Optimisme Italia di Piala Eropa 2020

Italia merupakan salah satu raksasa sepakbola di kawasan Eropa maupun dunia. Hal itu terbukti dengan prestasi negara yang kondang dengan pastanya ini.

Total, Gli Azzurri sudah menjuarai Piala Dunia sebanyak empat kali (memegang rekor sebagai negara Eropa terbanyak yang melakukannya bersama Jerman) dan sekali menjadi kampiun Piala Eropa.

Tak heran bila di sejumlah turnamen mayor, Italia selalu jadi salah satu kandidat juara. Terlebih ketika mereka dihuni oleh para pemain kelas wahid.

Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir Italia justru memperlihatkan penurunan. Baik di level klub maupun tim nasional.

Pada level klub, tim-tim asal Italia semakin kepayahan untuk bersaing menjadi juara di dua kejuaraan antarklub Eropa, Liga Champions dan Liga Europa. Pencapaian tertinggi wakil Italia di sana hanyalah finalis, masing-masing dilakukan Juventus pada 2016/2017 dan Internazionale Milano pada 2019/2020 kemarin.

Setali tiga uang dengan nasib menyedihkan klubnya, timnas Italia juga keteteran untuk bersaing di kancah sepakbola Eropa dan dunia belakangan ini.

Selepas menguasai dunia dengan menjadi jawara Piala Dunia 2006 (di bawah asuhan Marcello Lippi), grafik Gli Azzurri terus merosot.

Di Piala Dunia 2010 (masih ditangani Lippi) dan 2014 (dinakhodai Cesare Prandelli), mereka gagal lolos dari fase grup. Makin mengenaskan, negara yang duduk di peringkat tujuh FIFA (per Mei 2021) ini malah tak berpartisipasi di Piala Dunia 2018 lantaran keok dari Swedia di babak playoff (ketika dilatih Giampiero Ventura)

Sedangkan di ajang Piala Eropa, usai memenangkan trofi Henri Delaunay pada 1968, pencapaian terbaik mereka hanyalah jadi finalis pada Piala Eropa 2000 (kala dibesut Dino Zoff) dan 2012 (masih ditukangi Cesare Prandelli).

Jebloknya performa Gli Azzurri disadari oleh asosiasi sepakbola Italia (FIGC). Usai mendepak Ventura, FIGC menunjuk Roberto Mancini sebagai suksesor.

BACA JUGA:  Sepak Bola dan Krisis Identitas di Trenggalek

Keputusan memilih Mancini didasari keinginan untuk memperbaiki performa sekaligus peruntungan Italia. Mantan pelatih Lazio, Inter, dan Manchester City itu dinilai kapabel buat menuntaskan misi bangkit.

Walau sempat tak begitu meyakinkan di periode awalnya mengasuh Giorgio Chiellini dan kawan-kawan, tetapi pelan-pelan Mancini berhasil menampakkan perubahan. Dari kesebelasan yang tampak semenjana, Italia bertransformasi jadi kubu yang pilih tanding.

Kampanye mereka menyongsong Piala Eropa 2020 berjalan sangat mulus dan eksepsional. Sejak tahun tiga tahun lalu, Gli Azzurri tak pernah menelan kekalahan di sebuah pertandingan internasional.

Hasil negatif terakhir yang dirasakan anak buah Mancini terjadi pada 11 September 2018 kala ditumbangkan Portugal dengan skor 1-0 dalam partai UEFA Nations League.

Setelahnya, dalam 27 laga internasional selanjutnya yang mereka lakoni, Chiellini dan kolega menorehkan 22 kemenangan dan 5 hasil seri. Sungguh catatan yang begitu mempesona.

Berkaca dari kenyataan tersebut, optimisme di dalam tubuh skuad Gli Azzurri pun membuncah jelang turun di Piala Eropa 2020. Ada keyakinan bahwa mereka dapat tampil keren meski skuadnya tak dihuni pemain dengan status megabintang.

Namun keadaan tersebut malah bikin Italia semakin solid. Kolektivitas menjadi dasar kerja utama mereka di bawah arahan Mancini, alih-alih aksi yang mengandalkan kemampuan individu seorang megabintang.

Mancini juga bukan figur yang kaku perihal taktik. Ia begitu dinamis menentukan skema permainan tergantung lawan yang dihadapi. Walau tentu, Mancini punya perspektif khusus mengenai strategi kesukaannya.

Saat menentukan skuad yang bermain di Piala Eropa 2020, Mancini juga tak sembarang bikin keputusan. Pemain-pemain muda yang sedang melejit seperti Alessandro Bastoni, Manuel Locatelli, dan Giacomo Raspadori diberinya kepercayaan turut serta.

Namun di sisi lain, ada beberapa penggawa veteran yang tetap dibawa guna ngemong juniornya di skuad. Misalnya saja Leonardo Bonucci, Chiellini, dan Salvatore Sirigu.

BACA JUGA:  Ancaman Seksisme Dalam Sepakbola Indonesia

Dalam partai pembukaan melawan Turki di fase grup A dini hari tadi (12/6), Italia memamerkan aksi paripurna. Ada tiga gol yang dibukukan Gli Azzurri, masing-masing satu lewat gol bunuh diri Merih Demiral, satu via sepakan Ciro Immobile, dan satu eksekusi Lorenzo Insigne, yang bikin Turki tak berdaya.

Aksi-aksi yang disuguhkan Chiellini dan kawan-kawan dalam laga itu terbilang cukup fantastis. Mereka dominan dan tak memberi banyak kesempatan kepada Turki untuk berkreasi.

Kemenangan itu jelas mengatrol moral anak buah Mancini. Mereka pun dapat menyongsong laga kedua (kontra Swiss) dan ketiga (versus Wales) nanti dengan optimisme lebih tinggi.

Apakah hasil positif di laga pertama bisa menjadi gambaran laju Chiellini dan kawan-kawan pada perhelatan Piala Eropa 2020? Bisa, iya. Bisa juga tidak.

Satu yang pasti, penampilan bagus di laga pertama kembali meroketkan Italia sebagai salah satu kandidat juara Piala Eropa 2020. Motivasi mereka untuk tampil lebih prima pun dipastikan melonjak drastis.

Setidaknya, tim yang gemar memainkan laga kandang di berbagai stadion seantero negeri tersebut begitu layak diperhitungkan. Perkara sukses atau tidak di pengujung turnamen, jelas urusan lain.

Meski tanpa bintang, skuad Italia di Piala Eropa 2020 tak boleh diremehkan begitu saja. Apalagi ada sosok Mancini sebagai juru strategi. Optimisme di dada mereka untuk meraih prestasi juga terus meletup-letup.

Apakah hal tersebut mampu mengeluarkan sisi terbaik dari mereka sehingga berhasil memeluk trofi Piala Eropa untuk kedua kalinya atau malah bikin Italia kelewat percaya diri dan pada akhirnya gagal menambah koleksi titelnya?

Komentar
Fisioterapis yang biasa saja, pegiat Football Manager dan penggila AC Milan yang biasa saja juga, sih. Bisa disapa di akun Twitter @rifqiannafi.