Kemenangan adalah ganjaran terbesar dalam sepakbola. Ia diburu oleh pemain, dituntut oleh penggemar. Batas-batas mental dan fisik dibantah demi sejengkal keunggulan yang tidak dimiliki lawan.
Pesepakbola zaman kiwari tidak berlari lebih cepat, berpikir lebih tepat dengan sendirinya. Sering dikabarkan oleh juru warta tentang andil berbagai ilmu pengetahuan di balik kegemilangan sebuah tim.
Namun tidak ada kemajuan yang paling mudah ditangkap mata selain pakaian yang melekat di tubuh para pemain. Dalam lima tahun terakhir, satu jenama membawa seragam sepakbola ke batas-batas terluarnya.
Pada 2016, Nike memperkenalkan AeroSwift. Pokok dari teknologi ini adalah penemuan benang dan teknik perajutan baru.
Benang AeroSwift lebih berisi sehingga dibutuhkan lebih sedikit benang untuk satu pakaian. Material baru ini juga memungkinkan Nike mempunyai dua jenis rajutan.
Rajutan satu lapis untuk area pakaian yang membutuhkan pengaliran udara lebih baik, sementara dua lapis untuk membentuk struktur pakaian.
AeroSwift menyelesaikan permasalahan teknologi Nike sebelumnya yaitu Dri-FIT. Seperti seragam sepakbola pada pertengahan 2010-an, Dri-FIT mengandalkan laser untuk membuat ventilasi.
Fitrah laser yang membakar bidang yang dibidiknya memaksa Nike membatasi ventilasi hanya pada sebagian kecil area. Jika laser diterapkan terlalu banyak, pakaian terancam kehilangan bentuknya.
Hal itu mengingkari kebutuhan para atlet yang memiliki begitu banyak zona panas di tubuh selama bertanding. AeroSwift mengizinkan Nike menempatkan ventilasi di mana pun ia diperlukan.
Konsep AeroSwift yang mulai digagas pada 2014 diam-diam diujicobakan Nike setahun berikutnya di seragam ketiga Paris Saint-Germain.
Seragam ketiga yang lebih bebas dari beban menjaga tradisi kelak menjadi lahan eksperimen Nike yang layak ditelusuri.
Fitur AeroSwift yang tampak di jersei itu adalah pola rajutan di dada yang mengesankan kostum pahlawan super.
Ketika AeroSwift menampakkan diri secara utuh pada 2016, barulah kita tahu fitur lain yang belum ditampilkan di seragam perintis tersebut, di antaranya lengan raglan.
AeroSwift mengantarkan Nike memimpin perlombaan abadi yaitu penciptaan pakaian yang lebih ringan, lebih sejuk, dan membebaskan pergerakan pemain.
Kini, teknologi serupa yang diluncurkan para pesaingnya harus puas dianggap pengekor. PUMA praktis baru mengejar ketertinggalannya pada 2018 dengan evoKNIT.
Kompas desain mereka sampai dengan tahun lalu begitu mengarah pada ide-ide AeroSwift dan penerusnya.
adidas sebagai penguasa lama menolak jalan mudah yang diambil saudaranya. Mereka menyibukkan diri mencari potongan baru untuk pakaiannya seolah revolusi terjadi di semesta yang berbeda.
Kendati demikian, beberapa tren yang kembali dipopulerkan AeroSwift terlalu sukar ditolak. Lengan raglan, contohnya, dalam berbagai rupa muncul dalam mode terbaru adidas seperti Condivo 20.
Kegemparan yang ditimbulkan AeroSwift di kantor pesaingnya agaknya berbeda jenis dengan yang ditemukan di jagat maya.
Seragam AeroSwift begitu menjemukan. Tak peduli Inggris, Prancis, Portugal, wujudnya sama. Tidak ada corak lain selain warna utama dengan lengan yang berwarna lebih gelap.
Bagi banyak orang, inilah batas akhir kesabaran mereka. Nike sudah terlalu lama bermain dengan konsep desain bersih yang rawan mengundang jenuh.
Ketiadaan variasi juga dipandang sebagai ketundukan federasi dan klub terhadap komersialisasi sepakbola. Mereka tak lebih dari penyedia maneken bergerak bagi Nike.
Keresahan khalayak dapat dimengerti. Teknologi AeroSwift tidak relevan bagi keseharian awam yang mengenakan jersei untuk kegiatan santai.
Seragam replika yang akan dibeli oleh sebagian besar orang juga tidak menyertakan teknologi mutakhir itu, sehingga warna dan corak menjadi kriteria utama penilaian jersei baru.
Di pihak lain, agak kurang tepat menuduh Nike kehabisan ide. Mereka pada saat itu belum mampu melakukan sublimasi ke permukaan AeroSwift.
Seragam Kroasia di Euro 2016 masih menggunakan Dri-FIT untuk mengakomodasi corak kotak-kotak yang mustahil ditinggalkan.
Kostum kandang Barcelona dan Paris Saint-Germain untuk musim 2016/2017 sanggup mempertahankan motif tradisionalnya lantaran menggunakan material yang berbeda untuk kausnya.
Nike secara resmi tetap menyebut kedua klub memakai AeroSwift. Klaim yang masuk akal mengingat AeroSwift juga mencakup celana.
Generasi kedua AeroSwift yang muncul setahun kemudian tidak lagi mempunyai masalah yang sama.
Garis Hechter di seragam Paris Saint-Germain 2017/2018 benar-benar menyatu dengan kain AeroSwift.
Kemajuan lain dapat ditemukan di seragam ketiga tim-tim elit mereka. Pola kamuflase geometris yang ada di sekujur pakaian dicapai dengan membedakan rajutan bukan sublimasi. Hal ini menandakan niat Nike untuk meragamkan kreasi teknologi barunya.
https://twitter.com/FCBarcelona/status/907920908735610880?s=19
Pada tahun kedua AeroSwift, jenama asal Amerika Serikat ini baru mampu membedakan seragam ketiganya. Di luar itu, semua masih tampak sama.
Perbedaan motif kamuflase di antara klub penggunanya pun hanya perkara warna saja. Sebutan pemalas tetap bertebaran di diskusi publik tentang Nike.
Empat tahun sejak proyek agung dimulai, Nike membuka bab baru pada 2018: VaporKnit. Pola rajutan AeroSwift yang identik dengan pakaian pahlawan super, kini menyerupai grafik gelombang suara.
Ventilasi VaporKnit lebih menyebar dan kompleks yang mungkin menunjukkan pemahaman lebih lanjut Nike tentang sirkulasi udara yang dibutuhkan pesepak bola.
Corak kamuflase dari musim sebelumnya memberikan Nike kepercayaan diri untuk mencoba kemungkinan baru.
Hasilnya, Nike mampu membuat variasi antar tim. VaporKnit datang bertepatan dengan Piala Dunia 2018.
Seragam tandang Inggris yang dipakai di Rusia memiliki rajutan membentuk Salib St. George di bagian depan.
Nike juga memanfaatkan pola rajutan VaporKnit sebagai elemen grafis. Ventilasi yang melintas di bagian depan seragam ditindas warna merah untuk menghasilkan garis Hechter di jersei kandang Paris Saint-Germain musim itu.
Pada kostum kandang Cina, rajutan berlapis-lapis di lengan diberi berbagai warna dari spektrum kuning yang kemudian diinterpretasikan sebagai semburan naga.
Periode VaporKnit juga menandakan kepulangan Nike ke grafis eksplosif yang melahirkan seragam-seragam legendaris mereka selama 1990-an.
Cerita tersukses kepulangan ini tentu saja rekor pemesanan tiga juta jersei kandang Nigeria yang fenomenal itu. Motif chevron yang mewabah di seluruh permukaannya bukan terobosan besar dalam dunia desain grafis.
Kita mungkin pernah melihatnya di poster, kemasan, atau pakaian streetwear, tapi tidak pernah di seragam sepakbola. Konsep persilangan inilah yang berusaha dikapitalisasi Nike.
Kolaborasi Paris Saint-Germain dengan Jordan yang dimulai pada tahun itu juga, dilandasi semangat yang sama.
Nigeria’s 2018 World Cup kit reflects the spirit and swagger of contemporary Nigeria – we talked to @Nike’s Design Director Pete Hoppins about the inspiration for the design. #WorldCup #WorldCupOfKits https://t.co/fBeoAwoeC6 pic.twitter.com/86dgmmehJ5
— Creative Review (@CreativeReview) June 23, 2018
Nike hampir mencatat lonjakan penjualan lain pada 2018 andai seragam tandang Cina yang kini menjadi benda keramat itu tidak ditolak federasi sepabola Cina (CFA) di saat-saat terakhir.
Berbekal sambutan meriah yang diterima, Nike semakin percaya grafis disruptif adalah jalan terbaik. Namun pada 2019, Nike mengusik semua orang.
Seragam kandang Barcelona menjadi Kroasia. Setrip Inter Milan diganggu blok diagonal di tengah. Nike yang dulu dipanggil pemalas, sekarang dituduh banyak tingkah.
Seperti kebanyakan jersei kandang Nike musim itu, corak sibuk di seragam kandang Chelsea 2019/2020 membelah opini publik.
Keberhasilan Nigeria atau Cina disebabkan motif familier yang dipindahkan ke seragam sepakbola. Tetapi, publik tidak siap dengan corak yang benar-benar baru.
Foto Stamford Bridge yang dimanipulasi, dipotong, kemudian diacak bukan pemandangan akrab bagi pendukung Chelsea manapun.
Apa yang sesungguhnya dipikirkan para desainer Nike ketika merancang kostum-kostum itu?
Pemberitaan tentang mereka tidaklah banyak, dan sekalipun ada, pendapat mereka seringkali amat menjaga kepentingan banyak pihak. Pernah diibaratkan desainer berasal dari Mars, dan publik dari Venus. Keduanya memiliki cara pandang yang terlalu berbeda.
Pendapat pribadi penulis yang suka merayakan keragaman menganggap tahun kedua VaporKnit pada 2019 sebagai puncak pencapaian jenama berlambang centang tersebut.
Mereka tiba di keseimbangan terbaik antara eksplorasi material dan grafis. Teknologi material yang diperoleh dengan meragukan batas adalah padanan yang pantas untuk corak yang mempertanyakan tradisi.
Kesan yang didapat dari jersei-jersei Nike di musim 2019/2020 kurang lebih begini: Seragam kandang mengusik tradisi, seragam kedua justru menjaga diri.
Motif sash di atas warna kuning seragam Barcelona diambil dari era Johan Cruijff. Nike juga meminjam kerapian subkultur mod 1960-an untuk seragam Chelsea.
Koleksi seragam tandang Nike musim itu cenderung bersih dan aman, mengingatkan kita dengan era Dri-FIT terdahulu.
Sementara itu, sejak mengenalkan pola kamuflase di edisi terakhir AeroSwift, seragam ketiga Nike selalu dipayungi satu tema khusus.
Mereka mengusung konsep citra satelit pada tahun pertama VaporKnit. Di tahun kedua, mereka menafsirkan ulang seragam ikonik masing-masing klub dari dekade 1990-an.
Logo Nike “Futura” dan statement collar menjadi pondasi. Variasi antar klub didapatkan lewat pola jacquard yang berbeda-beda.
https://twitter.com/Copa90/status/1172214290813739008?s=19
Nike memanfaatkan momentum. Estetika 1990-an sedang naik daun. Bagi generasi yang lahir di abad ke-21, estetika ini sesuatu yang baru. Bagi generasi yang tumbuh di periode tersebut, pakaian itu membawa nostalgia.
Hasil pekerjaan Nike di musim panas 2019 adalah monumen untuk masa depan. Satu jenama yang berhasil memuaskan selera banyak orang dengan bahasa desain yang sejatinya lantang, tetapi begitu luwes penerapannya. Puncak manalagi yang tersisa untuk Nike?
Memasuki tahun ketiga VaporKnit, Nike telah melalui banyak kendala. Mulai dari generasi pertama AeroSwift yang sama rata, mereka kini mampu meragamkan kreasinya sesuka hati.
Namun variasi itu baru seputar pola rajutan dan corak pakaian. Untuk musim 2020/2021, Nike mempertanyakan batasan terbesar dalam jersei sepakbola, “Bisakah kita hidup tanpa template?
We're ditching the templates. For the 2020 kits, Nike designers had 65 chassis options available to them across varying necklines, sleeves, cuffs, badge placement, etc. From hand-drawn prints to custom fonts, each team’s look will be its own.
— Heidi Burgett (@heidiburgett) February 5, 2020
Template, semenjak seragam sepakbola diproduksi masal, memudahkan produsen membuat desain yang konsisten. Secara ongkos pun lebih irit.
Harga yang harus dibayar untuk kemudahan ini adalah kreativitas. Potensi estetik sebuah jersei terikat potensi template yang digunakan.
Template juga mengatur soal struktur pakaian. Oleh karena itu, ketika Nike mengatakan akan meninggalkan template, mereka juga menekankan variasi garis leher, lengan, atau manset. Wilayah yang memang belum tersentuh oleh revolusi.
Nike sebenarnya agak berlebihan saat menyebut akan meninggalkan template. Mereka pada dasarnya memperkaya opsi desainnya.
VaporKnit tahun ketiga masih mempunyai bentuk baku. Pola rajutan ventilasinya kini menyerupai sidik jari. Lis untuk kerah berbentuk “V” melebar di belakang. Fitur dasar lain adalah garis zig-zag di samping.
Perbedaannya, semua bisa dikombinasikan dengan opsi lain. Kerah, misalnya, terdapat jenis melingkar dan yang menggunakan kelopak. Garis di samping dapat diganti lurus. Manset di lengan bisa bercorak atau dibiarkan polos.
Nike sedang mengamalkan prinsip modular. Seragam sepakbola dipecah menjadi komponen-komponen. Kemudian, variasi untuk setiap komponen disediakan.
Mereka lantas bebas memadukannya tanpa ada aturan antar komponen. Pelenyapan aturan inilah yang mungkin dimaksud oleh Nike soal meninggalkan template.
Asumsi ini dibenarkan oleh teamwear Nike untuk 2021. Mengambil contoh seragam kandang Tottenham Hotspur 2020/2021, kita kini tahu bahwa Nike memadukan VaporKnit III dan Park Derby III, dengan beberapa detail yang tetap tidak dimiliki teamwear manapun.
Desain modular baru memasuki fase awalnya. Akan menarik untuk melihat kesungguhan Nike menciptakan pembaruan di area lain seragam sepakbola.
Untuk saat ini, model kerah atau manset yang digunakan Nike bukanlah sesuatu yang baru. Nike pun tidak sendirian soal mencampuradukkan template. Kostum kandang Jerman untuk Euro 2020 menggabungkan adidas Campeon 21 dengan Condivo 20.
Corak di VaporKnit tahun ketiga tidak lagi dibatasi oleh status seragamnya; entah kandang, tandang, atau ketiga.
Setelah banyak membuat keributan semusim sebelumnya, Nike mengembalikan tradisi ke seragam kandang musim 2020/2021. Barcelona, AS Roma, Paris Saint-Germain, dan Chelsea termasuk dalam kelompok ini.
Seragam kedua mereka juga cenderung sederhana. Di sisi lain, ada tim seperti Spurs yang seragam kandangnya seolah tak punya urusan mengenang masa lalu.
Liverpool terbilang campuran. Seragam kandangnya tidak aneh-aneh, sementara seragam tandangnya sangat ekspresif dengan motif yang diduga merujuk pada Gerbang Shankly.
Nike juga menunjukkan kedalaman kreativitas dengan menambah cara baru untuk menciptakan motif. Corak di kostum kandang Nigeria atau tandang Korea Selatan untuk 2020 digambar dengan tangan.
Hasilnya, sebuah pola yang terkesan organik. Pendekatan tersebut berbeda dengan seragam jingga Belanda yang diberi ilustrasi singa bergaya geometris. Tema futuristis dengan visualisasi psikedelik mewarnai jersei keempat Paris Saint-Germain.
Jersei keempat merupakan tren baru pada musim 2020/2021. Seragam ini dibuat untuk berlagak di jalanan atau video game, jadi tidak terlalu menggubris aturan kompetisi yang penuh batasan.
Inter Milan memerlukan izin khusus untuk mengenakannya sekali di pertandingan Serie A. Sebuah usaha yang sepadan sebab kostum itu adalah sebaik-baiknya rilisan Nike musim lalu, ketika kain menjadi kanvas dan tetek bengek sepakbola rela mendahulukan keindahan.
https://twitter.com/Inter/status/1379705509305970688?s=19
Nike meninggalkan keseimbangan yang diraihnya pada 2019 dengan memilih desain modular dan memerdekakan pilihan coraknya pada 2020.
Nike memang tidak berniat berlama-lama dengan kemapanan. John Hoke, Chief Design Officer Nike tampaknya bersungguh-sungguh ketika ia mengatakan, ”Terbaik hanyalah sementara”.
Meskipun sekilas tampak berbeda-beda dan terkesan kurang konsisten, kita bisa sepakat bahwa seragam Nike 2020/2021 tetap menyuarakan pembaruan.
Dengan pendapatan miliaran dolar per tahun, Nike merupakan satu dari dua perusahaan yang sanggup mencetuskan inovasi berskala besar di sepakbola.
adidas, satu pihak lainnya, meraih pendapatan dengan banyak berkaca pada masa lalu.
Nike dengan senang hati mengambil peran pelopor. Cap pembuat onar adalah konsekuensi pasti dari keputusan Nike.
Dalam beberapa dekade ke depan, ketika penilaian tentang masa-masa bergejolak ini mulai mengkristal, generasi yang akan datang mungkin akan menengok periode ini sebagai periode penting dalam perkembangan seragam sepakbola.
Pembaharuan yang dilakukan Nike mungkin secara umum akan dipandang lebih positif. Namun bagi kita para saksi sejarah, perubahan besar selalu membawa kegelisahan, perdebatan, juga harapan baru.