Kembali pada tahun 2011, semua seolah nampak sempurna bagi karier Sergio “Kun” Aguero. Kedatangannya dengan biaya transfer 38 juta poundsterling dari Atletico Madrid ia bayar lunas pada musim itu juga dengan performa yang impresif.
Dua gol di laga debutnya saat melawan Swansea. Dan mengakhiri musim debutnya dengan gol menit 90+2 ke gawang Queens Park Rangers (QPR) memastikan gelar juara Liga Inggris. Gol yang akan selalu dikenang di Premier League membuatnya menjadi idola bagi fans City.
Dan sebagaimana yang dikutip dari The Guardian, meski sosok yang murah senyum ini memiliki permasalahan dalam bahasa, nyatanya ia nampak begitu menikmati hidup di Manchester. Tak pernah terdengar pula berita miring dari Aguero sendiri mengenai hidupnya di City.
Ia bahkan kemudian menjadi aktor utama dari keberhasilan City menikung sang rival – Manchester United, dalam perburuan Nicolas Otamendi. Terkesan bahwa kemudian Manchester City dan dirinya merupakan dua hal yang sangat cocok bagi satu sama lain.
Namun, sebagaimana mereka yang merantau jauh dari tanah kelahiran mereka, rumah seakan memanggil diri mereka untuk kembali. Home is where the heart is, dan sebagaimana ia berusaha, Manchester jelas terasa bukanlah rumah yang tepat baginya.
Kembalinya sang istri yang juga merupakan putri Maradona, Giannina, ke Buenos Aires akibat hubungan mereka yang kandas. Giannina pun pulang bersama putra mereka, Benjamin, Aguero pun terpukul. Hal yang mungkin membuatnya begitu memikirkan dan merindukan rumah lebih dari biasanya.
Dan hal ini, pada akhirnya membuatnya bertekad untuk tak memperpanjang kontrak dan kembali ke Independiante, klub pertamanya, pada tahun 2019. Ia ingin kembali pada usia 31. Jika semua sesuai rencana.
Kisah pesepak bola yang merindukan rumah, atau yang lebih akrab dengan istilah homesick, jelas bukanlah kisah yang pertama di dunia sepak bola.
Khusus bagi pemain Argentina sendiri, sudah ada beberapa figur yang kemudian memutuskan untuk kembali ke tempat yang mereka bisa sebut sebagai rumah. Dan uniknya, mereka semua tak hanya kembali ke Argentina. Mereka kembali ke klub yang menjadi awal mula perjalanan karier mereka sebagai pesepak bola.
Ada kisah Carlos Tevez yang memutuskan untuk kembali dengan klub yang telah memiliki kenangan manis dengannya, Boca Junior, di jendela transfer musim panas 2015/2016. Kisah winger lincah ex-Liverpool, Maxi Rodriguez, yang memutuskan untuk kembali ke klub masa kecilnya, Newell’s Old Boys, pada tahun 2012.
Atau kembalinya sang maestro Juan Roman Riquelme, ke Boca Junior sebagai akibat dari perseteruannya dengan Manuel Pellegrini dan manajemen Villareal pada tahun 2007.
Lalu, sebagaimana judul yang saya angkat, tentu menjadi misteri sendiri mengapa kemudian seorang pesepak bola profesional, khususnya Argentina bisa sangat merindukan rumah. Pasalnya sebagai orang yang telah memutuskan untuk hijrah ke Eropa dalam waktu yang lama harusnya membuat mereka bisa merasa nyaman terhadap lingkungan mereka di Eropa.
Karena Eropa sendiri, sebagaimana stereotip yang melekat terhadap sepak bola di Eropa, ia menawarkan kehidupan yang mapan nan gemerlap yang bisa membuat siapa pun terbuai. Atau bisa saja persoalan ambisi menjadi pemain terbaik yang hanya mampu dicapai saat ini lewat kompetisi Eropa. Hal-hal ini harusnya lebih dari cukup untuk membuat seseorang untuk melupakan asal mereka sebenarnya.
Namun, nyatanya kekayaan dan kemapanan bukan jaminan bahwa mereka mampu melupakan rumah. Mereka sendiri terus bermimpi untuk kembali ke rumah yang dirujuk bisa kepada Argentina ataupun klub pertama mereka. Berada lama dan jauh dari rumah, membuat mereka bisa saja begitu saja merindukan rumah. Bahkan sekalipun mereka sedang berusaha untuk tak mengingatnya.
Homesick sendiri nyatanya bisa di trigger oleh berbagai hal menurut Dr Caroline Schuster, yang dikutip dari BBC. Perbedaan secara sosio-kultural bisa saja kemudian membuat kita merindukan rumah. Dan sebagai efek lanjutan, ia bisa membuat seseorang merasa frustasi, gangguan tidur, mimpi buruk, hingga gangguan konsentrasi mereka di lapangan. Terutama jika tak memiliki kemampuan untuk berbahasa sesuai dengan lingkungan yang baru.
Kemajuan zaman tak begitu membantu dalam mengatasi saat rindu menyerang. Di satu sisi mampu membuat diri kita secara imajinatif membayangkan suasana dan nuansa serta rasa terhadap rumah. Di sisi lain membuat kita merasa lebih buruk. Kita bisa saja merasa frustasi setelahnya.
Kembali mengenai kisah figur-figur yang saya sebutkan, semuanya seolah memiliki permasalahan ini. Ketidakcakapan bahasa (kecuali Riquelme yang pindah ke negeri yang sama-sama menggunakan Bahasa Spanyol), hingga perbedaan secara sosio-kultural.
Kedua hal yang bisa membuat pemain bintang ini mulai mengabaikan kehidupan yang mentereng dan penuh kemewahan, atau pun ambisi yang ingin dicapai sebagai pesepak bola. Membuat mereka merasa terpanggil untuk kembali ke rumah. Dan pada akhirnya, berjuang untuk mendapatkan kesempatan untuk segera kembali.
Tentu kemudian hal ini tak serta merta bisa digeneralisasikan kepada seluruh pemain Argentina. Karena, ada beberapa figur yang merasa nyaman di Eropa meski mereka sendiri berada jauh dari rumah.
Seperti rekan Aguero, Pablo Zabaleta, ataupun Nicolas Otamendi. Atau pemain-pemain yang dikenal penuh ambisi seperti Gonzalo Higuain, Angel Di Maria, hingga si alien – Lionel Messi, yang seolah akan selalu ada dan terus berusaha untuk merajai Eropa.
Banyak faktor memang yang bisa membuat seseorang merindukan rumah. Namun, sebagai seorang perantau, akan ada masanya rumah memanggil. Mengajak kita mengingat nuansa dan suasana kehangatan rumah.
Meski demikian, profesionalitas harus tetap dijunjung tinggi sebagai seorang atlet terlepas dari keinginan mereka itu sendiri. Karena tak ada yang lebih besar dibandingkan klub itu sendiri.
“When you feel that your homeland is calling you back, you could end up giving up everything to return,” kata Roque Santa Cruz pada isu homesick Tevez pada tahun 2011.