Saking tidak terkenalnya, mungkin Anda bakal heran, kaget dan bertanya-tanya saat mendengar nama klub Persekap Pekalongan. Memangnya ada, ya? Saudaranya Persekap Pasuruan, nih?
Persekap Pekalongan lahir pada 4 September 1949. Seperti klub Indonesia lain, Persekap mempunyai julukan aduhai yaitu Laskar Ki Ageng Cempaluk. Nama itu diambil dari nama tokoh besar yakni ayah dari Ki Bahurekso. Berdasarkan sejarah, Ki Bahurekso merupakan tokoh yang melakukan Babat Alas Gambiran, wilayah yang menjadi Pekalongan saat ini.
Persekap bermarkas di Stadion Widya Manggala Krida, sebuah arena yang hanya mempunyai tribun di sisi barat saja dengan pagar yang sudah rusak dan berkarat. Fasilitas lain yang ada di dalamnya pun sudah tidak terawat.
Mesti diakui bahwa faktor penunjang, khususnya kelayakan stadion, dapat memengaruhi eksistensi sebuah tim untuk berkompetisi dan juga berprestasi. Sayangnya, Persekap tak memiliki keistimewaan tersebut.
Tak cuma itu saja, popularitas Persekap sebagai tim sepakbola asli Pekalongan pasti kalah dibanding sang tetangga, Persip. Sebenarnya wajar karena Persip pernah berkecimpung di Divisi Utama Liga Indonesia. Mereka juga beberapa kali bertanding melawan klub-klub besar seperti Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan PSS Sleman.
Secara administratif, Pekalongan terbagi menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Hal ini melatarbelakangi Kabupaten dan Kota Pekalongan mempunyai klub kebanggaannya masing-masing, Persekap dan Persip, seperti beberapa daerah lain di Indonesia.
Sebagai contoh di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogya punya PSIM, sementara Kabupaten Sleman dihuni PSS, dan Kabupaten Bantul jadi markas Persiba.
Laskar Ki Ageng Cempaluk pasti belum terlalu dikenal pencinta sepakbola Indonesia. Dalam lingkup yang lebih kecil, seantero Pekalongan saja, masyarakat pun banyak yang belum tahu. Mayoritas warga Pekalongan, utamanya yang menggemari sepakbola, lebih suka mendukung Persip ketimbang Persekap. Bahkan mereka telah mengikrarkan kesetiannya terhadap Laskar Kalong, julukan Persip.
Selain faktor ketidaktahuan masyarakat, faktor lain yang melatarbelakangi masyarakat Kabupaten Pekalongan abai dan enggan mendukung Persekap adalah eksistensi mereka yang samar-samar.
Satu-satunya prestasi gemilang yang pernah diukir Laskar Ki Ageng Cempaluk adalah Liga Nusantara Regional Jawa Tengah (Jateng) 2014. Saat itu, final digelar di Stadion Citarum Semarang.
Pada laga final, Persekap yang kala itu diarsiteki oleh Bagus Pramono bertemu dengan Persikaba Blora. Persekap berhasil menang dengan skor 1-0 sekaligus melaju ke Liga Nusantara putaran nasional. Apesnya, di putaran nasional mereka tumbang di fase 12 besar sehingga mimpi berkompetisi di level nasional terpaksa dikubur dalam-dalam.
Makin ironis, sejak 2014 sampai sekarang, Persekap tidak bisa bicara banyak. Laju mereka di Liga 3 kerap mentok pada babak semifinal. Bahkan di tahun 2019 ini, Laskar Ki Ageng Cempaluk tidak mengikuti kompetisi Liga 3.
Sesungguhnya pihak klub sudah melakukan persiapan selama tiga bulan, mulai dari menggelar seleksi hingga laga uji tanding. Pendaftaran sebagai kontestan Liga 3 2019 pun telah dilakukan. Akan tetapi, hanya beberapa hari jelang technical meeting, pihak klub membatalkan pendaftarannya sekaligus menarik diri dari kompetisi.
Berdasarkan hasil audiensi suporter dengan pihak Asosiasi Kabupaten (Askab), pihak Askab menerangkan bahwa pengunduran diri Persekap diakibatkan keterbatasan dana.
Saat itu memang belum ada manajemen yang mengelola tim, tapi kubu suporter menawarkan sosok untuk menjadi pengelola. Sayangnya, pihak Askab menolak dengan dalih mereka punya pilihan sendiri. Namun pada akhirnya, Persekap batal berkompetisi dan nasib pemain yang lolos seleksi terlunta-lunta.
Para suporter sebagai garda terdepan klub kebanggaan melakukan audiensi ke pihak Bupati dan Pemeritah Daerah (Pemda) agar Laskar Ki Ageng Cempaluk bisa tetap berlaga di Liga 3 2019. Mereka menggelar aksi dan penggalangan agar tim dapat berkompetisi, tetapi hal itu tidak mengubah keputusan kolot Askab.
Alhasil, Laskar Ki Ageng Cempaluk semakin tertinggal dari para tetangga. Di sebelah barat, PSIP Pemalang berhasil menjuarai Liga 3 Jateng pada 2018 silam dan tahun ini tengah melakukan perombakan stadion.
Di sebelah timur ada Persibat Batang yang tahun 2013 masih satu level kompetisi dengan Persekap Pekalongan, tapi sejak 2014 berhasil lolos Liga 2 dan bertahan sampai sekarang. Lalu sang tetangga sekaligus rival sewilayah, Persip, yang setidaknya sedang berjuang untuk bisa kembali promosi ke Liga 2.
Akibatnya, Laskar Ki Ageng Cempaluk dan suporternya yang sedikit itu, hanya mampu bersabar seraya menyaksikan aksi-aksi hebat para tetangga dengan tatapan nanar.
September lalu, Persekap sudah berumur 70 tahun. Bisa dikatakan, mereka adalah kesebelasan tua di Indonesia. Namun malang, mereka tak kunjung mampu melesat sebagai entitas yang patut diperhitungkan. Nama mereka bahkan tak jua muncul dalam peta sepakbola nasional.
Kabar bakal direnovasinya Stadion Widya Manggala Krida merupakan angin segar untuk Persekap. Namun masih ada sejuta pekerjaan rumah yang kudu dilakukan supaya Persekap eksis, sanggup berkompetisi dan berkembang jadi sebuah kesebelasan profesional. Mungkinkah itu terwujud? Hanya Tuhan yang tahu.