Musik, Sepakbola dan PSIM

Sepakbola dan musik adalah dua komponen yang sulit untuk dipisahkan. Selain fesyen, ideologi, dan banyak subkultur lain yang menaunginya. Sepakbola adalah bagian dari masyarakat yang semestinya bisa dilihat eksistensinya. Sepakbola bukan sekadar pertandingan yang selesai 90 menit, lebih dari itu sepakbola juga merupakan bentuk ekspresi beserta luapan emosi dari masyarakat, khususnya di Jogjakarta dan mendukung PSIM.

Hal itulah yang hendak disuarakan lewat acara From Terraces To The Stage (FTTS) yang diadakan pada Minggu (22/12) kemarin. Acara yang diadakan di Jogja National Museum tersebut merupakan gelaran kedua. Edisi FTTS pertama diadakan pada bulan Mei 2018 di XT Square.

Acara ini digagas secara kolektif oleh komunitas pendukung PSIM yaitu Lamindet Society. Latar belakang FTTS tidak lain dan tidak bukan diawali dari keresahan mereka akan perhelatan musik underground di kota Jogja.

Para musisi lokal ini lambat laun menepi dari hingar bingar panggung. Ya, berbagai acara musik di kota Gudeg tersebut beberapa tahun ke belakang lebih sering diisi oleh musisi besar dari luar Jogja.

Menariknya, acara yang digagas Lamindet Society ini diselenggarakan tanpa sponsor. Mereka hanya mendapatkan pendapatan dari tiket seharga Rp 20.000 dan juga dukungan dari kumpulan UMKM pecinta PSIM di seputaran Jogja. Para pegiat acara ini pun semua bekerja secara gotong royong dan ikhlas.

Ketua panitia FTTS, Angger Woro, menjelaskan bahwa perhelatan ini bertujuan untuk mendekatkan diri sekaligus memberi panggung kepada band-band lokal Jogja di Yogyakarta, terutama yang memiliki lagu bertema sepakbola dan PSIM.

“Banyak kelompok suporter maupun individu pencinta Laskar Mataram yang membuat karya bertema PSIM, tapi ruang berekspresi mereka amat minim,” kata Angger dikutip dari Tribunnews Jogja.

“Melalui acara ini juga diharapkan audiens dapat saling berbagi energi positif, bersosialisasi membangun jaringan pertemanan, dan mendapatkan banyak pengertian baru tentang musik underground serta sepakbola. Tak berhenti sampai di situ, mereka juga dapat menyalurkan energi berlebihnya dengan mengisinya dengan kegiatan positif,” tambahnya.

Itu terbukti dengan munculnya album kompilasi Titik Nol. Album tersebut berisi 8 lagu dari 8 band Jogja mengenai sepakbola, khususnya PSIM. Titik Nol bisa dibilang akan memacu para pemuda dan pemudi Jogja yang menggemari music serta PSIM buat pamer kreativitas dan menelurkan karya.

BACA JUGA:  Yuuka Kageyama yang Mencintai Sepakbola

Selain acara musik, pada FTTS kali ini juga diadakan diskusi, live mural, ruang pameran arsip dan lukisan serta penjualan merchandise dari jenama clothing bertemakan sepakbola di Jogja.

Salah satu yang menarik tentu acara diskusi yang menurut saya, jadi sebuah momen brainstorming. Sesi pertama diisi oleh Santai Bareng Rocker yang digagas oleh Bawah Skor dengan pembicara pada sesi kali ini adalahAdnan Darma Kusuma, Angger, dan Dimaz Maulana. Mereka membahas kaleidoskop 2019 dan juga momen penting sekaligus menarik dari PSIM di musim ini.

Sesi kedua diisi oleh Junot, aktivis sosial dan seniman mural yang mempunyai nama alter MoanSnake28. Diskusi yang dipandu oleh Primbvn dan Mikel tersebut mengambil tema Sepakbola dan Identitas Sosial.

Junot yang merupakan warga tengah kota Jogja lantas menyinggung keresahan akan realitas kehidupan di kota Gudeg. Termasuk juga dalam hal ini membahas soal UMR (Upah Minimum Regional) Jogja yang rendah.

Ia menceritakan bahwa di Inggris, buruh turut andil dalam revolusi industri di abad ke-18. Revolusi tersebut berawal dari ketimpangan sosial yang mencolok. Menariknya, hal tersebut juga bersinggungan dengan sepakbola. Lagu John Lennon yang berjudul Working Class Hero adalah representasinya.

Tak selesai di sana, pendukung Sankt Pauli menjadi bagian dari tingkatan kemajuan gerakan buruh yang lantang berbicara dan menentang rasisme, homofobia, seksisme dan fasisme. Bisa dibilang paham ini pun menjadi kultus.

Dari beberapa hal di atas kita harus belajar bagaimana membawa komunitas (dalam hal ini suporter sepakbola) untuk menjadi garda depan dalam mengawasi dinamika sepakbola dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Ada dua spanduk menarik yang terpampang pada acara FTTS kali ini yaitu ‘Tourism Kills The City’ dan ‘Nerimo Ing Pandum, Dalam Ketimpangan’. Terpapar jelas bagaimana Jogja tengah dihujani banyak masalah dan semuanya berdampak kepada masyarakat, termasuk suporter PSIM.

Menjelang malam, acara yang ditunggu-tunggu yaitu pentas musik akhirnya dimulai. Line up pada FTTS kali ini diisi oleh Sidekick, Lakang Tirex, Andry Priyanta, Lost Stroom, Lads Oi, The Genk, Barley Hops, The Glad, Since K.O, dan yang paling ditunggu dari semuanya adalah DOM 65.

BACA JUGA:  PSIM Jogja: Rindu Berwarna Biru

Sebagaimana band-band dari sepakbola pada umumnya, kebanyakan dari mereka memainkan musik punk oi, celtic punk, street punk, hardcore, ska, dan semacamnya. Sebagian dari mereka juga menyanyikan lagu-lagu dari band-band punk sepakbola seperti Cock Sparrer, Dropkick Murphys, Oasis, Sham 69, Inasubs, dan ACAB.

Penonton sontak melakukan prosesi bernyanyi bersama, berpogo, slam dance, violence dance, sesuka hati mereka. Acara ini bisa dibilang menjadi perayaan penutup musim bagi pendukung PSIM.

Sebagaimana tajuk acara ini yang berarti dari tribun ke panggung, FTTS setidaknya mampu memindahkan Stadion Mandala Krida ke Jogja National Museum barang sejenak. JNM pun menjadi penuh sesak oleh para pendukung PSIM.

Tiket yang mulanya disediakan 600 lembar pun terpaksa harus ditambah 200 lembar lagi. Hingga akhirnya panitia pun memutuskan untuk memberi cap saja untuk penonton yang masuk karena antusiasme yang membludak.

Sekitar 2000 orang yang kebanyakan dari mereka adalah anak muda hadir menjadi penonton. Mereka datang dengan kaos band andalan, gaya kasual, dan tentunya dengan memakai atribut Laskar Mataram.

Sampai akhirnya, DOM 65 yang ditunggu-tunggu penampilannya, berkesempatan untuk menghibur semua penonton. Dimulai dengan lagu Shine On You Crazy Diamond yang membuat adrenalin para hadirin memuncak. Sontak penonton yang duduk-duduk di pendopo JNM pun langsung merapat ke depan panggung.

Selanjutnya, DOM 65 juga memainkan lagu-lagu andalannya tentang sepakbola yaitu Stone War, Never Rust, dan yang paling ditunggu adalah Fortuna.

Lagu Fortuna dalam beberapa minggu terakhir memang mencuat kembali setelah muncul pada talkshow Ngobam di Youtube yang dipandu Gofar Hilman. Saat lagu ini dinyanyikan, banyak penonton mulai menaiki panggung. Mereka berebut microphone untuk bernyanyi bersama sang vokalis. Sebuah pemandangan yang asyik melihat pendukung PSIM begitu rindu menyanyikan lagu dukungan bagi klub kesayangan mereka via aksi panggung DOM 65.

FTTS edisi kedua memang mengena bagi para suporter PSIM. Sebagaimana tertera dalam lagu Fortuna yang dinyanyikan oleh DOM 65 bahwa rakyat Jogja menunggu dan akan terus mendukung PSIM untuk menuju ke kasta teratas sepakbola Indonesia.

 

Komentar
Mahasiswa yang sedang menyelesaikan studinya di Surabaya. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @mailboxx_.