Refleksi Masa Muda Slaven Bilic dalam Diri Dimitri Payet

Musim dingin 1996, Harry Redknapp memutuskan untuk memboyong seorang pemuda Kroasia dari Karlsruhe. Pemuda berusia 28 tahun ini ditebus dengan mahar 1,3 juta euro dan menjadi rekor pembelian termahal West Ham United kala itu. Pemuda itu bernama Slaven Bilic.

Debut bersama The Hammers berjalan mulus ketika bola muntah hasil sepakannya berhasil dikonversi Daniel da Cruz Carvalho menjadi gol ke gawang Tottenham Hotspur. Gol tersebut menjadi satu-satunya gol dan membuat West Ham memenangi pertandingan atas rival sekotanya.

karier Bilic di West Ham juga terbilang mulus. Walaupun hanya bermain 13 kali selama setengah musim pertamanya, ia menjadi pilihan utama untuk menggalang pertahanan West Ham pada musim 1996/1997. Musim itu juga, Bilic menempati posisi kedua dalam pemilihan Hammer of the Year, penghargaan pemain terbaik West Ham selama satu musim.

Walaupun berhasil menjadi pemain kedua terbaik dalam tim musim itu, Bilic berulah pada bulan Maret musim 1997/1998. Hubungan Bilic dengan Harry Redknapp memanas.

Semua bermula ketika Bilic memaksa pihak klub untuk menjualnya ke Everton. Bilic, yang tak puas dengan performa West Ham ingin segera berlabuh ke Merseyside Biru. Mau tidak mau, West Ham menjual Bilic dengan harga 4,5 juta euro.

“Dia memiliki kontrak yang fantastis, pemain termahal dalam sejarah klub. Dia telah menyetujui kontrak tersebut. Sekarang ia ingin pindah dan merasa bahwa Everton adalah klub besar, kami tidak dapat berbuat apa-apa,” tandas Harry Redknapp kala itu.

Redknapp berusaha membela klub yang dilatihnya dari opini Bilic yang mengkerdilkan. “West Ham adalah klub besar di mata kami, tetapi dia berpikir sebaliknya,” tegasnya.

Sebuah keputusan getir lantaran mungkin saja, jika tidak berulah, Bilic bisa menjadi pemain terbaik West Ham pada musim tersebut.

BACA JUGA:  Keraguan Antonio Conte

Dua puluh tahun kemudian, sekali lagi, seorang pelatih West Ham menyatakan hal yang serupa tapi tak sama. Seperti déjà vu, kali ini Slaven Bilic kini diberi kesempatan untuk menghadapi masa mudanya sendiri dalam diri Dimitri Payet.

Bilic mengakui bahwa perasaan sedih, kecewa, dan marah seperti bercampur ketika menghadapi sikap Payet. Pernyataan yang keluar dari mulutnya pun tak jauh berbeda dengan ucapan kekecewaan Redknapp dahulu.

“Dia adalah pemain terbaik kami, itulah mengapa kami memberinya kontrak jangka panjang. Kami telah memberikan segalanya, kami selalu ada untuknya. Saya berharap dia menunjukkan komitmen kepada kami,” ucap Bilic.

Sebelumnya, Payet telah menyatakan bahwa ia tidak mau lagi bermain lantaran kecewa melihat anjloknya performa West Ham musim ini. Saat Payet mulai berulah, West Ham tengah terjerembab di posisi 13 klasemen Liga Primer Inggris.

Sebenarnya, posisi West Ham di klasemen saat ini lebih baik daripada ketika Bilic memaksa untuk dijual. Maret 1997, West Ham berkutat di posisi 18 dan sedang berjuang untuk keluar dari zona merah.

Situasi kala itu dipandang tidak menguntungkan bagi karier Bilic. Terus membela tim yang berjuang di zona degradasi tentu tak menarik untuk dicantumkan dalam Daftar Riwayat Hidup. Oleh karena itu, Bilic memaksa pihak manajemen untuk menjualnya dengan alasan menyelamatkan karier.

“Saya harus melakukan ini (meminta untuk dijual). Kami adalah profesional. Semua pemain tahu, jika seseorang mempunyai peluang untuk bergabung dengan klub besar, dia harus mengambi peluang itu,” tutur Bilic kala membela keputusannya sendiri.

Mungkin itu juga yang menjadi alasan Payet, terlepas dari rumitnya konsep “loyalitas” yang dipaparkan Alto Kusumo (artikel yang dimaksud bisa dibaca di sini). Sebagai seorang profesional, alasan menyelamatkan karier lebih masuk akal daripada alasan rindu kampung halamannya di Marseille.

BACA JUGA:  Kami Tak Butuh Senyuman Ole Gunnar Solskjaer

Musim ini, Payet telah menciptakan 72 peluang bagi timnya, tertinggi di antara semua pemain di lima liga terbaik Eropa. Tercatat, hanya 6 peluang yang menjadi asis. Tentu sebuah kekecewaan besar ketika Anda sudah bermain maksimal, menciptakan banyak peluang, hanya untuk dibuang sia-sia oleh rekan di atas lapangan.

Apakah Payet boleh kecewa? Tentu saja boleh. Ketika peluang-peluang tersebut tidak berbuah menjadi gol, jelas bukan salahnya apabila West Ham terus-menerus meraih hasil negatif. Ia sudah melaksanakan tugasnya dengan sangat baik.

Wajar saja bukan jika ia ingin pindah? Inilah yang seharusnya dipahami Bilic. Apalagi, sikap Payet adalah refleksi langsung dari sikapnya dahulu semasa masih aktif bermain.

Terimalah Bilic, sebuah déjà vu masa mudamu yang terbayang dalam sikap pemain asal Prancis itu.

Komentar
Pendukung Persiba Bantul dengan akun twitter @AndhikaGila_ng