Perempuan yang Bersiasat Mencapai Tribun

Pada 8 Juni 2005 di Teheran. Tim nasional Iran mengalahkan tim nasional Bahrain dengan skor 1-0 di hadapan lebih dari 80 ribu suporter. Mereka pun dipastikan lolos ke Piala Dunia 2006 yang akan digelar di Jerman. Karena dimainkan di kandang sendiri, kemenangan tersebut disambut gegap gempita. Petasan meledak berselang-seling. Laki-laki dan perempuan tumpah ruah di jalanan. Nyanyian mengisi sudut-sudut kota. Praktis, senyuman tersungging di wajah banyak orang.

Jafar Panahi menggarap film Offside (2006) dengan latar seperti itu. Sorotan utamanya bukan mengarah ke pertandingan, melainkan sekelompok perempuan yang bersolek layaknya laki-laki supaya dapat masuk ke dalam Stadion Azadi. Namun upaya mereka masuk ke stadion gagal akibat ketahuan oleh aparat keamanan.

Alhasil, mereka dimasukkan ke dalam kerangkeng yang berada di luar stadion. Peristiwa macam ini lumrah terjadi di Iran sebab ada aturan yang melarang kehadiran perempuan di stadion.

Cerita semakin menarik ketika salah satu perempuan meminta izin ke toilet. Tetapi apa daya, toilet yang tersedia di stadion hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Si penjaga sempat kebingungan untuk memecahkan masalah. Si penjaga lantas meminta perempuan itu supaya menggunakan topeng salah satu pesepakbola Iran. Tujuannya agar tidak ada yang mengenalinya.

Sekuens itu menggelikan karena dalam perjalanannya ke toilet, perempuan tersebut mencari kesempatan untuk melihat ke dalam stadion. Sesekali mencuri dengar dari bisingnya stadion, berapa skor pertandingan, siapa yang sedang menguasai bola atau kesebelasan mana yang tampil memukau.

Muatan politis yang terkandung di film Offside bikin pemerintah Iran melarang peredarannya di Negeri Para Mullah. Sebaliknya, khalayak dunia, terutama para sineas dan kritikus film memberi apresiasi besar untuk film ini.

Berkat film Offside, Jafar dianugerahi penghargaan Silver Bear pada festival film Berlin Internationl tahun 2006 silam.

Buat memahami kontroversi yang meliputi film Offside ini, kita wajib melihat ke dalam kerangka historis dan sosial-politik yang terjadi di Iran.

BACA JUGA:  Wajah Perempuan dalam Media Sepak Bola

Sejak tahun 1979, Iran memang melaran perempuan untuk hadir ke dalam stadion guna menyaksikan pertandingan sepakbola. Pemerintah Iran merasa bahwa tidak semestinya perempuan duduk atau berdiri bersebelahan dengan laki-laki, terutama di dalam stadion. Anggapan tersebut kemudian mendapat legitimasi hukum.

Tidak mengherankan kalau banyak Iran yang jengah dengan ketidakadilan itu. Premis yang disajikan dalam film Offside merupakan bentuk prevalensi. Kaum perempuan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka harus berkamuflase atau siasat mimikri. Dengan berpenampilan layaknya laki-laki, barulah mereka dapat mengakses stadion yang sesungguhnya merupakan ruang publik.

Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberlakukan segregasi berdasarkan jenis kelamin.

Perempuan yang hendak menonton sepakbola memang diperbolehkan, dengan catatan yang bertanding adalah pemain sepakbola perempuan. Begitu juga untuk laki-laki, hanya diizinkan menonton pertandingan sepakbola laki-laki. Melalui sentuhan politik, sepakbola di Negeri Para Mullah jadi terkotak-kotak dan kurang mengasyikkan.

Diskriminasi Terhadap Perempuan di Kancah Sepakbola

Hubungan antara perempuan dengan sepakbola berada di titik nadir. Pemain sepakbola perempuan juga menderita ketidakadilan. Dalam kontes dan konteks internasional saja, induk organisasi sepakbola dunia, FIFA, pernah melarang penggunaan hijab oleh para pemain.

FIFA menganggap bahwa hijab dapat mencelakakan diri sendiri maupun pemain lainnya. Jika terjadi, pertandingan akan terganggu. Sayangnya, anggapan tersebut belum dilengkapi dengan analisis ilmiah yang membuktikan efek gangguan dari penggunaan hijab oleh para perempuan saat bermain sepakbola.

Syukurlah, larangan penggunaan hijab akhirnya dihapus pada tahun 2014 silam dan pesepakbola perempuan bisa kembali menyepak bola seraya menerapkan perintah agama.

Akan tetapi, dengan segala preseden yang telah tercatat, kaum perempuan masih menderita diskriminasi kala menonton atau bermain sepakbola. Baik itu secara nyata atau samar. Entah didalangi oleh perseorangan atau kelompok.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika banyak aktivis dan organisasi non-pemerintah yang menunjukkan penolakan hingga perlawanan.

Puncaknya terjadi pada tahun 2019. Seorang perempuan asal Iran, Sahar Khodayari, diringkus oleh aparat keamanan. Saat itu, Sahar berupaya masuk ke Stadion Azadi dengan penampilan layaknya laki-laki. Ya, seperti kelakuan yang termuat di dalam film Offside garapan Jafar itu.

BACA JUGA:  Melawan Kekerasan terhadap Perempuan Lewat Sepakbola

Sahar lantas dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan. Sebelum masuk penjara, ia menyiram bensin ke sekujur badan dan menyalakan api untuk membakar dirinya sebagai bentuk protes. Walau sempat dibawa ke rumah sakit, nyawa Sahar tak dapat diselamatkan karena menderita luka bakar yang sangat serius.

Pasca-momen tragis tersebut, sepakbola Iran mendapat kecaman dari FIFA, lewat sang presiden, Gianni Infantino, karena melarang perempuan datang ke stadion. FIFA mengancam bahwa partisipasi mereka di Piala Dunia 2022 bisa dicabut kalau larangan tersebut tetap dijalankan.

Publik di jagat internet menyebut Sahar sebagai Gadis Biru, lantaran dirinya yang gemar menggunakan pakaian berwarna biru, sesuai dengan warna kebesaran tim kesayangannya, Esteghlal.

Dukungan disalurkan kepada kaum Hawa di Iran pada umumnya dan Gadis Biru pada khususnya. Sahar yang berusaha menyampaikan pesan akan ketidakadilan tersebut kepada dunia, terpaksa mengakhiri hidupnya sebagai martir.

Meski belum secara total, tetapi sejak tahun 2019 lalu atau beberapa saat setelah Sahar menghembuskan napas terakhirnya, perempuan Iran mulai diperbolehkan mengakses stadion terlepas dari siapa yang bertanding, tim laki-laki atau perempuan.

Perubahan yang sedang berlangsung ini patut disyukuri sebab makin banyak perempuan yang bisa menyaksikan laga sepakbola secara langsung dari tribun stadion.

Kaum perempuan di Iran telah menghadapi banyak rintangan yang berat. Hubungan mereka dengan sepakbola menandakan betapa runyam persoalan yang mesti dibenahi. Stadion Azadi menjadi saksi bagi para perempuan di Negeri Para Mullah yang terus melawan diskriminasi.

Mereka berduyun-duyun ke sana, tentu saja dalam aksi kamuflase, untuk mengolok-olok dan membawa perubahan. Tujuan mereka hanya satu yakni membuat Stadion Azadi yang secara terminologi berarti Stadion Kebebasan sungguh-sungguh mengindahkan prinsip kebebasan.

Komentar
Seorang mahasiswa yang menyukai sepakbola. Bisa disapa via akun Twitter @choirozzad