Sepucuk Surat untuk Sepakbola Indonesia

Belum lama ini sepakbola Indonesia mendapat kabar kurang mengenakkan. Indonesia semakin terperosok di kancah sepakbola dunia dengan nangkring di peringkat 173 FIFA (per Juli 2020). Sebelumnya, Indonesia berada di posisi 171.

Ironisnya, kemerosotan itu diiringi dengan fakta bahwa poin Indonesia kini sama dengan Kamboja yakni 964. Padahal negara tetangga kita di kawasan Asia Tenggara itu dahulu acap kita bantai dengan skor-skor mencolok.

Lebih jauh, pada tahun ini kompetisi Liga 1 juga terlempar dari posisi 12 besar liga teratas di zona timur Konfederasi Sepakbola Asia (AFC). Akibatnya, tim-tim Indonesia yang jadi kampiun Liga 1 takkan lagi mencicipi sengitnya persaingan di ajang Liga Champions Asia, tidak di babak kualifikasi sekali pun.

Salah satu penyebab terlemparnya Liga 1 dari peringkat tersebut adalah lesatan Liga Korea Utara. Alasannya apa lagi kalau bukan prestasi kesebelasan asal Korut, 25 April SC, yang menembus final Piala AFC 2019 kemarin.

Tentu saja kabar ini sangat menyedihkan bagi seluruh penggemar sepak bola di tanah air. Prestasi yang ditorehkan terus merosot tahun demi tahun. Padahal, Indonesia dahulu dijuluki Macan Asia karena maju dalam bidang olahraga, termasuk sepakbola.

Kita sempat jadi negara yang konsisten tampil di ajang Piala Asia dalam rentang 1996 sampai 2007. Dalam momen-momen itu, Indonesia bisa memunculkan sejumlah peristiwa ajaib. Misalnya saja gol indah Widodo Cahyono Putro ke gawang timnas Kuwait di Piala Asia 1996 atau liukan ciamik Budi Sudarsono saat mencetak gol ke gawang timnas Qatar di Piala Asia 2007.

Di level klub, nama Indonesia sempat menanjak kala Persik tampil apik di Liga Champions Asia 2007. Ketika itu, tim Macan Putih sempat membungkam Shanghai Shenhua dan Sydney FC serta mengimbangi Urawa Red Diamonds. Pun dengan keberhasilan Persipura yang menembus fase semifinal Piala AFC medio 2014 lalu.

Sebenarnya kita tidak tinggal diam menghadapi masalah-masalah yang ada dalam persepakbolaan nasional. Jika diamati, sepakbola Indonesia sudah berkembang sedikit demi sedikit dari segi non-teknis. Misalnya saja jadwal pertandingan di Liga 1 yang mulai tertata rapi, upaya pembangunan lapangan latihan sendiri hingga hak kelola stadion dari tangan Pemerintah Kota/Kabupaten.

Praktis, hanya sektor teknis yang perlu digenjot lebih maksimal lagi agar sumber daya Indonesia, baik pemain atau pelatih, memiliki kualitas yang mumpuni. Dengan begitu, timnas Garuda takkan menggantungkan asa pada proses naturalisasi pemain guna memperkuat armada perang di atas lapangan hijau.

BACA JUGA:  Antoine Griezmann: Setan Kecil dari Prancis

Lantas apa yang bisa dicoba, baik oleh federasi (PSSI) maupun klub-klub di tanah air, buat memajukan sepakbola Indonesia?

Menciptakan Identitas Bermain

Saya pernah mendapat informasi bahwa Indonesia merupakan negara dengan rata-rata tinggi badan terendah di dunia. Sederhananya, orang Indonesia merupakan orang terpendek di dunia dengan rata-rata tingginya sekitar 156 cm. Jika data ini tidak valid, secara kasat mata pun sudah terlihat postur orang Indonesia memang lebih pendek dibanding negara lain.

Sepakbola sendiri merupakan cabang olahraga yang paling adil di dunia karena dapat dimainkan oleh semua orang dengan berbagai perawakan. Inilah sebabnya sepakbola menjadi olahraga paling populer di dunia, di samping cara mainnya yang sederhana.

Seorang teman pernah berujar, gaya main Indonesia terlalu direct. Bola seolah-olah harus dikirim secepat-cepatnya ke depan untuk menciptakan peluang dan melakukan eksekusi. Tak heran jika selama ini Indonesia bermain dengan inisiasi permainan dari bek tengah, lalu bola dioper ke pemain sayap, mereka lantas berlari di sisi lapangan dan melakukan crossing ke kotak penalti agar disambut para striker.

Padahal sistem permainan ini membutuhkan pemain jangkung sebagai titik acuan. Maka skema ini kurang cocok dengan Indonesia yang perawakannya pendek. Menurut Justinus Lhaksana, Indonesia cocok menerapkan gaya main yang didominasi umpan-umpan pendek dari kaki ke kaki sehingga sirkulasi bola menjadi lebih rapi.

Jarak antarpemain tidak boleh terlalu jauh, maksimal 10 meter untuk menjaga kerapatan ruang antar lini dan agar opsi umpan tidak terlalu jauh. Jangan meniru sistem permainan Pep Guardiola karena untuk menjalankan sistem Juego de Posicion ala pelatih Manchester City tersebut memerlukan pemain-pemain dengan kualitas yahud. Sementara kualitas pemain kita masih pas-pasan.

Ajax Amsterdam dan Barcelona bisa menjadi referensi yang tepat karena klub-klub ini menggunakan filosofi umpan-umpan pendek yang sudah diterapkan selama puluhan tahun. Jika ditelusuri, sepasang klub ini menganut mazhab Total Football yang dipelopori oleh Johan Cruyff.

Total Football menekankan setiap pemain mempunyai visi yang bagus supaya bisa mengeksploitasi celah sekecil apapun di wilayah pertahanan lawan sekaligus menciptakan ruang melalui sirkulasi bola yang apik antarpemain. Kedengarannya cukup memusingkan, tapi gaya bermain ini bisa menghemat tenaga dengan memperbanyak pergerakan tanpa bola dan pemosisian yang baik.

Gaya bermain ini dapat menutupi kekurangan pemain Indonesia yang selama ini menjadi momok yaitu fisik dan stamina yang cepat terkuras. Memang butuh waktu yang tidak sebentar agar pemain bisa memahami gaya bermain asal Belanda ini dan mempraktikkannya dengan baik di lapangan. Namun percayalah, sistem ini dapat dijalankan oleh siapapun, termasuk pemain kita.

BACA JUGA:  5 Data dan Fakta Laga Indonesia vs Filipina

Pola permainan yang rapi adalah pondasi awal dalam membangun tim sepakbola yang kuat, sebelum beranjak ke level selanjutnya, yaitu efektif dalam mengeksekusi peluang dan memiliki mental juara.

Ekspor Pemain ke Luar Negeri

Untuk meningkatkan kualitas, pemain perlu mencari tantangan yang lebih tinggi. Salah satu caranya adalah berani melanjutkan karier di luar Indonesia. Terus bermain di dalam negeri akan menyulitkan para pemain tersebut untuk meningkatkan kemampuan dan inteligensia.

Berdasarkan informasi dari akun Instagram @football_noise, jalur ekspor pemain Indonesia bisa dimulai dari Liga Thailand, kemudian Liga Jepang/Korea Selatan, baru setelah mumpuni pemain bisa terbang ke Eropa. Selain meningkatkan kualitas, bermain di luar negeri bisa meningkatkan mental dan fisik. Pemain Jepang dan Korea Selatan banyak yang berkarier di Eropa. Hasilnya, kemampuan teknis dan non-teknis mereka melejit. Tak heran jika kedua negara itu jadi kubu langganan asal Asia yang tampil di Piala Dunia.

Mengurangi Tekanan Kepada Pemain

Ini ditujukan kepada seluruh pencinta sepakbola di tanah air. Kita harus mengakui, kualitas pemain sepakbola masih pas-pasan, bahkan buruk. Maka ada baiknya kita tidak menaruh ekspektasi kelewat tinggi bagi timnas maupun wakil-wakil Indonesia yang tampil di kejuaraan antarklub Asia.

Dengan begitu, kita akhirnya bisa menerima bahwa kualitas sepakbola Indonesia dalam berbagai aspek masih jauh dari harapan. Cukup terus mendukung para pemain dalam keadaan apapun, layaknya kita mendukung tim jagoan kita dari Benua Biru. Jangan menghujat pemain-pemain di media sosial saat mereka baru saja menelan kekalahan. Hal ini perlu dilakukan agar mental mereka tidak gampang ambruk. Memberi saran dan kritik yang membangun lebih baik daripada memuntahkan emosi di dunia maya.

Masalah di dunia sepakbola Indonesia memang sangat kompleks. Namun negara ini sebetulnya punya potensi untuk berbicara lebih. Jika Piala Dunia masih sulit digapai, setidaknya bisa konsisten lagi mentas di Piala Asia. Saya sangat yakin Indonesia bisa menjadi Macan Asia kembali jika pembenahan di segala aspek dilakukan dengan cara yang tepat. Namun perlu diingat, membangun sepakbola yang kuat tidak bisa dilakukan dalam semalam. Butuh proses yang panjang dan waktu yang tidak sebentar.

Kita pasti bisa!

Komentar
Tirta Indah Perdana adalah fans Arsenal yang terlalu sabar. Bisa dihubungi di twitter @tirtagooners