Sayonara Ceres Negros

Jika Aan Mansyur menulis buku Tidak Ada New York Hari Ini, maka Filipina pun bisa menulis hal yang sama dalam wujud ketiadaan Ceres Negros di kancah sepakbola mereka musim ini. Sejujurnya, Filipina dan sepakbola memang tak seintim Britania atau Indonesia.

Bahkan dalam ajang pembukaan South East Asian (SEA) Games, Filipina memperlakukan sepakbola dengan sewajarnya yakni dihelat di sebuah Gelanggang Olah Raga (GOR) bernama Philippine Arena. Namun hilangnya nama Ceres dalam peta mereka, tentu akan berandil banyak.

Ceres, jika boleh menggunakan sebuah istilah usang, adalah tulang punggung sepakbola Filipina. Lumbung pemain bintang, pemain asing yang memiliki jam terbang tinggi, dan ‘juara abadi’ Liga Filipina. Tetapi siapa yang menyangka, tim sebesar mereka mengalami senjakala luar biasa. Setelah dicecar oleh serentetan peristiwa mulai dari bangkrut, tumbuh, dan isu pergantian pemilik, Ceres kini resmi mengubah identitas.

Mereka layak mendapatkan tepuk tangan, tapi apa yang terjadi kepada mereka patut dijadikan sebuah pelajaran. Mulai dari segi finansial, prestasi hingga yang paling sakral yaitu campur tangan sang pemilik.

Monopoli Liga

Basket dan Filipina seakan menjadi kesatuan manunggal dan diberhalakan karena di cabang ini, prestasi terus didapatkan. Lantas, sepakbola masuk dan coba mengambil alih hati masyarakat dari monopoli basket. Sulit memang menggeser pakem abadi, tapi sepakbola perlahan bisa mendapatkan tempat dan mulai digemari.

Philippines Football League (PFL) 2020 digadang-gadang akan dimulai pada Maret tahun ini. Namun harus ditunda hingga waktu yang belum bisa ditentukan menyusul perkembangan pandemi Corona di Negeri Lumbung Padi. Sebelum berlaga di PFL, klub-klub sepakbola Filipina berjibaku di ajang United Football League (UFL).

Ceres jadi kampiun UFL sekali yaitu pada tahun 2015. Tatkala berubah menjadi PFL, Ceres benar-benar sulit dibendung. Selama tiga musim beruntun, 2017 sampai 2019, mereka selalu keluar sebagai yang terbaik. Bahkan dalam PFL edisi 2019, Ceres tidak pernah terjungkal sekali pun dalam 24 pertandingan. Ini adalah catatan unbeaten pertama dalam persepakbolaan Filipina yang liganya baru berjalan selama tiga tahun.

Tak sekadar jago di kompetisi lokal, penampilan Ceres di level Asia juga cukup mengagumkan. Tahun ini, mereka hanya kalah dari klub asal Jepang, FC Tokyo, dalam playoff Liga Champions Asia.

BACA JUGA:  Euforia Tifosi Italia

Dari kedigdayaan sebuah dinasti, pasti akan terendus bangkai busuk. Sebuah problem yang amat rentang terjadi kepada klub-klub profesional di Asia Tenggara. Banyak kerajaan besar tumbang karena perang saudara, Ceres pun “tumbang” akibat perkara yang sama yakni faktor internal.

Distopia Kerajaan Luhur Filipina Bernama Ceres Negros

Klub ini dibentuk pada tahun 2012. Jauh dari umur tim-tim sepakbola di Indonesia yang kebanyakan hampir menyentuh setengah abad. Dibanding mereka, Ceres hanya anak bau kencur yang baru mulai menendang bola. Itu jika di-vis-à-vis-kan dengan umur tim-tim di ibu pertiwi. Di Filipina sendiri, sepakbola mulai merambat cepat berbarengan dengan lahirnya Ceres ke dunia.

Lahir dengan nama Ceres–La Salle FC dan berubah menjadi Ceres Negros serta bermarkas di Stadion Panaad pada tahun 2017. Nama Ceres sendiri diambil dari nama jalur yang dilewati oleh sponsor mereka, Vallacar Transit Incorporated. Sebuah perusahaan jasa transportasi yang memprakarsai rute Negros menuju Cebu. Perusahaan ini adalah anak dari Yanson Group of Bus Companies yang dimiliki oleh konglomerat bus, Leo Rey Yanson.

Tanpa diduga, melalui laman resminya, Ceres mengeluarkan pernyataan pahit yang mengguncang pencinta sepakbola Filipina hingga Asia Tenggara. Klub menyatakan sedang dalam masa transisi dan mempertimbangkan untuk keluar dari kompetisi liga sembari menunggu datangnya investor baru.

Perginya Leo Rey Yanson bak sebuah pertanda selesainya kehidupan Ceres. Mau tak mau, dengan masuknya investor anyar, panji Ceres akan ditinggalkan. Lebih menyakitkan lagi, nama Negros berpeluang besar hilang andai klub ini diboyong ke daerah lain.

Pandemi Biang Keladi dari Ceres Negros Mati

Dilansir dari Kompas, perginya Yanson adalah imbas dari kesulitan finansial yang dialami olehnya sebagai efek langsung pandemi Corona. Dalam pernyataan lanjutan klub, Ceres menekankan untuk terus melanjutkan sisa kompetisi yakni PFL dan Piala AFC 2020 yang akan dilanjutkan kembali.

“Ceres-Negros Football Club saat ini sedang dalam pembicaraan dengan investor yang akan mengambil alih manajemen dan kepemilikan klub dalam persiapan untuk musim keempat PFL serta dimulainya kembali rentetan kampanye di Piala AFC. Segera setelah akuisisi selesai, klub tidak akan lagi dikenal sebagai Ceres Negros karena Leo Rey Yanson sudah tidak terlibat dalam urusan klub.”

BACA JUGA:  VAR dan Sepakbola yang Selalu Kontroversial

Dilansir dari Football Tribe Asia, Yanson menyatakan berat meninggalkan Ceres Negros yang sudah ditanganinya selama kurang lebih tujuh tahun. “Klub ini lebih dari sekadar klub untuk saya, ini keluarga saya,” katanya.

Terlihat klise memang, tapi begitulah kenyataannya sebab Yanson selama ini sangat serius dalam mengelola Ceres.

Nama dan Identitas yang Baru

23 Juli 2020, melalui situs resmi mereka, nama United City Football Club dipilih sebagai pengganti Ceres Negros yang merepresentasikan pemiliknya terdahulu. Mereka akan mempertahankan sang pelatih, Risto Vidakovic, dan akan melanjutkan kontrak kepada 16 dari 21 pemain mereka.

Sebuah agen sports marketing yang berbasis di Manila, MMC Sportz Asia, jadi investor utama klub yang baru. Dalam surat edaran resmi mereka, Eric Gottschalk selaku Chief Executive Officer (CEO) MMC Sportz Asia menghaturkan bahwa mereka akan meminta izin pergantian nama dan berbagai macam atribut kepada federasi. Mereka juga akan mendukung klub agar tetap berpartisipasi dalam Piala AFC.

Di Filipina sendiri, riuh rendah masalah keuangan kerap terjadi. Dari tahun 2017 di mana kompetisi awal liga dimulai, sudah enam klub yang tumbang. Bahkan beberapa hanya sepintas lalu dan hilang ditelan waktu. Tidak ada campur tangan pemerintah daerah. Ada baiknya, tentu pula ada kurangnya.

Dari kejadian seperti inilah Eropa, melalui UEFA, coba memperkenalkan regulasi Financial Fair Play (FFP). Mereka mengatur campur tangan pemilik klub agar tidak merogoh kantungnya lebih dalam sehingga klub tidak terancam kebangkrutan tatkala sang owner dilanda kesulitan finansial.

Keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran harus dicapai oleh sebuah klub agar mereka dapat berdiri di kaki sendiri guna menjalankan roda operasional. Aturan seperti ini mungkin bisa diterapkan di negara dengan fanatisme sepakbola yang kuat macam Malaysia dan Thailand. Namun di Filipina, dengan pangsa pasar yang terbilang rendah, saya merasa hal itu masih sulit diterapkan.

Akan tetapi, jika masalah seperti ini dibiarkan berlarut-larut oleh federasi sepakbola Filipina, jangan kaget bila kasus-kasus kebangkrutan klub sepakbola di sana akan terus berlanjut.

Komentar
Penggemar sepakbola Asia Tenggara. Selain memimpikan Indonesia melawan Thailand di partai puncak Piala Dunia, juga bercita-cita mengarsipkan sepakbola Asia Tenggara. Dapat disapa di akun twitter @gustiaditiaa