Berawal dari ketidaksengajaan, penulis menemukan arsip tentang olahraga Pati di sebuah surat kabar pada tahun 2017 lalu.
Secara garis besar, arsip tersebut berisi ulasan mengenai peresmian Stadion Joyokusumo dan gambaran lesunya dunia olahraga Pati pada waktu itu.
Artikel itu sendiri bertanggal 7 September 1995. Surat kabar tersebut membubuhkan judul yang bikin penulis bergidik, “Kapan Prestasi Olahraga Pati Bangkit?
Gara-gara artikel itulah, terbesit pertanyaan lanjutan. Bagaimana dengan sepakbola Pati? Geliat olahraga di kota Pati, khususnya cabang sepakbola, sebenarnya tidak terlalu asing dalam kancah sepakbola nasional.
Paling tidak, dalam ranah individual, beberapa pesepakbola kelahiran Pati memiliki karier yang cukup gemilang.
Sebut saja Ribut Waidi, pencetak gol penentu raihan medali emas tim nasional Indonesia pada South East Asian (SEA) Games tahun 1987 silam ke gawang Malaysia.
Selain itu, Ribut juga pernah mengangkat gelar Perserikatan tahun 1987 bersama klub raksasa asal Semarang, PSIS.
Teraktual, ada Rudi Widodo yang pada musim 2018 lalu berhasil merengkuh gelar kampiun Liga 1 bersama klub ibu kota, Persija.
Akan tetapi, bila kita analogikan sepakbola dari kawasan yang ada di utara Jawa Tengah ini dengan teori ekonomi, maka daerah ini tak ubahnya penyuplai barang mentah saja.
Pati mempunyai segudang bakat alam yang potensial, tetapi minim wadah pembinaan yang mumpuni buat mengasah mereka jadi atlet kenamaan.
Oleh karena itu, Pati secara tidak langsung memiliki ketergantungan dengan kota di sekitarnya sebagai ‘mitra berbisnis’.
Banyak atlet, dalam hal ini pesepakbola asli Pati yang justru merintis karier di kota tetangga. Ribut dan Rudi mengawali kariernya di kota Kudus.
Tatkala kemampuannya mulai menanjak, si pemain lantas diorbitkan dan didistribusikan ke kota-kota besar yang menunjang perkembangan mereka sebagai atlet, utamanya pesepakbola.
Semarang, dan Solo merupakan kota terdekat yang sanggup ‘memudahkan’ upaya Kota Bandeng Juwana.
Namun seiring waktu, anggapan itu perlahan mulai berubah. Setidaknya ada tiga faktor yang mengantarkan Pati menuju ke jalur industri di era sepakbola modern ini.
Pertama, ketika Oktober 2019 yang lalu lahir Safin Pati Football Academy (SPFA) di kota Pati. Kelahirannya pun menjadi buah bibir di media sosial.
Pasalnya, SPFA memiliki kurikulum pendidikan sepakbola dan pengelolaan yang cukup modern serta ditunjang dengan infrastruktur yang lumayan komplet.
Selain itu SPFA juga menggandeng beberapa pelatih berlisensi seperti Rudy Eka Priyambada, Kas Hartadi, dan Ibnu Grahan, sehingga nama mereka lekas melonjak.
Kedua, pemerintah daerah turut andil dengan melaksanakan kebijakan merenovasi Stadion Joyokusumo agar lebih representatif.
Renovasi yang dilaksanakan mulai tahun 2020 kemarin berfokus pada penggantian rumput lapangan serta perbaikan beberapa fasilitas penunjang.
Sebelumnya, stadion yang mulai dirancang pada tahun 1992 ini menggunakan rumput alam yang terkesan tidak terawat sampai akhirnya kini diganti dengan rumput sintetis yang terlihat lebih ngejreng.
Renovasi stadion kebanggaan warga Pati ini juga tak kalah hangat diperbincangkan di jagad dunia maya.
Poin ketiga merupakan hal yang menurut hemat penulis merupakan fase puncak, di mana Wakil Bupati sekaligus pengusaha asal Pati yang juga memiliki SPFA, Saiful Arifin, mengakuisisi kesebelasan profesional asal Gresik, Putra Sinar Giri.
Pasca-akuisisi, klub tersebut berganti nama menjadi Putra Safin Group (PSG) dan bermarkas di kota Pati. Beberapa waktu lalu, PSG sudah meluncurkan logo mereka yang kental akan nuansa khas Pati.
Walau demikian, proses akuisisi yang dilakukan tidak berjalan mudah. Ada banyak pertentangan dan masalah yang muncul seperti tunggakan gaji oleh manajemen lama serta polemik dengan suporter kesebelasan yang lebih dahulu ada di Pati, Persipa.
Banyak yang merasa bahwa keberadaan PSG Pati berpotensi mematikan Persipa yang juga punya hak untuk diayomi, dan dirawat.
Terlepas dari masalah yang muncul ke permukaan, bila kita telaah dari sudut pandang lain, warga Kota Bandeng Juwana harusnya tetap bangga bahwa untuk kali pertama dalam sejarah, ada kesebelasan profesional dari daerahnya yang siap berkiprah di persepakbolaan nasional jika kompetisi digulirkan kembali.
Keadaan itu pun mengubah pandangan pengamat sepakbola nasional terhadap persepakbolaan Pati. Kalau dahulu dirasa cuma sebagai penyuplai bahan mentah, maka kini siap juga menjadi penempa sekaligus penghasil produk jadi berupa pemain berkualitas.
Fondasi yang sudah dibangun seperti akademi usia dini yang dikelola secara profesional dan ditunjang pula dengan keberadaan klub profesional di daerah yang populer dengan beberapa tempat wisata berupa air terjun ini, rasanya tak mustahil untuk melihat daerah ini akan menelurkan bakat-bakat sehebat Ribut dan Rudi.
Kembali ke arsip, pertanyaan yang diajukan sebuah surat kabar 26 tahun silam, tampaknya bakal terjawab mulai tahun 2021 ini. Semoga.