Ada kalanya, sepakbola bukan sekadar dua tim yang berlaga di atas lapangan atau suporter yang memenuhi tribun. Pada banyak kesempatan, sepakbola menjelma jadi bagian penting kehidupan yang memamerkan berbagai nilai-nilai kemanusiaan.
Respek, sportivitas, dan masih banyak nilai-nilai lain yang terkandung dalam sepakbola. Terlebih, permainan yang satu ini tak pernah selesai dalam 90 menit.
Selalu ada kisah yang menarik untuk dikulik atau diketahui dari sebuah pertandingan, bahkan sesaat setelah wasit meniup peluit panjang.
Tepat atau tidaknya keputusan Gianpaolo Calvarese menghadiahkan penalti kepada Juventus saat berjumpa Inter Milan lantaran Ivan Perisic dinilai mengganggu pergerakan Juan Cuadrado akan terus menjadi perdebatan.
Pun dengan harmoni yang tampak dari seluruh elemen di tubuh Leicester City seusai mereka menjuarai Piala FA dengan membenamkan Chelsea via skor tipis 1-0.
Sederhananya, sepakbola merupakan sesuatu yang cukup kompleks. Segala hal yang ada di dalamnya selalu layak diperbincangkan dan tak pernah membosankan. Bahkan di banyak kasus, cerita-cerita kontroversial dari lapangan hijau selalu memiliki magnet untuk jadi bahan perdebatan.
Akhir-akhir ini, kita melihat eskalasi konflik di Timur Tengah yang melibatkan Israel dan Palestina. Hal ini sendiri memunculkan berbagai reaksi dari publik, termasuk klub sepakbola atau para pemainnya.
Riyad Mahrez, Mesut Ozil, Franck Ribery, sampai Mohamed Salah menyerukan dukungannya untuk Palestina. Sementara salah satu satu faksi pendukung Celtic, Green Brigade, kembali membentangkan spanduk dukungan kepada Palestina di tribun.
Salah satu yang menunjukkan reaksi nyata terkait konflik itu adalah klub Liga Cile, Club Deportivo Palestino. Sebagai bentuk dukungan kepada Palestina, para pemain dari klub tersebut mengenakan kuffiyah saat masuk lapangan guna bertanding.
Serangan membabibuta Israel terhadap warga Palestina di Jalur Gaza bikin Palestino tak tahan. Sebagai kesebelasan yang didirikan oleh imigran Palestina di Cile, mereka punya keterikatan dan senantiasa ingin menunjukkan dukungan bagi masyarakat Palestina.
Hal itu sendiri membuktikan bahwa proses akulturasi para imigran dengan budaya di Cile berjalan dengan sangat apik. Jika dahulu Palestino banyak diperkuat para pemain dengan darah Palestina, maka kini skuad mereka juga dihuni oleh pemain asli Cile atau dari negara-negara lain di kawasan Amerika Latin.
Palestino berdiri pada tahun 1920 silam di kota Santiago. Awalnya sebagai klub amatir hingga akhirnya beroleh status profesional pada era 1950-an.
Dalam sejarahnya, klub yang satu ini pernah memenangkan Liga Primera Cile pada tahun 1955 dan 1978. Prestasi teraktual mereka adalah kampiun Copa Cile pada 2018 kemarin.
Pelatih Real Betis, Manuel Pellegrini, adalah nama beken yang pernah menangani Palestino. Sementara eks pemain Fiorentina dan Inter, Luis Jimenez, merupakan pemain tenar yang saat ini mengenakan seragam klub dengan warna kebesaran merah-putih-hijau layaknya bendera Palestina tersebut.
Selain mengenakan kaffiyah, akun media sosial Palestino juga dihiasi tanda pagar #VamosPalestina dan #FreePalestine. Orang-orang boleh saja mengklaim bahwa politik tak sepatutnya dicampuradukkan dengan sepakbola. Namun sepakbola merupakan salah satu alat paling efektif untuk mengampanyekan sesuatu.
Kedekatan Palestino dengan Palestina juga pernah diwujudkan dengan terteranya peta Palestina di seragam tanding klub berjuluk Arabes itu meski pada akhirnya menuai kecaman dan dilarang digunakan.
Palestino sangat menyadari hal tersebut. Toh, dukungan mereka kepada masyarakat Palestina adalah bentuk kepedulian terhadap sesama manusia.
Apa yang dilakukan Palestino, pada dasarnya adalah ekspresi keresahan dan kegeraman mereka atas penindasan yang terjadi di Palestina.
Mereka takkan pernah berhenti menunjukkan dukungan selama hal itu diyakini sebagai sebuah kebenaran. Takkan ada keraguan dari Palestino untuk mengekspresikan dukungannya terhadap Palestina. Baik dahulu, kini ataupun nanti.