Berita Sepak Bola Lokal yang Kian Ditinggalkan

Apa-apa yang saya tulis ini adalah obrolan yang saya alami dengan seorang pengecer koran bernama Winarto dan pengunjung warung hik. Winarto adalah penjual koran di kota Sragen, sebuah kota yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, juga berdasarkan apa yang saya amati selama satu hari nongkrong di lapak koran milik Winarto mengenai perilaku pembaca koran yang datang ke lapak.

Lapak koran Winarto terletak di perempatan jalan di dekat pasar Nglangon di kota Sragen. Di samping lapak, terdapar warung hik, sebuah warung kaki lima dengan gerobak kayu dan atap plastik. Di warung hik, nasi bungkus seharga seribu perak lengkap dengan gorengan dan minuman kopi serta teh siap dilahap pengunjungnya. Umumnya, pengunjung warung hik datang bukan dengan maksud sekadar makan dan minum namun lebih pada kebutuhan bersosialisasi melalui aktivitas nongkrong. Obrolan tentang politik lokal dan kenaikan harga kebutuhan pokok berkembang beriringan juga obrolan tentang sepak bola. Dari koran yang mereka beli di lapak Winarto, mereka berwacana tentang tiga isu tersebut.

Setidaknya ada beberapa koran yang tersedia di lapak Winarto, yaitu Solopos, Joglosemar, Jawa Pos, Suara Merdeka, Kompas dan Harian Bola. Di tengah arus besar digitalisasi media internet, lapak koran Winarto masih mampu bertahan sejak tahun 2000. Lima belas tahun berjualan koran, Winarto tahu persis bagaimana konsumen membaca dan membeli koran.

Di kota kecil ini, terdapat sebuah klub sepak bola bernama PSISra yang berlaga di tingkat Liga Nusantara. Saya bertanya kepada Winarto tentang apakah pembaca koran yang datang ke lapaknya pernah membeli koran karena mencari berita tentang PSISra. Dengan tersenyum, Winarto bercerita banyak tentang motif pencarian informasi mengenai sepak bola lokal di kalangan pembaca.

BACA JUGA:  Menyelamatkan Sepak Bola Indonesia dari PSSI

“Pembaca sudah malas baca sepak bola Indonesia mas. Akeh –banyak: bahasa Jawa– tawurannya daripada main bolanya. Lebih senang baca Liga Inggris, Spanyol dan Champion,” ujar Winarto.

Winarto menambahkan bahwa justru pembaca tahu bahwa di Sragen ada PSISra dari berita di koran. Di sinilah, koran memainkan perannya sebagai jendela informasi bagi audiens. Sayangnya, tata kelola sepak bola nasional yang karut marut menjadikan sepak bola Indonesia justru lebih massif diberitakan negatif daripada positifnya. “Bad news is good news” mendapatkan pembenarannya di halaman koran yang mengangkat berita sepak bola nasional.

Di warung hik, para penongkrong secara intens berbincang tentang transfer pemain sepak bola di benua biru Eropa. Seorang penongkrong yang mengenakan jersey Manchester United dengan yakin mengungkapkan keyakinannya pada transfer yang dilakukan klub setan merah. Selesai penongkrong tersebut berwacana, saya tanya tentang sepak bola Indonesia. “Kalau klub lokal Indonesia apa juga ngefans mas?”. Segera pengunjung berbaju klub kota Manchester itu menjawab, ” Wah kalo klub Indonesia saya gak seneng mas.” Pengunjung warung hik itu menyebutkan alasan tentang sepak bola Indonesia yang diwarnai skandal pengaturan skor, sepak bola gajah, kematian pemain akibat tidak dibayar gajinya dan tawuran. Dari berita di koran, pengunjung itu mendapatkan data untuk beranalisis, demikian menurut penuturannya.

Solopos, koran yang menguasai pasar pembaca di Solo Raya termasuk di dalamnya adalah Sragen, edisi 3 Agustus 2015 menampilkan foto utama di halaman pertamanya tentang kericuhan pemain sepak bola dan wasit. Beberapa pemain Persis Solo menyerang wasit yang memimpin pertandingan antara PSIS Semarang vs Persis Solo di pertandingan final Kapolda Cup yang berlangsung di stadion Jatidiri Semarang sehari sebelumnya. Pertandingan itu sendiri adalah pertandingan lanjutan, sebagai akibat kericuhan antarsuporter yang terjadi di tengah jalannya pertandingan.

Pembaca sudah malas baca sepak bola Indonesia mas. Akeh –banyak: bahasa Jawa– tawurannya daripada main bolanya. Lebih senang baca Liga Inggris, Spanyol dan Champion— Winarto, penjual koran

Pemain Persis melakukan protes keras akibat tidak terima hukuman penalti yang diberikan wasit di ujung pertandingan. Sekali lagi, “bad news is good news” terartikulasikan dalam berita sepak bola Indonesia. Di lapak koran Winarto, setidaknya 20 sampai dengan 30 eksemplar Solopos bisa terjual setiap hari. Dengan posisi koran dilipat menjadi empat dan digantung di lapak, foto kericuhan sepak bola lokal tersebut bisa terlihat jelas tanpa perlu membuka koran.

BACA JUGA:  Sepak Bola dalam Bayangan Terorisme 2.0

Dengan kondisi kekinian tersebut, alhasil tidak aneh, jika pembaca koran yang notabene bisa digolongkan sebagai audiens yag terliterasi dengan baik (well literated) dan serempak bisa disebut dalam posisi “negotiated reading” dalam relasi media –audiens, lebih memilih membaca berita tentang sepak bola asing. Unsur kedekatan (proximity) dalam berita sepak bola lokal Indonesia menjadi kian sia-sia sebagai akibat kebutuhan audiens terhadap berita sepakbola lokal tidak terpenuhi. Halaman koran menjawab kebutuhan audiens dengan menambah porsi berita sepak bola asing. Kecuali berita tentang karut marut sepak bola Indonesia, berita sepak bola lokal semakin ditinggalkan oleh pembaca dan koran.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.