Syamsul Chaeruddin, Legenda PSM

Makassar, Sabtu, 26 September 2015. Pertandingan sudah memasuki menit ke-80. Papan skor usang di stadion Andi Mattalatta masih belum mau beranjak dari skor 0-1. Tuan rumah masih tertinggal dari tamunya, Mitra Kukar, dan butuh untuk mencetak minimal 3 gol untuk lolos ke semifinal Piala Presiden.

Bagi kebanyakan orang, mencetak tiga gol dalam sepuluh menit adalah hal yang mustahil. Stephen King pun pernah menulis dalam cerita pendeknya, The Shawshank Redemption, “Harapan adalah sesuatu yang berbahaya karena bisa membuat manusia menjadi kehilangan akal.” Hampir semua pendukung PSM sudah bersiap-siap memupuskan asa mereka masing-masing. Mereka yang masih berharap juga sudah bersiap menahan kekecewaan jika harapan itu tidak terpenuhi.

Namun bagi Syamsul Chaeruddin, harapan itu tetap ada dan tidak boleh padam. Pada menit ke-81, PSM memperoleh keuntungan dengan tendangan bebas sedikit di luar kotak penalti Mitra. Syamsul dengan tenang membidik sisi kanan gawang Rifky Mokodompit, penjaga gawang Mitra yang selama 80 menit tampil nyaris tanpa cela. Kaki kanannya pun melepaskan bola, membuat bek tangguh Onorionde Kughegbe John terkecoh. Gol untuk PSM, 1-1!

Asa yang sempat meredup pun menyala kembali, dan Syamsul seolah menjadi minyak yang menjaga api itu tetap membara. PSM pun bisa mencetak gol kedua melalui Agung Prasetyo pada menit ke-90. Inspirasi ala Syamsul nyaris menyamai Steven Gerrard di final Liga Champions 2005, andai saja PSM berhasil lolos ke babak semifinal. Sebagai kapten, kedua pemain sama-sama sudah berhasil membangkitkan tim mereka dari ketertinggalan. Bedanya, Gerrard yang mencetak gol dan memotivasi Liverpool mengejar ketertinggalan dari AC Milan sukses menggondol trofi Liga Champions. Sedangkan Syamsul harus menahan kekecewaan terhenti di perempat final, padahal ia sangat berharap membawa PSM juara demi memperingati ulang tahun ke-100 klub kebanggaan Sulawesi Selatan ini.

Meski demikian, pemain kelahiran Gowa ini tetap pantas untuk dikagumi. Selama 90 menit pertandingan melawan Mitra Kukar plus beberapa menit tambahan waktu, Syamsul berada di mana-mana. Ia tak jarang membantu pertahanan, lalu bermain di sisi kiri dan kanan lapangan secara bergantian, dan seringkali memperoleh peluang di kotak penalti lawan. Usianya yang sudah menginjak 32 tahun hanyalah deretan angka, karena kondisi fisiknya masih seperti pemain berusia 20-an. Selama beberapa kali tes fisik, nilai VO2 Max Syamsul masih yang tertinggi di antara pemain PSM lainnya.

BACA JUGA:  Marc Klok Akan Selalu Merah

Penampilan sang kapten kesebelasan membawa ingatan kita kembali ke 12 tahun lalu, ketika ia membawa PSM merajai papan atas Liga Indonesia. Duetnya bersama Ponaryo Astaman nyaris membawa tim Juku Eja menjadi juara dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2003 dan 2004. Meski di dua kesempatan itu PSM gagal mengulang prestasi juara tahun 2000, tapi meroketnya Syamsul di usia yang sangat muda menjadi topik pembicaraan favorit di kalangan suporter. Para pencinta PSM merasa bangga akan kehadiran putra asli Sulawesi Selatan yang bertalenta tinggi ini. Syamsul pun menjadi sorotan yang tak kalah menarik dari duet striker tajam Oscar Aravena – Cristian Gonzales.

Gaya bermainnya yang lugas dan keras, serta perawakannya yang cenderung sangar membuat banyak kalangan menyamakannya dengan Gennaro Gattuso, gelandang AC Milan dan timnas Italia. Namun, Syamsul sendiri terang-terangan mengidolakan legenda Juventus dan Republik Ceska, Pavel Nedved. Tak heran, jika namanya sering disebut di media massa sebagai Syamsul “Nedved” Chairuddin. Tipe permainan yang mirip dengan Hariono, membuat banyak pihak selalu menyamakan kedua pemain. Bahkan banyak juga yang menganggap keduanya rival.

Ketika prestasi PSM mulai menurun pada pertengahan dekade 200-an, Syamsul tetap menjadi kebanggaan tersendiri masyarakat Sulawesi Selatan dengan menjadi putra daerah yang selalu menjadi langganan tim nasional Indonesia. Dari timnas SEA Games 2003 hingga Piala Asia 2007 yang bersejarah itu, ia selalu menjadi pilihan utama di tim Merah Putih. Sayang, setelah Piala Kemerdekaan dan Piala AFF tahun 2008, penampilannya dianggap menurun sehingga tak pernah lagi dipanggil, apalagi dengan semakin banyaknya saingan, antara lain Firman Utina, Eka Ramdani, dan juga Hariono.

Tahun 2010, para pencinta PSM cukup bersedih ketika sang gelandang bertahan memutuskan untuk pindah ke Persija. Padahal, berulang kali ia sudah berikrar kepada media bahwa ia tak akan pernah meninggalkan PSM. Meski demikian, bisa dibilang tanggung jawab di PSM tidak sepenuhnyalah ditinggalkan Syamsul. Ia baru meninggalkan tim Juku Eja, yang saat itu berkubang di papan bawah, aman dari jeratan degradasi di akhir musim 2009-2010. Ia pun tidak menjadi bagian dari PSM yang hijrah dari Liga Super Indonesia ke Liga Primer Indonesia, sebuah keputusan yang sempat membuat status keanggotaan PSM di PSSI dicabut.

BACA JUGA:  Patrich Wanggai dan Tak Ada Ruang Debat dalam Melawan Rasisme

Tanpa Syamsul, para pendukung PSM merasa seperti kehilangan figur panutan. Salah satu pemain senior, Andi Oddang, memang kembali memperkuat Juku Eja, dan pemain-pemain muda dengan masa depan menjanjikan beramai-ramai datang. Namun, para pencinta PSM yang sudah satu dasawarsa terakhir terbiasa dengan keberadaan “Nedved” tetap merasa gamang. Untungnya, setelah dua tahun berkelana bersama Persija dan Sriwijaya, akhirnya ia pun pulang ke klub yang telah membesarkan namanya. Ia pun kembali menjadi bagian di saat-saat sulit PSM, antara lain di Liga Primer Indonesia, hingga kembali bermain di Liga Super Indonesia.

Ketika pertama kali diwawancarai wartawan setelah pulang ke PSM di awal tahun 2012, dengan tegas Syamsul mengungkapkan niat ingin menutup karir di Makassar. Bukan hanya itu, ia sempat menolak panggilan pelatnas tim nasional demi memberi jalan kepada talenta-talenta yang lebih muda. Kini, zaman telah berganti dan situasi telah berubah. PSM tak lagi bergelimang dana dan dijejali pemain-pemain bintang. Meski demikian, di situlah peran Syamsul. Dengan mengemban peran sebagai kapten, ia kini menjadi panutan di dalam dan di luar lapangan bagi para calon penerus Ramang.

Rasanya sudah pantas jika kita mengenal Syamsul sebagai legenda PSM awal abad ke-21.

 

Komentar
Selalu percaya sepak bola bukan hanya 2 x 45 menit di lapangan hijau, melainkan juga filosofi sederhana yang bisa mengubah hidup manusia. Cintanya terhadap sepak bola tumbuh di stadion bersejarah yang dulu bernama Mattoanging, dan sampai sekarang tetap menjadi pendukung setia PSM. Pernah menerbitkan buku memoar perjalanan sepak bola berjudul Home & Away (2014).