Pasar Keputran, Bonek, dan Arema

Senja telah jatuh di Surabaya. Seperti petang-petang sebelumnya, petang itu-Sabtu, 16 Februari-puluhan mobil pick up berderet di jalan Urip Sumoharjo. Juga di Jalan Keputran. Semakin malam semakin banyak. Mayoritas mobil itu bernomor polisi (nopol) N.

N tidak lain adalah identitas kendaraan asal Malang dan sekitarnya. Mobil-mobil itu tak sekadar parkir. Mobil-mobil itu mengangkut hasil bumi -sayur mayur dan buah-buahan- orang-orang Malang yang hendak didistribusikan melalui Pasar Keputran. Rutinitas yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Rutinitas yang bukannya tanpa interaksi. Rutinitas yang bukannya tanpa kepentingan. Di antara orang-orang Surabaya dan Malang tersebut terdapat ikatan saling membutuhkan.

Dari Pasar Keputran itulah hasil bumi orang-orang Malang didistribusikan ke seantero Surabaya. Juga sebagian Sidoarjo. Masuk ke dapur-dapur orang Surabaya. Lantas bersalin rupa menjadi energi bagi orang-orang Surabaya. Energi untuk menjalani rutinitas. Energi yang menggerakkan kehidupan.

Sebagian mungkin memanfaatkan energi itu untuk melangkah ke stadion. Entah ke Gelora 10 Nopember atau ke stadion anyar-Gelora Bung Tomo. Tapi, kenapa di stadion justru terdengar nyaring caci maki Bonek-pendukung Persebaya Surabaya-kepada Arek Malang (Arema), sekalipun yang bermain ketika itu bukan Arema Malang.

Dan dari Pasar Keputran itupula orang-orang Malang mendapatkan penghasilan. Sayur-mayur dan buah-buahan yang mereka didistribusikan lewat Pasar Keputran berganti lembaran uang yang masuk ke kantong orang-orang Malang.

Tidak hanya itu, hampir setiap akhir pekan, orang-orang Malang juga menangguk untung dengan kedatangan orang-orang Surabaya yang menikmati liburan di Malang. Sebaliknya, orang-orang Surabaya juga mendapatkan kesegaran udara Malang yang bisa membuat mereka tampil prima saat memulai kerja selepas liburan akhir pekan.

Sebagian uang itu –baik dari Pasar Keputran atau belanja orang Surabaya saat liburan di Malang- mungkin digunakan oleh orang-orang Malang untuk datang ke stadion. Entah itu ke Kanjuruhan atau Gajayana untuk menonton Arema berlaga. Tapi, kenapa di stadion mereka melontarkan sumpah serapah kepada orang-orang Surabaya, kendati yang bertanding saat itu bukan Persebaya.

BACA JUGA:  PSIM Jogja: Rindu Berwarna Biru

Caci maki dan sumpah serapah itu pun tidak berhenti di stadion. Di kehidupan sehari-hari, kebencian itu juga terus digaungkan. Dari generasi ke generasi. Bonek dan juga Arek Malang tidak segan saling melukai saat bertemu.

Kebencian yang sulit dinalar. Apalagi, hampir sebagian besar, baik Bonek maupun Arek Malang-yang juga populer dengan sebutan Aremania-tak pernah tahu asal muasal kebencian tersebut. Semua hanya didasarkan pada pokok’e, pokoknya. Dan pokok’e itu adalah kata yang absurd.

Tak pernah ada referensi yang jelas tentang akar permasalahan dari kebencian akut ini. Selain itu, suporter Surabaya dan Malang, jauh sebelumnya, juga tak pernah bertemu. Tak pernah berbenturan secara langsung. Sudah begitu, Arema yang diagungkan Aremania, juga baru lahir tahun 1987. Jauh di belakang Persebaya yang sudah ada sejak tahun 1927.

Kebencian yang tertanam ini tak lebih hanya sekadar gengsi. Gengsi bahwa Malang juga kota besar di Jawa Timur layaknya Surabaya yang bisa ”mandiri”. Gengsi bahwa orang-orang Malang tidak mau kalah dan dikalahkan oleh orang-orang Surabaya. Gengsi bahwa Malang juga bisa memiliki kebanggaan sendiri.

Di sisi lain, Bonek yang tumbuh di Surabaya tak mau tersaingi oleh Arek Malang. Orang-orang Surabaya ingin tetap menjadi yang nomor satu dan pertama. Sedang lainnya adalah bagian berikutnya. Tidak terkecuali orang-orang Malang. Sekali lagi, ini cuma karena gengsi.

Lalu sampai kapan perselisihan ini dipelihara? Padahal, saban hari orang-orang Surabaya dan Malang bertemu, berinteraksi, serta saling membutuhkan di Pasar Keputran.

Februari 2013. Ini tulisan lama yang ada di buku Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut.

 

Komentar
Penonton bola biasa.