Buku Bonek, Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia (2013) mempersuakan saya dengan Andy Fuller, seorang penulis dan peneliti dari Leiden, Belanda. Andy Fuller membaca buku tersebut di Perpustakaan Universitas Leiden dan kemudian kami berkorespodensi melalui surat elektronik. Setahun kemudian, Andy Fuller datang ke Yogyakarta untuk melakukan riset dengan olahraga dan kota sebagai salah satu fokusnya. Selain mengunjungi Yogyakarta, Andy Fuller juga datang ke Malang, Surabaya dan Solo.
Pada awal tahun 2015, sebelum kepulangannya ke Leiden, saya bertanya kepadanya mengenai suporter sepak bola yang berkesan baginya. Bonek, disebutnya sebagai suporter sepak bola yang sudah seperti legenda. “Di mana-mana, hampir di setiap kota saya selalu menemui orang berbaju Persebaya,” begitu jelasnya. Andy Fuller melanjutkan ceritanya, bahwa pernah ketika ia lari maraton dari Jalan Parangtritis, Kota Yogyakarta sampai kawasan Stadion Sultan Agung Bantul, ia menjumpai ada beberapa orang di sekitar stadion tersebut yang beratribut Persebaya. Padahal, pada hari tersebut tidak ada pertandingan Persebaya.
Impresi ini ditulis Andy Fuller dalam bukunya, Playing Cities, Making Sports (2014:123), sebagai berikut. “The Bonek 1927 are legendary supporters of Persebaya. They are known for unwavering support for Persebaya (1927) and their willingness to use their all of their means to watch their team, no matter where they play”. Buku yang diterbitkan oleh Tan Kinira, dengan kata pengantar dari Afrizal Malna serta epilog dari Dugald Jellie tersebut sebenarnya tidak melulu tentang sepak bola, sebagaimana judul buku yang menunjukan keluasan kajian mengenai kota dan olahraga. Surabaya dan Persebaya adalah relasi kuat tentang kota dan identitas urban.
Didera oleh pertentangan dengan PSSI, Persebaya justru menjadi bahan kajian yang terpublikasikan dalam bentuk buku, demikian yang dikemukakan oleh Oryza Wirawan, jurnalis Beritajatim.com saat kami berbincang melalui telepon. Oryza A. Wirawan menerbitkan buku berjudul Imagined Persebaya : Persebaya, Bonek, dan Sepakbola Indonesia (2015). Judul bukunya mengingatkan kita pada pemikiran Bennedict Anderson tentang imagined community.
Sebagai seorang fans Liverpool, Oryza A. Wirawan secara tidak terduga sering membawa pembaca pada arah bola yang tidak terduga namun tetap terpola indah. Dalam salah satu tulisan di bukunya berjudul Stevie G, Karlovic, Shankly, dan Mengapa Mereka Dicintai, Oryza A. Wirawan membawa pembaca pada kecintaan bintang Liverpool, Steven Gerrard dan manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly pada klub dan fans Liverpool dengan sosok Mario Karlovic.
Oryza A. Wirawan menulis sebagai berikut “Di Indonesia, saya teringat sosok Mario Karlovic, mantan gelandang Persebaya (1927) asal Australia. Dia satu dari sedikit pemain yang mendapat kehormatan tercantum dalam ‘banner’ suporter Bonek. Jarang seorang pemain asing benar-benar mendapatkan rasa hormat sangat besar dari Bonek, selain mereka yang mampu membawa trofi untuk Persebaya, seperti Jacksen Tiago” (Wirawan 2015: 131).
Diterbitkan oleh Buku Litera, alih–alih beredar di toko buku, buku karya Oryza A. Wirawan ini justru memilih jalur distribusi melalui komunitas suporter sepak bola. Jika toko buku besar dianggap sebagai mayor label, maka distribusi melalui komunitas justru membawa semangat indie label dan serempak mengenalkan publikasi buku pada komunitas fans sepak bola. Harapannya, penulisan tentang klub-klub sepak bola di Indonesia, dengan pernak–perniknya menggelinding laksana bola salju ke komunitas–komunitas yang lain.
Selain Oryza A. Wirawan, jurnalis olah raga Jawa Pos, Mifthakul Fahamsyah merilis buku Mencintai Sepak bola Indonesia Meski Kusut (2015). Dengan kata pengantar dari Zen RS dan Bambang Pamungkas, buku yang diterbitkan melalui Indie Book Corner ini menyajikan kisah–kisah menarik dari pinggir lapangan. Beberapa kisah yang ditulis adalah tentang Persebaya.
Pada halaman 129, Mifthakul Fahamsyah menulis sebuah kisah berjudul Persebaya dan Hati Masyarakat Surabaya. Dibuka dengan sebuah kalimat dengan huruf miring “Untuk edisi ulang tahun PSSI”, Mifthakul Fahamsyah menulis dua paragraf awal yang kembali ditulis dengan huruf tegak sebagai berikut. “Ingat PSSI, ingat Persebaya Surabaya. Dan sejarah panjang itu tak pantas dihapus. Tak selayaknya hanya tinggal dijadikan kenangan. Persebaya harus tetap hidup dan dihidupkan. Sebab, Persebaya bukan lagi sekedar [sic] klub sepak bola. Persebaya adalah simbol perlawanan. Simbol kebanggaan. Juga salah satu ikon Surabaya. Persebaya juga menjadi tempat orang–orang Surabaya melepaskan diri dari impitan kerasnya kehidupan.
Publikasi tentang Persebaya sebenarnya bukanlah hal yang baru. Publikasi masif tentang Persebaya pernah terjadi pada dekade 1980-an. Pada saat kompetisi masih bernama Perserikatan, Jawa Pos mempublikasikan berbagai berita, baik hard news maupun feature, artikel, grafis dan bahkan karikatur kiprah Persebaya.
Saya menemui Slamet Oerip Pribadi, yang akrab dipanggil Suhu Oerip dan Muchtar Munadji, yang populer dengan panggilan Mister Muchtar bersama Tulus Budi pada tahun 2011. Keduanya adalah pensiunan wartawan Jawa Pos. Melalui dan bersama Farid Fandi, fotografer Jawa Pos, kami mengunjungi keduanya. Suhu Oerip dan Mister Muchtar antusias bercerita tentang Persebaya pada dekade 1980-an.
Suhu Oerip adalah sosok yang berada di balik kemunculan kata “Bonek”. Kata yang ditulisnya dalam sebuah berita mengenai kenekatan suporter Persebaya. Kenekatan yang sampai sekarang tidak luntur, sebagaimana yang diakui oleh Andy Fuller dalam bukunya. Sedangkan Mister Muchtar adalah sosok yang kali pertama menggambar ikon visual ukuran close up seorang laki–laki dengan ikat kepala yang berteriak. Dikarenakan berteriak sehingga mulutnya terbuka, maka visual tersebut disebut wong mangap (kepala dengan mulut terbuka).
Pada perkembangannya, wong mangap disempurnakan oleh Budiono sebagaimana ikon visual legendaris yang dikenal sampai saat ini. Suhu Oerip dan Mister Muchtar bercerita, pada dekade 1980-an melalui Jawa Pos lahir juga istilah tret, tet, tet yang berarti ramai–ramai mendukung Persebaya ke kandang lawan. Bagi fans sepak bola kekinian, aktivitas seperti itu disebut sebagai awaydays. Untuk membangkitkan semangat pemain Persebaya, dipopulerkan kalimat “Kami Haus Gol Kamu”. Sejak 1987/1988, Persebaya kembali bangkit menjadi kutub utama sepak bola Indonesia dengan dukungan publikasi masif dari Jawa Pos. Berbeda dengan kata Bonek dan visual wong mangap, keduanya kini tidak lagi sepopuler sebagaimana pada masa sebelumnya
Apakah publikasi mengenai Persebaya dalam bentuk buku adalah deja vu dari publikasi di lembaran koran hampir 30 tahun yang lalu? Jika memang demikian, bisa jadi ini adalah awal dari sebuah kebangkitan. Ada satu nafas yang saya temui saat membaca baris–baris kalimat dalam tiga buku yang di dalamnya menulis tentang Persebaya. Nafas itu adalah pledoi dari mereka yang cinta Persebaya karena sejarah besar klub ini. Historia magistra vitae!