Di sela turnya bersama Oasis, basis Paul McGuigan membaca sebuah artikel tentang pesepak bola bernama Robin Friday di sebuah koran lokal. Berbekal rasa penasaran yang berlebih, Guigsy –panggilan akrab McGuigan- mengajak jurnalis Paolo Hewitt untuk melakukan riset yang lebih mendalam tentang Friday.
Hasilnya adalah sebuah buku biografi yang diberi judul The Greatest Footballer You Never Saw: The Robin Friday Story yang terbit pada tahun 1997.
Pesepak bola terhebat yang belum pernah Anda lihat bermain. Bombastis benar sebutan yang disematkan kepada pesepak bola yang karier profesionalnya hanya berlangsung empat musim ini.
Dan bahkan prestasi terbaiknya adalah hanya membawa klubnya promosi dari Divisi Empat ke Divisi Tiga Liga Inggris. Lalu, apa yang membuat Robin Friday istimewa?
Friday adalah seorang penyerang yang sangat komplit. Digambarkan memiliki kemampuan teknikal dan fisik yang sama baiknya, serta ditunjang footballing IQ di atas rata-rata.
Pemain kelahiran Acton, London, 27 Juli 1952 ini berhasil mencetak 59 gol dari 156 penampilan profesionalnya. Hal itu pula yang membawanya menjadi All-Time Cult Hero pilihan fans Reading dan Cardiff City –dua klub profesional yang hanya dibelanya- berdasarkan polling yang diadakan BBC pada tahun 2004.
Friday juga diingat sebagai pemain yang rela bermain “kotor” untuk sekadar mengintimidasi bek lawan. Tendangan, sikutan, pukulan, dan bahkan remasan pada (maaf) testikel lawan pernah dilakukannya.
Dan layaknya pesepak bola hebat lain semacam George Best, Diego Maradona, dan Paul Gascoigne, Friday adalah seorang playboy yang juga memiliki kebiasaan merokok, mabuk-mabukan, pesta, dan doyan mengonsumsi LSD serta kokain dalam jumlah yang banyak.
Friday menghabiskan masa remajanya di penjara anak-anak karena kedapatan mencuri di toko mainan. Tetapi dari penjara pula lah bakat sepak bolanya mulai terlihat. Friday pernah terpilih menjadi bintang di sebuah liga antarpenjara.
Setelah keluar dari penjara anak, Friday mencoba pekerjaan kasar sebagai kuli bangunan dan tukang aspal. Pekerjaan yang dilakukannya bersamaan dengan menjadi pesepak bola amatir.
Tahun 1972, ketika umurnya 20 tahun, Friday terjatuh dari sebuah atap bangunan yang sedang dikerjakannya dan tubuhnya tertusuk sebuah paku besar. Friday secara perlahan-lahan melepaskan tubuhnya dari paku besar yang tertancap hanya beberapa sentimeter dari paru-parunya. Dalam tiga bulan, Friday sudah sehat dan aktif bermain sepak bola kembali, meninggalkan para dokter yang merawatnya dengan penuh keheranan.
Bakatnya mulai tercium ketika bermain di Hayes, sebuah klub amatir di London. Ketika itu pemandu bakat klub besar sudah tertarik dengan Friday, namun mereka mundur perlahan ketika mengetahui kelakuan liarnya di luar lapangan.
Pernah suatu ketika, Hayes terpaksa memulai pertandingan dengan sepuluh orang. Friday lalu datang saat pertandingan sudah berjalan delapan menit. Friday yang masih terlihat teler karena berpesta semalaman, tidak dijaga terlalu ketat oleh bek lawan, namun, di menit terakhir dia berhasil mencetak satu-satunya gol pada pertandingan tersebut.
Takdir lalu mempertemukan Friday dan Charlie Hurley, manajer Reading saat itu, ketika Hayes bertemu Reading di Piala FA tahun 1972. Hurley terpikat dengan Friday dan berusaha hadir di setiap pertandingan Hayes sejak saat itu. Akhirnya, pada tahun 1974, Robin Friday bergabung bersama Reading dengan biaya transfer sebesar 750 poundsterling.
Meski pada awalnya diplot di tim cadangan Reading, perlahan Friday mendapat kepercayaan untuk menjadi striker utama Reading. “Baik bos, saya berjanji tidak akan mabuk-mabukan dan pesta semalam sebelumnya,” janji Friday kepada Hurley saat akan menjalani debut tim utamanya.
Selama tiga musim bersama Reading, dia berhasil mencetak 53 gol dari 135 penampilannya bersama Reading. Salah satu dari 53 gol tersebut bahkan dianggap sebagai magical goal, gol yang terjadi di luar nalar.
Gol tersebut terjadi saat Reading melawan Tranmere. Tidak ada rekaman gol tersebut di Youtube, yang ada hanya penggambaran proses gol tersebut oleh reporter dari The Reading Evening Post.
“Kiper Reading mengumpan pendek kepada bek kanan Gary Peters. Lalu Peters mengumpan jauh kepada Friday yang berdiri di sudut kotak penalti lawan. Friday berlari lalu melompat untuk menerima bola di dadanya. Bersamaan dengan itu, Friday memutar badannya 180 derajat sambil tetap menahan bola di dadanya. Begitu bola turun, Friday menghujamnya dengan sisi luar kaki kirinya ke tiang jauh gawang.”
Seisi stadion terbungkam saking takjubnya. Wasit Clive Thomas terlihat berlutut sambil memegang kepalanya. Setelah pertandingan, Thomas mengaku, “saya sudah mewasiti pertandingan Piala Dunia. Saya pernah melihat gol Pele, George Best, dan Johan Cruyff. Tetapi gol tadi adalah gol terbaik yang pernah saya lihat.”
Musim 1975/1976, berbekal 21 gol yang dicetak Friday, Reading berhasil promosi dari Divisi Empat Liga Inggris.
Namun, semakin hebat Friday di lapangan, semakin liar pula kelakuannya di luar lapangan. Pernah suatu ketika karena keasyikan berpesta semalaman, Friday datang tepat sebelum tim berangkat untuk bertanding. Masih dalam keadaan teler, Friday datang dalam keadaan telanjang bulat dan membawa sebuah angsa yang diambilnya dari sebuah taman dekat hotel.
Kesabaran seorang pria ada batasnya. Begitu juga dengan Hurley yang sudah merasa cukup dengan perilaku Friday. Akhir tahun 1976, Reading menerima tawaran sebesar 28.000 poundsterling dari klub Divisi Dua, Cardiff City. Hampir setengah harga yang ditawarkan Cardiff satu tahun sebelumnya.
Belum tampil sekalipun dalam baju Cardiff, Friday sudah membuat masalah. Dia kedapatan tidak membeli tiket saat menaiki kereta api ke Cardiff. Manajer Cardiff saat itu, Jimmy Andrews, sampai harus menjamin Friday agar bisa bebas dari kantor polisi agar bisa menandatangani kontrak di Ninian Park.
Debutnya bersama Cardiff pun menimbulkan kisah tersendiri. Dalam keadaan teler, dia berhasil mencetak dua gol ke gawang Fulham.
Dalam pertandingan itu pula Friday meremas (maaf) testikel Bobby Moore karena kesal dijaga sepanjang laga. Iya, Bobby Moore. Ikon dan kapten yang membawa Inggris jadi juara dunia itu, yang kelak juga dibuatkan patung sosok dirinya di depan stadion Wembley.
Setelah pertandingan, Andrews tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya dengan menelepon Hurley, “Oh, Charlie, dia luar biasa. Dia membuat Bobby Moore kerepotan sepanjang laga.” Tetapi Hurley menjawab, “Jimmy, kamu hanya empat hari bersamanya. Tunggu saja beberapa bulan lagi.”
Pada 16 April 1977, Cardiff yang terancam degradasi menghadapi Luton yang difavoritkan promosi. Pada awal laga, Friday sempat bersitegang dengan kiper lawan, Milija Aleksic. Namun, pada suatu kesempatan, Friday berhasil mencuri bola lalu melewati empat bek lawan sebelum akhirnya melewati Aleksic dan menceploskan bola ke gawang. Friday yang berlari di depan Aleksic merayakan golnya dengan memberikan gestur tangan membentuk huruf V kepada kiper yang terduduk lesu tersebut.
Selebrasi tersebut menginspirasi grup band asal Cardiff, Super Furry Animals, membuat lagu berjudul The Man Don’t Give A F**k yang dirilis pada tahun 1996, sekaligus menjadikan foto yang mengabadikan momen tersebut menjadi kover untuk single yang sama.
Lagu itu sempat tercatat sebagai lagu yang mengandung kata f**k terbanyak di dunia tersebut, menurut vokalis Gruff Rhys adalah bentuk dedikasi kepada Robin Friday dan perlawanannya terhadap “The Man”.
Namun, Friday lama-lama menunjukkan ketidakbetahannya di Cardiff yang berefek pada penampilannya di lapangan. Hal ini ditengarai akibat jauhnya jarak Cardiff ke London, kampung halamannya. Di musim pertamanya bersama Cardiff, Friday hanya mencetak enam gol dari 19 penampilan.
Musim selanjutnya, pada tanggal 29 Oktober 1977, Cardiff bertandang ke kandang Brighton Hove and Albion. Sepanjang laga, Friday dijaga ketat oleh Mark Lawrenson. Karena frustrasi, Friday men-tackle Lawrenson lalu menendang muka bek yang kelak menjadi legenda Liverpool tersebut. Kartu merah langsung diberikan oleh wasit, dan rumor berhembus bahwa setelah keluar lapangan, Friday meninggalkan (maaf) feses di tas Lawrenson. “Saya sudah lelah dengan semua ini,” ujar Friday setelah pertandingan.
Pada bulan Desember 1977, Friday secara mengejutkan mengumumkan bahwa dia pensiun menjadi pesepak bola. Friday mengaku lelah dipaksa untuk mendengar orang-orang di sekitarnya. Setelah pensiun, Friday kembali ke kampung halamannya dan kembali bekerja sebagai tukang aspal.
Mengetahui Friday yang pensiun, sekitar 3.000 fans Reading menandatangani petisi yang meminta Friday untuk kembali ke Reading. Maurice Evans, manajer Reading yang baru, menemui Friday dan berkata, “bila kamu bisa mengontrol perilakumu, kamu bisa menjadi bintang timnas Inggris”, Friday membalas, “berapa usiamu?” setelah Evans menjawab, Friday berkata “usia saya setengahnya dari usiamu, tapi saya sudah menikmati hidup dua kali lebih banyak darimu.”
Pada 22 Desember 1990, tepat 25 tahun yang lalu, Robin Friday ditemukan tewas di rumahnya, di Acton, London. Serangan jantung menjadi penyebab kematiannya, namun banyak yang menduga kalau Friday meninggal karena overdosis kokain.
Liza Friday, istri keduanya, mengaku terkejut bahwa pemakaman Friday didatangi oleh ratusan orang. Sebuah bukti bahwa Friday meninggalkan sebuah legacy. Sebuah kisah dan memori yang menarik untuk diceritakan tentang seorang pria yang sangat mencintai hidupnya, tidak peduli baik atau buruknya pendapat orang lain.
Kini, setelah buku dan musik yang terinspirasi olehnya, ada rencana untuk membuat film biopik tentang Friday. September lalu, telah dimulai syuting film ini yang disutradarai oleh Henry Alex Rubin, sutradara peraih nominasi Oscar untuk film dokumenter terbaik. Bintang Pirates of The Caribbean dan The Hunger Games, Sam Claflin, juga telah didaulat untuk memerankan Friday.
Terlepas dari kelakuan liarnya di luar lapangan, Robin Friday adalah seorang seniman sejati di dalam lapangan. Memang, karier sepak bolanya tidak terlalu mentereng, namun Robin Friday mampu menginspirasi dunia literasi, musik, dan bahkan film. Singkatnya, Robin Friday adalah representasi sejati dari rockstar di dunia sepak bola.
Selamat jalan, Robin!
Sumber referensi: The Greatest Footballer You Never Saw: The Robin Friday Story (Paolo Hewitt, Paul McGuigan, 1997)
NB: Tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang Robin Friday yang meninggal pada 22 Desember tahun 1990.