Sebagai olahraga yang identik dengan maskulinitas, sepak bola pastilah selalu dibumbui oleh fisik dan mental yang prima. Karena memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, tak jarang body contact yang keras dari ujung kaki hingga kepala wajib dilakukan untuk memenangi setiap duel. Bisa dibilang sepak bola adalah sarana terbaik bagi orang untuk berkompetisi secara sehat.
Sepak bola merupakan olahraga yang mengutamakan fairplay alias menjunjung tinggi nilai keadilan di lapangan. Setiap tim akan berusaha sebaik mungkin menuju kemasyhuran.
Namun apakah sepak bola yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas dalam berkompetisi sudah adil terhadap kaum LGBT atau akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang juga ikut merayakannya?
Sudah hal yang umum dan kita ketahui bersama bahwa sepak bola merupakan salah unsur yang mampu merangkul segala kalangan tanpa memandang perbedaan seperti, perbedaan suku, agama, ras, bahkan jenis kelamin. Dapat dikatakan bahwa sepak bola mampu menyatukan semua. Namun yang jadi pertanyaan, apakah sepak bola juga memiliki ruang bagi kaum LGBT?
Diskriminasi merupakan hal yang lumrah terjadi apabila di dekat kita menemukan keunikan atau dalam hal ini, baik secara individu maupun kelompok orang sepakat mengatakan bahwa kaum LGBT itu memiliki kelainan.
Sering kali korban yang dicap memiliki kejanggalan seperti itu mendapatkan perlakuan yang berbeda dan cenderung dikucilkan di lingkungannya, sehingga dapat memengaruhi kehidupannya. Sepanjang hidup mau tak akan dikucilkan dari lingkungan.
Pun di sepak bola, akibat bertabrakan dengan nilai norma banyak orang, jarang pemain sepak bola yang mengakui dirinya bagian dari komunitas atau kaum LGBT. Bahkan, kebanyakan pesepak bola baru mau mengakuinya saat si pemain sudah memasuki masa pensiun.
Dunia sepak bola sempat dibuat kaget dengan pengakuan Thomas Hitzlsperger yang mengaku bahwa dirinya adalah seorang gay. Meski bukan pesepak bola yang punya nama besar, kariernya selama menjadi pemain berkebangsaan Jerman ini terbilang mentereng.
Pada usia 18 tahun ia sudah merantau ke Inggris dengan bermain bagi Aston Villa. Bahkan Hitzlsperger merupakan kapten bagi tim nasional (timnas) Jerman U-19. Pemain yang berposisi sebagai pemain tengah ini juga sempat menjadi pemain langganan timnas Jerman senior medio 2004-2010 dengan 52 caps atau sampai saat tulisan ini dibuat, melampaui pencapian Sami Khedira dan Toni Kross yang baru membela Jerman sebanyak 51 kali.
Bila ada pertanyaan, “mengapa orientasi seks “khusus” ini sulit diterima dalam sepak bola?” maka jawabannya adalah kembali kepada sanksi dari lingkungan, termasuk di dalam lingkungan sepak bola sendiri.
Sebagai contoh dunia pernah berbuat tak adil terhadap seorang pesepak bola bernama Justin Fashanu. Pemain pertama yang tercatat sejarah mengaku gay ini harus mengakhiri hidup dengan bunuh diri lantaran tak tahan dengan diskriminasi yang diarahkan kepada pemain yang sempat mengharumkan negaranya di timnas Inggris U-21 ini.
Pasca-pengakuan dirinya pada tahun 1994 itu, karier sepak bolanya anjlok dan menamatkan karier di Miramar Rangers, Selandia baru, jauh dari hingga binggar. Lucunya, menurut laman wikipedia, sebelum menekuni sepak bola, dirinya adalah seorang petinju.
Atau bila menilik kasus terbaru, kenyataan pahit disingkirkan dari lingkungan sepak bola akibat kelainan orientasi seksual juga dialami oleh wasit yang notabenenya adalah seorang pengadil di lapangan, simbol dari apa yang dijunjung dalam sebuah pertandingan, yakni fairplay.
Halil Ibrahim Dinçdağ, seorang wasit asal Turki yang mengaku gay, harus diberhentikan dari tugasnya sebagai pengadil di lapangan. Bahkan sadisnya, ia kehilangan pekerjaannya di sebuah stasiun radio olahraga dan juga dihantui ancaman dari kelompok kanan keras. Meski telah insyaf, nyatanya keadilan masih sulit ia terima.
Saat ini, linimasa di Indonesia sedang gencar-gencarnya membicarakan LGBT. Mulai dari edukasi, diskusi, hingga perdebatan tersaji. Massa pro dan kontra pun berceceran memenuhi isi timeline kita sehari-hari. “Indonesia darurat LGBT” begitu seruannya.
Sepak bola pun juga mengalami darurat LGBT. Kiper AS Roma, Morgan De Sanctis pada tahun 2014 menyatakan bahwa sepak bola Italia dipenuhi oleh pemain yang mengalami masalah penyimpangan seksual. Bahkan banyak di antaranya adalah pemain Serie A.
“Homoseksualitas ada dalam sepak bola Italia. Dari 400-500 pemain, 2-3 persen pasti ada yang gay, tapi belum ada yang punya keberanian mengaku,” kata De Sanctis.
Namun dengan adanya keadaan darurat ini tak serta merta menurunkan kualitas liga. Bahkan sepak bola Italia cukup berprestasi. Juventus misalnya mampu tampil di final Liga Champions pada musim 2014/2015.
Artinya keberadaan pemain “unik” tersebut tak terlalu berpengaruh terhadap kualitas liga, meski di ajang Piala Dunia 2014 lalu, seorang jurnalis di Italia bernama Alessandro Cecchi mengatakan bahwa dari 30 pemain timnas Italia yang ke Brasil, ada pemain gay. Hasilnya, Italia gagal unjuk gigi di ajang empat tahunan tersebut.
Pro kontra pun terjadi di Italia, ada yang mendukung perihal pemain untuk coming out seperti Gianluigi Buffon dan Alberto Gilardino. Namun juga ada yang menentang. Baru-baru ini pelatih Napoli, Maurizio Sarri bahkan sempat mengejek juru taktik Inter, Roberto Mancini sebagai seorang yang gay meski tindakan tersebut hanya merupakan reaksi sesaat saja.
Namun, kebanyakan pelaku sepak bola di Italia menyarankan agar pemain tak perlu mengungkapkan jati diri mereka saat masih aktif bermain karena sewaktu-waktu dapat menamatkan karier mereka sendiri. Salah satunya adalah ujaran dari Antonio Di Natale. Penyerang di klub Udinese ini mengatakan bahwa hal tersebut masih tabu untuk dibicarakan.
Lain di Italia lain pula di Inggris. Sejak negara ini melegalkan perkawinan sejenis pada tahun 2013 lalu, sepak bola Inggris bersikap lebih toleran. Total sudah ada delapan klub di Inggris memberikan dukungannya pada komunitas LGBT, di antaranya adalah West Ham, Liverpool, Arsenal, Totenham,Everton, Crystal Palace dan Manchester City.
Bahkan yang terbaru adalah klub Manchester United ikut mendukung LGBT dengan menggelar laga persahabatan melawan Stonewall FC, klub sepak bola yang anggotanya terdiri dari para gay meski belum diketahui kapan rencana ini akan direalisasikan.
Meski demikian, diskriminasi akan selalu hadir. Misalnya dalam bentuk sindiran melalui chant yang memojokan kaum LGBT juga masih sering ditemui saat pertandingan sepak bola. Bahkan FIFA baru-baru ini menghukum lima negara karena homophobic chants selama putaran kualifikasi Piala Dunia 2018.
Lalu bagaimana dengan sikap kita terhadap LGBT? Kita memiliki hak untuk bersepakat atau tidak, tapi yang lebih penting, sebaiknya kita tak melakukan diskriminasi pada mereka yang telah mengaku sebagai LGBT. Tidak menjadi hakim untuk memangkas hak hidup kaum LGBT.