Sore kemarin (18/2) notifikasi Whatsapp di ponsel saya berbunyi terus menerus. Padahal saat itu, saya masih menikmati pertandingan Arema FC melawan Persebaya pada babak semifinal Piala Gubernur Jawa Timur 2020 di salah satu kanal televisi swasta.
Akhirnya, saya memanfaatkan jeda pertandingan untuk membaca pesan yang masuk. Saya terkejut setengah mati ketika melihat foto dan video kebakaran di suatu jalan dengan narasi, “Ini tadi ada kerusuhan di dekat pasar sapi.”
Saya dan banyak orang pasti sudah paham bahwa Arema FC dan Persebaya merupakan rival berat dalam konstelasi sepakbola di Jawa Timur serta Indonesia. Begitu pula faksi suporter dari masing-masing kesebelasan, Aremania dan Bonek. Ada sejarah panjang yang melahirkan rivalitas tersebut.
Kata rivalitas seringkali begitu seram di kalangan pencinta sepakbola karena ada banyak hal negatif yang mengikutinya. Kita tentu tak asing dengan rivalitas yang melibatkan Bobotoh (Persib) dan The Jak (Persija) atau Brigata Curva Sud (PSS) dan Brajamusti (PSIM). Hampir sama dengan Aremania dan Bonek, pelbagai kisah buruk tentang kerusuhan di jalanan, tindak vandalisme, korban luka, dan lain-lain sepertinya selalu mengiringi rivalitas di antara mereka.
Rivalitas sering dihubungkan dengan krisis identitas kelompok. Menurut penelitian yang berjudul Rivalry And Fan Aggression: Why Acknowledging Conflict Reduces Tension Between Rival Fans And Downplaying Makes Things Worse, rivalitas merupakan produk dari konflik identitas yang belum bisa diselesaikan ketika sudah terjadi berlarut-larut. Dari pengertian tersebut, setidaknya kita tahu bahwa rivalitas berawal dari konflik internal dalam kelompok.
Konflik identitas tentu hanya dipahami oleh internal kelompok masing-masing suporter sendiri. Bagaimana mereka memahami norma apa saja yang harus dipertahankan demi eksistensi kelompok dan perilaku apa yang harus dimunculkan untuk mengubah stereotip masyarakat yang sering mengarah pada hal negatif.
Secara tidak langsung, stereotip yang lahir di benak masyarakat akan membuat suporter khawatir, baik ketika akan mendukung tim kesayangan bermain di kandang maupun saat tandang. Kekhawatiran inilah yang kemudian menjadi pertimbangan bagi pihak keamanan untuk memberikan izin menggelar pertandingan.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan?
Beberapa kegiatan yang bertujuan untuk mempersatukan suporter dan meminimalkan tensi rivalitas sudah pernah dicoba. Namun tampaknya, hal itu masih belum memberikan hasil. Dalam kasus seperti ini, mengakui identitas suporter dan membantu mereka mengelola kelompoknya justru akan lebih baik dibanding memaksa mereka melakukan perjanjian atau komitmen untuk menghapus rivalitas tersebut.
Manajemen tim selaku pihak yang juga berhubungan dengan suporter memiliki peran untuk membantu suporter memperkuat identitas sosialnya. Mereka dapat melakukan kegiatan yang melibatkan suporter, sekaligus mempromosikan bahwa suporter tersebut tidak seburuk stereotip yang timbul di masyarakat. Hal tersebut berpotensi mengikat suporter untuk lebih bertanggung jawab pada tingkah lakunya sebab itu mereka selalu punya korelasi dengan tim kesayangannya.
Manajemen dan suporter juga dapat menggunakan metode diskusi terbuka sebagai salah satu cara memperkuat ikatan di antara mereka dalam konteks identitas sosial kelompok. Selain itu, pendekatan manajerial yang luas dengan mengutamakan identitas adalah bagian dari konflik antar kelompok dapat dijadikan dasar membuat solusi.
Manajemen harus fokus menciptakan persepsi bahwa rivalitas adalah hubungan timbal balik. Ketika suporter merasa identitasnya terancam oleh suporter rival, akan muncul perasaan bahwa soliditas kelompoknya lebih tinggi dibanding suporter lain yang bukan rival.
Sedangkan internal suporter sendiri harus mampu memahami bahwa konflik identitas sudah biasa terjadi, baik dalam kelompok maupun individu. Hal ini dapat dibantu dengan adanya ketua dan panutan atau sesepuh dalam kelompok untuk memberikan pemahaman mengenai norma-norma apa yang harus dipertahankan dan perilaku apa yang harus diubah demi memperbaiki eksistensi mereka sebagai kelompok. Suatu kelompok akan semakin eksis ketika mereka mampu menata kelompok mereka dengan baik.
Perbedaan pada tiap kelompok itu wajar karena mereka juga memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan keunikan dan kekhasan mereka. Adanya konflik identitas pada tiap kelompok pun sudah pasti terjadi, tapi tak seharusnya konflik identitas membuat rivalitas memiliki dampak buruk yang semakin nyata.
Rivalitas pasti ada, tapi harus dijaga dalam bentuk yang sewajarnya. Jangan sampai rivalitas membuat kita sebagai suporter malah buta bahwa seharusnya sepakbola diciptakan untuk mendatangkan rasa gembira, bukan sebaliknya.