tidak menyukai sepak bola.
Keadaan yang benar-benar menyusahkan saat harus menonton sepak bola. Ketika hanya ada sebuah televisi di ruang tamu dan keluargamu lebih memilih menonton sinetron.
Cinta akan menemukan jalannya sendiri
Di Jawa timur, khususnya Surabaya dan sekitarnya, terdapat stasiun radio bernama Suzana FM. Digawangi oleh bung Sandy dan mbak Icha, radio yang berada di frekuensi 91,3 FM ini saban pagi menyiarkan skor pertandingan dan info seputar sepak bola.
Siaran itu berlangsung dari pukul 6 pagi dan break pada pukul 7. Dan dilanjut lagi pada pukul 09:30 hingga selesai pada pukul 11:00. Di akhir pekan durasi siaran bola ditambah, siaran dimulai pada 05:30 hingga selesai 08:00. dilanjut lagi 09:30 hingga 11:00. Sudah cukup? Tidak! Pada malam hari saat ada jadwal bola Eropa, kami akan menyimak Program Minute by Minute yang menyiarkan live skor pertandingan.
Selain info sepak bola yang disuguhkan, suara bung Sandy sebagai penyiar, menjadi daya tarik tersendiri, terkadang ia melengking, berteriak, tentu dengan logat kental khas arek Suroboyoan.
Jika kalian penasaran dua sosok penyiar tersebut dan kebetulan pernah menonton film Tendangan Dari Langit season pertama. Dua orang ini hadir sebagai komentator pada skena ketika tokoh utama melakukan pertandingan di Stadion Gajayana, Malang.
Radio yang dihadiahkan bapak itu telah menyelamatkan saya dan kecintaan pada sepak bola.
RRI dan kepala Zidane
Tapi masalah tidak lantas serta merta selesai. Jika pada Piala Dunia Korea-Jepang saya hampir menonton semua pertandingan lantaran jarak waktu Korea dan Jepang tidak berbeda jauh dengan waktu di Indonesia. Termasuk melihat tendangan lob indah Ronaldinho yang mampu mengelabui David Seaman.
Tapi, Piala Dunia 2006 adalah musibah. Banyak pertandingan disiarkan ketika sudah larut malam dan saat dini hari. Mustahil untuk menyaksikan laganya karena tak mungkin televisi masih menyala lewat jam 12 malam.
Saya mungkin tidak peduli dan menganggap Piala Dunia yang dihelat di Jerman sudah selesai –seperti piala dunia 2014 ketika Italia tak lolos dari penyisihan grup– jika Italia sebagai kesebelasan favorit tidak melaju sampai ke final.
Saya harus menontonnya, atau paling tidak, harua tahu skor saat itu juga. Tapi memang dasarnya pemalu, saya tidak mungkin mengetuk pintu rumah tetangga tengah malam, Suzana FM sendiri memang tidak pernah menyiarkan jalannya pertandingan secara langsung pada dini hari.
Harapan itu ada ketika Radio Republik Indonesia (RRI) berencana menyiarkan jalannya pertandingan. Saya memutuskan untuk tidur lebih awal. Saya membayangkan bagaimana atmosfer ketika penyiar RRI menyebut komposisi pemain inti kedua kesebelasan atau riuhnya pendukung Gli Azzuri ketika Materazzi mencetak gol penyama kedudukan atau tandukan (lain) dari Zinedine Zidane hasil umpan Bixente Lizarazu di sisi kiri yang mampu dimentahkan satu tangan oleh Gianluigi Buffon.
Saya berada pada era itu, mengahabiskan sebagian waktu remaja saya di samping radio, menemukan diri saya menerawang ke langit-langit kamar sambil mendengarkan dan meresapi pekikan-pekikan dari bung Sandy.
Menjadi bagian sejarah ketika sundulan Zinedine Zidane ke dada Materazzi hanya bisa saya bayangkan di kepala ketika mendengarkan penyiar RRI menyampaikan dengan menggebu-gebu.
Senin (8/2) pagi, saya urungkan niat saya untuk mengecek skor lewat laman situsweb. Saya mencoba mencari frekuensi 91,3 FM dengan headseat yang terhubung ke ponsel. Perlahan-lahan nostalgia masa lalu kembali menyeruak.