Nostalgia Blackburn Rovers Melalui Kehebatan Leicester City

Apa kabar fan Manchester City? Semoga Anda semua masih diberi kesehatan yang prima ya walau mungkin denyut jantung mulai tak beraturan, perut melilit, kepala pusing dan gigi cekot-cekot. Saya mafhum, sepasang gol dari Robert Huth dan satu tembakan dahsyat Riyad Mahrez bikin Anda nggak enak makan, nggak enak tidur, walau Sergio “Kun” Aguero sempat menghibur kepedihan Anda melalui satu golnya.

The Citizens secara mengenaskan tumbang 1-3 dari Leicester City di laga lanjutan pekan ke-25 Liga Inggris. Oleh karena itu, saya sarankan kepada fan Aguero cs. supaya istirahat cukup dan jangan nekad untuk menyaksikan cuplikan laga melawan The Foxes di kanal Youtube. Pahit lho.

Pertandingan antara Manchester City versus Leicester City (6/02) jadi salah satu partai yang dinantikan pencinta sepak bola. Alasannya tentu duel kedua tim menjanjikan tontonan yang bakal memikat mata. Ya, lebih baiklah ketimbang nonton Internazionale Milano yang bikin gemas, cemas dan ngantuk. Bahkan ada yang menyebut partai ini sebagai penentuan juara, hal yang tentunya langsung disanggah pelatih masing-masing kubu.

Jelang pertandingan berlangsung, beberapa kalangan menyebut City bakal mampu menggulung The Foxes. Salah satu alasan yang membuat City diunggulkan adalah performa Aguero yang lagi panas-panasnya. Sudah jadi rahasia umum bila performa striker berkebangsaan Argentina tersebut ada pada kondisi top, maka klub yang dipimpin Khaldoon Al Mubarak ini jadi lebih gahar. Nasib Leicester sang liliput jadi makin tersudut.

Tapi itulah menariknya olahraga sebelas lawan sebelas ini karena tak ada kepastian yang benar-benar bisa diketahui sampai wasit meniup peluit panjang tanda laga usai. Bermain dengan seragam away mereka yang berwarna hitam, Leicester sukses menyihir puluhan ribu pasang mata yang memadati stadion Etihad, markas City. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, sang tamu berhasil menggulung anak asuh Manuel Pellegrini.

Kemenangan itu memperlebar selisih angka di antara kedua kubu yang sebelum pertemuan ini cuma terpisah tiga poin serta berdiri beriringan di peringkat 1 dan 2 klasemen sementara. Manajemen City mungkin saja sedang garuk-garuk kepala melihat performa Leicester yang nilai skuatnya hanya seperlima dari tim mereka pasca-pertandingan.

Segeralah datang, Pep. Mungkin kalimat itu yang merongrong benak sebagian besar fan The Citizens saat ini.

Hasil positif yang diraih The Foxes itu juga membuat banyak pihak yang semakin ingin melihat mereka menyelesaikan Cinderella Story ini dengan gilang gemilang. Mungkin sebagian orang sudah jenuh melihat kesebelasan-kesebelasan ber-uang macam City, Manchester United atau Chelsea yang silih berganti menyambar titel juara Liga Inggris dalam sepuluh musim terakhir.

Bicara soal kejutan, sebenarnya Liga Inggris pernah menghadirkan kisah serupa pada era Liga Premier, tepatnya dua dasawarsa silam yaitu musim 1994/1995. Tersangkanya adalah klub yang bermarkas di stadion Ewood Park, Blackburn Rovers. Secara mengejutkan, Blackburn yang saat itu ditukangi pelatih asal Skotlandia, Kenny Dalglish, berhasil mengangkangi Arsenal, Liverpool, Leeds United, Manchester United dan Newcastle United yang lebih difavoritkan.

Kejayaan Blackburn pada masa itu takkan bisa dilepaskan dari sosok taipan baja asli Blackburn bernama Jack Walker yang telah berpulang ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa pada tahun 2000 silam. Sang pebisnis mulai banyak terlibat dalam urusan internal klub pada akhir tahun 1980-an saat dirinya mendonasikan sedikit profit dari perusahaannya yang bernama WalkerSteel untuk membangun tribun anyar WalkerSteel Stand, kini disebut Riverside Stand, di Ewood Park yang kala itu ketinggalan zaman.

BACA JUGA:  Kredo Untuk Arsenal: Dua Wajah Calum Chambers

Barulah pada 1991 Walker mengambil alih klub yang didukungnya sedari kecil tersebut secara penuh. Keinginan Walker untuk menjadikan kesebelasan asal kota kelahirannya sebagai tim yang disegani diwujudkannya lewat pembelian sejumlah pemain bintang berharga mahal. Di bawah tuntunan Walker, Blackburn dua kali memecahkan rekor transfer pada masa itu.

Masing-masing untuk membajak eks penyerang legendaris tim nasional Inggris, Alan Shearer, dari Southampton dengan tebusan sebesar 3,3 juta poundsterling pada 1992 dan Englishman lain dalam figur Chris Sutton dari Norwich City seharga 5 juta poundsterling pada tahun 1994.

Duo striker inilah yang kemudian melahirkan julukan SAS (Shearer and Sutton) sebelum direplikasi oleh Luis Suarez dan Daniel Sturridge di Liverpool pada 2013/2014. Namun sudah jadi rahasia umum bila yang original memang lebih mantap. Setidaknya dalam urusan raihan gelar.

Skuat Blackburn sendiri saat itu juga diisi talenta berkualitas dalam diri Henning Berg, Colin Hendry, Graeme Le Saux, Stuart Ripley dan tentunya sang skipper berambut gondrong, Tim Sherwood. Walker bahkan secara bombastis memandang Sherwood lebih sempurna ketimbang sosok Zinedine Zidane ketika itu. Alhasil Blackburn pun dianggap sebagai salah satu kekuatan baru era Liga Premier dalam memperebutkan gelar juara.

Setelah berhasil promosi melalui jalur play-off musim 1991/1992, Blackburn secara mengejutkan tak pernah keluar dari posisi empat besar di dua musim perdana mencicipi kasta teratas Liga Inggris. Pada musim 1992/1993 Sherwood dkk., finis di tempat keempat, terpaut tiga dan satu poin saja dari penghuni posisi dua dan tiga klasemen akhir, Aston Villa dan Norwich.

Semusim berselang, anak asuh Dalglish berhasil menapak ke peringkat kedua dengan koleksi 84 poin dan hanya kalah dari sang juara, Manchester United, yang punya perbendaharaan angka 92 poin.

Dan musim 1994/1995 menjadi episode yang begitu manis untuk klub berlogo bunga mawar ini. Bermodal racikan Dalglish yang ampuh dan skuat mumpuni, Blackburn sukses mempecundangi The Red Devils untuk membawa pulang trofi juara liga ke Lanchasire. Nama Le Saux, Hendry, Shearer dan Sherwood juga masuk dalam PFA Team of The Year musim tersebut.

Tak cukup sampai di situ, prestasi individual pun dicatatkan oleh Shearer dengan keluar sebagai pencetak gol terbanyak musim 1994/1995 berkat kemampuannya menciptakan 34 gol dan PFA Player of the Year. Pun begitu dengan sang manajer, Dalglish didapuk sebagai Premier League Manager of the Year berkat kesuksesan tersebut. Impian Walker menyaksikan klub idolanya menjadi yang terbaik di daratan Inggris pun tercapai.

Cerita dongeng Blackburn itu kembali mengemuka musim ini setelah klub ecek-ecek yang musim lalu bergelut di papan bawah guna menghindari degradasi, Leicester, menampilkan sesuatu yang di luar ekspektasi banyak orang. Tak terkecuali fan The Foxes sendiri.

BACA JUGA:  Robin Friday: Rockstar Sejati di Dunia Sepak Bola

Pada awal musim ini, manajemen The Foxes resmi mendepak Nigel Pearson dari kursi manajer meski sanggup menyelamatkan klub asuhannya dari jerat degradasi. Nama pelatih gaek asal Italia, Claudio Ranieri, lalu diangkat sebagai pelatih anyar. Pembenahan pun dilakukan pihak klub dengan merekrut beberapa nama semisal Robert Huth, N’Golo Kante dan Shinji Okazaki untuk memperdalam skuat. Tujuannya apalagi kalau bukan survive di kasta teratas Liga Inggris.

Akan tetapi Leicester malah tampil amat mengejutkan musim ini karena mampu bercokol di papan atas. Strategi ala Italia dan semangat ala Inggris yang dikombinasikan Ranieri berhasil membuat Leicester mengganggu konstelasi di papan atas.

Klub sekelas Chelsea dan Liverpool saja tak mampu melakukannya. Secara tak terduga, The Foxes berhasil membuat klub jagoan macam Chelsea, Liverpool, Tottenham dan yang teraktual, Manchester City, bertekuk lutut saat menjalani duel.

Mengandalkan punggawa seperti Kasper Schmeichel di bawah mistar, Huth dan Danny Simpson di lini belakang, Kante dan Mahrez di jantung permainan serta Jamie Vardy sebagai penyelesai serangan justru membuat The Foxes tampil garang bak rubah yang sedang lapar.

Permainan nggak neko-neko yang ditunjukkan Mahrez cs. sampai-sampai membuat Brian Reade menulis di mirror.co.uk bahwa dirinya merasa seperti anak kecil lagi saat menyaksikan Leicester bertanding (dan mencoba untuk memperebutkan gelar juara). Sungguh sensasional.

Performa Leicester membuat saya jadi teringat slogan populer Impossible is Nothing milik brand ternama asal Jerman, Adidas. Apa yang diperbuat Ranieri dan klub asuhannya musim ini memang bak sebuah pertempuran melawan kemustahilan.

Bila pada akhir musim nanti The Foxes benar-benar keluar sebagai juara, kisah dongeng mereka jelas lebih manis ketimbang Blackburn yang saat itu disokong dana melimpah dari Walker. Ranieri sendiri masih enggan membicarakan kans tersebut tapi kemungkinan untuk keluar sebagai pihak yang tertawa paling akhir sangat besar.

Akan sangat menarik untuk terus mengikuti perjalanan Leicester bertarung melawan kemustahilan di laga sisa kompetisi musim ini. Pendapat publik sudah pasti terbelah, ada yang pro jika The Foxes juara dan ada juga yang kontra. Bisa jadi pihak yang kontra adalah barisan sakit hati yang klub favorit mereka dipecundangi tim yang berkandang di Stadion King Power tersebut.

Ah, saya hampir saja lupa, seperti yang dirilis skysports.com laga terakhir Leicester pada musim 2015/2016 ini adalah bertandang ke markas Chelsea, Stadion Stamford Bridge. Bagi Ranieri, kans untuk mengangkat trofi juara di depan publik London biru jelas menjanjikan bukan?

 

When you’re smiling, when you’re smiling, the whole world smiles with you…

When you’re laughing, when you’re laughing, the sun comes shining through…

But when you’re sighing, you bring on the rain…

So stop sighing, be happy again…

Cause when you’re smiling, when you’re smiling, the whole world smiles with you…

The whole world smiles with you…

(Salah satu chants Leicester City, red.)

 

Komentar