Selepas usainya laga terakhir babak kualifikasi Piala Eropa 2020 antara Italia dan Armenia di Stadion Renzo Barbera (19/11), Roberto Mancini, pelatih tim nasional Italia, tidak dapat menyembunyikan kegembiraan.
Raut wajah semringah dan derap langkah yang ringan seolah menjadikan malam itu miliknya seorang. Mancini telah berhasil mengangkat tinggi-tinggi sebuah negara besar sepak bola yang sempat terpuruk lewat kelolosan ke putaran final Piala Eropa 2020 dengan proses yang amat mengagumkan.
Pujian ini memang tidak terdengar berlebihan karena di bawah arahan Mancini, Italia membukukan catatan kemenangan 100% dalam 10 pertandingan babak kualifikasi.
Tidak hanya itu, publik pun disuguhi hiburan kelas dunia ketika papan skor akhir menunjukkan angka 9-1 untuk kemenangan sensasional Gli Azzurri pada laga penutup babak kualifikasi. Skor ini jelas mengejutkan, terlebih, Armenia sebetulnya cukup memberi perlawanan dengan melepas 14 tembakan ke arah gawang Salvatore Sirigu. Bagi negara yang dua tahun silam meratapi kegagalan lolos ke Piala Dunia 2018, momen keberhasilan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
“Kita dapat melanjutkan kesuksesan ini (di Piala Eropa 2020). Anda tidak mencetak sembilan gol dalam satu pertandingan internasional pada era ini, tapi kami memberikan segalanya untuk meraihnya,” ujar pelatih berusia 45 tahun tersebut.
Setelah ungkapan kegembiraannya, mantan pelatih Lazio, Internazionale Milano, dan Manchester City itu seolah mengingatkan kembali bahwa perjuangan baru saja dimulai. Ya, rekor-rekor yang berhasil dirinya dan Italia ciptakan baru berarti saat mereka memenangkan trofi pada tahun depan.
Pelatih yang akap disapa Mancio ini kemudian meninggalkan ruang pers dengan perasaan campur aduk. Namun sepertinya, konklusi dari perasaan campur aduk ini tetap bermakna positif.
Ia boleh saja mengingat-ingat perjalanannya sebagai pemain timnas. Dua puluh lima tahun silam, pria kelahiran Jesi tersebut tidak akan pernah lupa bahwa di usia yang masih 30 tahun, dirinya harus mengakhiri karier sebagai penggawa Gli Azzurri. Pasalnya, pelatih saat itu, Arrigo Sacchi, tidak membawanya ke Piala Dunia 1994.
Tidak ada tempat baginya, dan ternyata, memang saat itulah kali terakhirnya berseragam biru karena Mancini tak pernah dipanggil lagi. Ia baru kembali ke markas timnas tahun 2018 lalu, bukan sebagai pemain, melainkan pelatih. Baginya, momen ini seperti menggenapi misi yang belum selesai.
Membenahi Mental dan Kesulitan Mencetak Gol
Sejak awal, sosok religius ini sadar bahwa tugasnya tidaklah mudah. Italia memang tidak pernah kekurangan bakat, tetapi ia diwarisi segudang permasalahan internal.
Selain kondisi mental yang remuk akibat gagal lolos ke Piala Dunia 2018, secara teknis, tim ini tidak istimewa. Lini depan Italia, meski dihuni nama-nama sekelas Andrea Belotti dan Ciro Immobile, begitu kepayahan mencetak gol. Di sisi lain, pertahanan Gli Azzurri yang dibentengi Leonardo Bonucci dan Alessio Romagnoli juga sering menghadirkan rasa was-was.
Mancini pun tidak mengawali kiprahnya dengan mudah. Jelang kualifikasi Piala Eropa 2020, Italia memainkan sembilan pertandingan dengan rincian lima partai persahabatan dan empat pertandingan UEFA Nations League. Hasilnya, hanya tiga kemenangan yang berhasil dibukukan yaitu atas Arab Saudi, Polandia, dan Amerika Serikat.
Sementara lima pertandingan berakhir imbang, dan sisanya menderita dua kekalahan dari tim kuat Prancis dan Portugal. Catatan gol Italia pun jauh dari impresif. Hanya mencetak delapan gol dan kebobolan dengan jumlah yang sama. Wajar kalau kritik dari tifosi mulai menghujani Mancini.
Akan tetapi, titik balik terjadi saat pertandingan fase grup terakhir UEFA Nations League melawan Portugal. Dalam laga tersebut, skor akhirnya memang imbang tanpa gol, tapi Italia memegang kendali permainan dengan 70% ball possession dengan percobaan mencetak gol sebanyak 15 tembakan. Tidak hanya itu, Mancini juga menemukan kombinasi trio gelandang yang paten pada diri Nicolo Barella, Jorginho, dan Marco Verratti.
“Kami kecewa karena gagal menang, tapi kami mampu memainkan sepak bola dengan benar. Saya pikir, inilah yang terpenting,” ungkap Mancini setelah pertandingan kontra Portugal.
Mancini benar. Setelah hasil imbang menghadapi Cristiano Ronaldo dan kolega, Italia lepas landas. Dalam uji tanding berikutnya menghadapi Amerika Serikat, Gli Azzurri berhasil membukukan kemenangan tipis 1-0. Meski hanya satu gol yang mampu diciptakan, namun permainan Italia begitu dominan dan atraktif.
Rupanya, dua laga tadi seperti menjadi cetak biru permainan impresif Italia. Dalam babak kualifikasi Piala Eropa 2020, Italia yang berada di Grup J bersama Finlandia, Bosnia dan Herzegovina, Yunani, Armenia, dan Liechtenstein melaju dengan mulus. 37 gol berhasil mereka bukukan, dan hanya empat kali gawang mereka kebobolan.
Memang, masih terdapat ruang untuk terus memperbaiki tim ini. Italia masih belum menemukan sosok penyerang tengah yang betul-betul konsisten dan mematikan. Saat ini, Mancini memberikan peran krusial itu secara bergantian kepada Belotti (mengemas 4 gol) dan Immobile (3 gol).
Mancini dapat menutupi kekurangan atas ketiadaan bomber ganas itu dengan lini tengah yang begitu kuat. Di belakang trio Barella, Jorginho, dan Verratti, masih ada Stefano Sensi dan Sandro Tonali yang siap diturunkan.
Mancini juga berani mendorong Lorenzo Pellegrini dan Nicolo Zaniolo lebih ke depan meski keduanya memiliki posisi natural sebagai gelandang. Kreativitas yang dimiliki dua pemain ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan peluang gol bagi siapa saja sehingga gol tidak hanya lahir lewat para penyerang.
Misi yang Belum Selesai
Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa Mancini nyaris bergabung dengan tim akademi AC Milan saat memulai karier bermainnya sebagai pesepakbola. Ketika menjalani trial di I Rossoneri, Mancini remaja begitu memesona staf pelatih, hingga membuat mereka tertarik merekrutnya.
Akan tetapi, belakangan diketahui bahwa staf Milan mengirim surat pemanggilan ke alamat yang salah dan berujung pada realita kalau akhirnya Mancini bergabung dengan tim akademi Bologna.
Mancini mengenang peristiwa tersebut tanpa penyesalan. “Mereka tidak akan mengizinkan saya menggiring bola terlalu lama karena cara bermain yang amat terstruktur. Meskipun dengan cara itu mereka bermain sangat baik dan memenangkan banyak gelar,” ungkapnya.
Ya, semasa bermain, Mancini memang seorang fantasista yang begitu mengandalkan skill dan imajinasi dalam bermain, seperti layaknya pemain nomor 10 pada era keemasannya. Cara bermain seperti itu seperti memberi limitasi bagi kiprahnya di timnas karena ia harus bersaing dengan nama-nama semisal Roberto Baggio, Gianfranco Zola hingga generasi Alessandro Del Piero dan Francesco Totti. Rasa penasaran pasti masih menghinggapinya.
Perjalanan hidup memang sulit ditebak, siapa yang menyangka jika kesempatan kedua akhirnya datang pada Mancini. Berkat kiprah gemilangnya sebagai pelatih, pintu timnas kembali terbuka untuknya, kendati untuk peran yang berbeda.
Gli Azzurri arahannya memang jauh dari kata sempurna dan belum teruji melawan tim-tim kelas dunia yang sudah berada di depan. Sederet persoalan internal juga masih belum terpecahkan, tapi dengan tranformasi besar yang telah dibuatnya dalam waktu singkat, kita bisa berharap akan terjadinya sebuah keajaiban bagi Italia. Khususnya di Piala Eropa 2020 mendatang.
Aditya Nugroho
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast