Mereka adalah Para Pahlawan

Sebuah artikel berjudul “Di Balik Green Force dan Batman” yang ditulis oleh Suryanto, psikolog Persebaya, di koran Jawa Pos terbitan tanggal 4 Agustus 1990 bisa menjadi rujukan menarik tentang julukan dan labelling dalam kultur sepak bola Indonesia, terutama Persebaya. Suryanto mengawali artikelnya demikian, “Julukan Bledug Ijo untuk menyebutnya sudah ditinggalkan, berganti Green Force, nama kebanggaan arek-arek Persebaya.” Pada sekitar tahun tersebut, pembentukan identitas kultural bagi Persebaya mulai terjadi, di antaranya melalui pemberitaan massif Jawa Pos mengenai kiprah Persebaya dalam kompetisi Perserikatan.

Pada bagian yang lain dari artikelnya, Suryanto menuliskan, “Suatu nama berhubungan pula dengan kewibawaan tim. Sesuatu yang besar, sesuatu yang ganas, sesuatu yang menunjukan kekuatan dan kecerdikan, akan menimbulkan citra bahwa kesebelasan itu memang demikian halnya. Nama juga bisa berhubungan dengan kekompakan. Kekompakan tim sepak bola baik itu dari pemainnya atau pendukungnya merupakan suatu modal berharga bagi suatu kesebelasan. Keseragaman istilah dan nama akan mencerminkan satu bendera atau lambang yang menjadi kebanggaan tim. Dengan adanya keseragaman ini, akan terbentuk kesamaan citra antarpemain serta pendukung. Mereka menjadi satu.”

Dua puluh lima tahun kemudian, Persebaya (1927) –selanjutnya hanya akan disebut dengan Persebaya untuk merujuknya–, klub yang dimatikan dengan paksa oleh PSSI kembali menjumpai para pendukungnya dalam sebuah pertandingan yang memperjumpakan Andik and Friends dengan Team Amigos. Tim yang disebut pertama terdiri dari para pemain yang bernah berkostum Persebaya, dan tim yang disebut belakangan diperkuat pemain-pemain asing yang merumput di Indonesia. Memang, bukan Persebaya yang bermain, namun gelora para penonton yang memenuhi Gelora Bung Tomo pada tanggal 13 Juni 2015 tetap membara.

Tesis yang disampaikan Suryanto menemukan artikulasinya. Green Force, julukan bagi Persebaya, adalah sesuatu yang besar sekaligus memperlihatkan kekuatan dan kecerdikan. Pagi sebelum pertandingan, saya sempat mampir ke Warkop Pitulikur, sebuah warung kopi di tengah kota pahlawan. Di warung kopi yang sederhana namun modern, dengan hanya beralaskan tanah namun dilengkapi dengan akses internet, saya berjumpa dengan serombongan Bonek Jabodetabek. Mereka adalah kloter pertama dari pendukung Persebaya yang berangkat dari Jakarta dengan menggunakan moda transportasi pesawat terbang. Persebaya menjadi magnet yang kuat bagi suporternya untuk datang ke Surabaya.

BACA JUGA:  Jawa Pos dan Sepak Bola: Pembentukan Identitas Anak Muda Kota Berbasis Sepak Bola

Seremoni menjelang pertandingan akan berlangsung jam 19.00 WIB, namun Gelora Bung Tomo sudah dipadati pada fans Persebaya sejak sore hari. Menjelang adzan magrib, bus yang membawa pemain sampai ke Gelora Bung Tomo. Serempak, para fans Persebaya menyerbu bus untuk mengelu-elukan para pahlawan mereka. Nyanyian bergemuruh di depan pintu VIP Gelora Bung Tomo, menyebabkan bus berhenti beberapa menit.

Di tribun utara, suporter telah sesak memenuhinya kala saya masuk ke dalamnya. Saya akhirnya memilih untuk menonton dari tribun utara bagian atas. Beberapa suporter saling bersalaman dan berpelukan setelah dua tahun lebih tidak bersua di tribun stadion. Sebelum seremoni pembukaan pertandingan yang diisi dengan tarian massal membentuk angka 88, sebuah angka yang merujuk pada ulang tahun Persebaya, para pemain yang pernah memerkuat Persebaya berkeliling menyapa seluruh suporter di semua tribun. Standing ovation serempak terjadi di semua tribun. Persebaya, mengutip pemikiran Loius Althusser, adalah pemanggilan (interpellation) bagi para suporternya. Tanpa ada yang memberi komando, berdirilah para suporter dengan tepuk tangan yang membahana. Mereka terpanggil untuk berdiri dan bertepuk tangan karena kesadaran pada identitas yang sama.

Di depan tribun utara, para pemain berhenti. Suporter yang memenuhi tribun bergelora menyanyikan chants. Kertas dan stik fosfor berukuran kecil dengan penuh warna yang sebelumnya dibagi oleh panitia, dilemparkan ke arah pemain. Tentu bukan dengan maksud menyakiti para pemain, namun justru untuk menunjukan rasa cinta mereka pada pemain. Tribun dan tepi lapangan yang berjarak, menjadikan mereka tidak mungkin bersalaman dan berpelukan, jadi stik fosfor pun bisa dipahami secara semiotika dalam secondary signification sebagai tanda cinta pada pemain. Alih-alih berdiam, para pemain yang berada di pinggir lapangan justru dengan riang mengambil stik fosfor dan kembali melemparkannya ke arah suporter. Aksi saling lempar dengan diiringi chants yang bergemuruh merepresentasikan interaksi simbolik kedekatan pemain dan suporter.

BACA JUGA:  Quo Vadis Against Modern Football?

Julukan Green Force berulang-ulang diteriakan oleh para suporter yang menurut pemberitaan Jawa Pos tanggal 14 Juni 2015 berjudul Gelora Bung Tomo Membara, berjumlah 35.000. Sebuah angka yang fantastis mengingat yang bermain hanyalah sebuah kesebelasan yang bernafaskan Persebaya. Apa yang ditulis oleh Suryanto tentang kekompakan tim sepak bola baik itu dari pemainnya atau pendukungnya, sekali lagi, kembali menemukan artikulasinya di Gelora Bung Tomo.

Battle of Heroes, nama yang disematkan untuk pertandingan itu memang layak dan pantas. Mereka yang datang malam itu adalah para pahlawan. Flare yang dibakar oleh para suporter tanpa henti dari sebelum pertandingan sampai pertandingan selesai bisa dimaknai sebagai api nan tak kunjung padam dari para pahlawan Green Force.

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.