Teater ala Sepak Bola Chile

13 de JUNIO DE 2013 / SANTIAGO Roberto Rojas saluda a la hinchada, durante el partido a beneficio de Roberto "Condor" Rojas, entre Colo Colo vs Seleccion de Estrellas, disputado en el Estadio Monumental FOTO: OSVALDO VILLARROEL / AGENCIAUNO

Tuan rumah Copa America 2015, Chile, berhasil melaju ke babak semifinal usai menundukkan Uruguay dengan skor tipis 1-0. Mauricio Isla, wingback yang dimiliki oleh Juventus, menjadi penentu kemenangan La Roja lewat sepakan keras mendatar yang gagal dihalau penjaga gawang Uruguay, Fernando Muslera. Akan tetapi, bukan sepakan Isla itulah hal paling menarik dari laga tersebut.

Adalah aksi nakal–bahkan boleh dibilang menjijikkan–Gonzalo Jara-lah yang menyita perhatian publik dunia. Bek tengah yang bermain untuk klub Jerman, Mainz 05 itu memprovokasi penyerang andalan Uruguay, Edinson Cavani, dengan menyentuh lubang pantat Cavani dengan jari tengahnya. Cavani yang kesal pun kemudian berusaha untuk menampar Jara.

Tamparan Cavani itu tak seberapa keras memang dan hanya sedikit menyentuh dagu Jara, akan tetapi pasangan duet Gary Medel di jantung pertahanan Chile tersebut kemudian berguling-guling di tanah. Wasit pun kemudian memberi kartu merah kepada Cavani. Uruguay pun akhirnya harus menyerah dan tersingkir dari turnamen.

Jara memang bukan baru kali ini berbuat ulah. Sebelumnya, Luis Suarez dan Gonzalo Higuain pun pernah menjadi korban keusilannya. Mantan penggawa West Bromwich Albion ini pun kini terancam sanksi berat baik dari pihak federasi (CONMEBOL) maupun klub yang mempekerjakannya.

Sepak bola Latin memang tak pernah berhenti menghasilkan cerita-cerita nyeleneh dan Chile pun bukan kali ini saja memiliki pemain yang tingkahnya ada di luar batas wajar. Pada dasawarsa 1970-an s/d 1980-an, negara yang pernah menderita di bawah junta militer Augusto Pinochet ini pernah memiliki seorang penjaga gawang eksentrik. Roberto Rojas namanya.

Roberto Rojas adalah salah satu kiper terbaik Amerika Latin pada masanya. Julukan El Condor diberikan publik Chile atas kiprah gemilangnya di lapangan hijau. Sebuah julukan yang menyanjung mengingat burung kondor merupakan lambang negara Chile.

Julukan itu memang pantas disematkan kepada kiper kelahiran Santiago ini. Chile menjadi lebih diperhitungkan di kancah internasional jika Rojas bermain, kurang lebih mirip dengan peran Jose Luis Chilavert di Paraguay.

Roberto Rojas mengawali kariernya di klub Aviacion pada tahun 1976. Setelah enam tahun membela Aviacion, kiper kelahiran 8 Agustus 1957 ini hijrah ke Colo Colo. Penampilan gemilangnya di Colo Colo inilah yang membuatnya dijuluki El Condor.

Rojas tak hanya dikenal sebagai sosok yang tangkas di lapangan. Di luar lapangan Rojas adalah pribadi yang berkharisma dan taat beragama. Ketaatannya membuatnya cepat meraih popularitas di kalangan anak muda Chile.

Sosoknya tak hanya meraih simpati publik Chile. Ketika tahun 1987 El Condor mengepakkan sayap menuju Brasil, ia dengan mudah diterima fans Sao Paulo, klub barunya.

Sebagaimana pemain sepak bola pada umumnya, mimpi Rojas adalah berprestasi di kancah internasional. Namun mimpinya terhalang kenyataan bahwa Chile bukanlah negara kuat di ajang internasional. Jangankan dunia, di tingkat Amerika Selatan pun Chile pada dekade 1980-an bukan kekuatan yang pantas ditakuti.

Sepanjang dekade 1980-an Chile hanya sekali lolos putaran grup Copa America, yaitu ketika mereka berhasil menjadi runner-up Copa America 1987. Selebihnya, La Roja hanya bermain di babak penyisihan. Hingga saat ini, Chile belum pernah sekali pun tercatat sebagai juara Copa America.

Pada Piala Dunia 1982 pun Chile hanya menjadi penggembira. Tiga kekalahan dari tiga pertandingan menempatkan mereka di dasar klasemen grup. Chile pun harus angkat koper lebih cepat.

BACA JUGA:  Membangkitkan (Kembali) Sebuah Kenangan tentang PSM Makassar

Mimpi Rojas membawa Chile berprestasi jauh di kancah internasional tak surut oleh kegagalan di kualifikasi Piala Dunia 1986 dan Copa America 1989. Mimpi inilah yang kemudian membutakan hati Rojas akan makna sesungguhnya dari sepak bola.

Pada kualifikasi Piala Dunia 1990, Chile tergabung di Grup 3 zona CONMEBOL bersama Brasil dan Venezuela. Satu tiket praktis hanya diperebutkan oleh Brasil dan Chile mengingat prestasi Venezuela sebagai lumbung gol Amerika Selatan. Optimisme tinggi menghinggapi Chile. Terlebih, mereka belum lama menaklukkan Brasil dengan skor telak 4-0 pada ajang Copa America 1987.

Baik Chile maupun Brasil mengawali kualifikasi degan hasil positif. Kedua tim sama-sama meraih kemenangan saat bertandang ke Venezuela, masing-masing dengan skor 0-4 dan 1-3. Untuk sementara, Brasil memimpin klasemen dengan keunggulan selisih gol. Hasil tersebut membuat Chile harus mengalahkan Brasil di Santiago jika ingin memuncaki klasemen.

Alih-alih memuncaki klasemen, pertandingan yang digelar pada tanggal 13 Agustus 1989 tersebut justru menjadi awal bencana sepak bola Chile. Ditahan imbang Brasil 1-1 membuat Chile harus menang besar kala menjamu Venezuela. Sialnya, pertandingan menghadapi Venezuela harus diadakan di tempat netral. Sanksi ini dijatuhkan FIFA menyusul serangkaian insiden di luar lapangan kala Chile menjamu Brazil.

Meski berhasil menggulung Venezuela dengan skor 5-0, Chile tetap berada di peringkat kedua. Brasil tetap memuncaki klasemen setelah menang 6-0 kala menjamu Venezuela. Hasil ini memaksa Chile menjalani partai hidup mati menghadapi Brasil. Lebih berat lagi karena Chile harus bertandang ke salah satu stadion paling angker di dunia, Maracana.

Mengalahkan Brasil di Maracana bagi mayoritas tim adalah mission impossible. Meski demikian, Chile boleh sedikit optimistis. Brasil tahun 1980-an bukanlah Brasil era Pele atau Garrincha yang dengan mudah membombardir gawang lawan. Belum lagi jika menengok pertemuan mereka pada Copa America 1987.

3 September 1989, Roberto Rojas bersama skuat Chile bertandang ke Maracana, stadion kebanggaan Brasil yang menjadi saksi kegagalan Selecao pada Piala Dunia 1950. Keberhasilan La Roja lolos ke Piala Dunia akan menjadi kado indah rakyat Chile seiring dibukanya pintu demokrasi setelah rezim Pinochet tumbang.

Namun kado indah itu tak pernah ada. Tim nasional Chile melalui Roberto Rojas justru memberi mimpi buruk. Mimpi buruk yang dibungkus kertas kado warna warni.

Mimpi buruk itu dikirim dari stadion Maracana. Pada menit ke-65, seorang pendukung Brasil, Rosenery Mello melempar kembang api ke arah gawang Roberto Rojas. Tindakan yang sebetulnya tidak perlu mengingat Brasil sedang unggul 1-0. Seketika, Rojas pun terjatuh sembari menutup muka dengan dikelilingi asap.

Melihat rekannya tergeletak di lapangan, para pemain Chile mengerubuti Rojas. Tak lama berselang, tim dokter masuk ke lapangan untuk memeriksa kondisi Rojas. Melihat situasi di lapangan, pelatih Chile Orlando Aravena, atas saran kapten tim Fernando Astengo, meminta wasit menghentikan pertandingan.

Sembari menggotong Roberto Rojas, seluruh anggota tim Chile bergegas meninggalkan lapangan pertandingan. Juru kamera segera mengerubuti kontingen La Roja. Wajah Roberto Rojas yang berlumuran darah pun tertangkap kamera dan dengan cepat menyebar.

Brasil, meski berhasil memenangi pertandingan, belum bisa berpesta merayakan kelolosan mereka ke Italia 1990. Apalagi, federasi sepak bola Chile melayangkan permohonan ke FIFA untuk tanding ulang di tempat netral. Ofisial CBF (Federasi Sepak Bola Brasil) pun berharap-harap cemas menunggu putusan FIFA atas insiden tersebut.

BACA JUGA:  Kembalinya Old Firm Derby: Glasgow Celtic vs Glasgow Rangers

Pascapertandingan di Maracana tersebut, Chile dilanda suasana kurang kondusif. Sentimen anti-Brasil pun bermunculan. Sejumlah pendukung melakukan aksi pelemparan batu di kedutaan besar Brasil.

Selang seminggu, FIFA membuat keputusan yang cukup mengejutkan. Saat itulah kado dari Maracana menampakkan wujud aslinya. Mimpi buruk sepak bola Chile dimulai. FIFA menghadiahi Brazil kemenangan 2-0 dan meloloskan Selecao ke Italia 1990. FIFA menilai Chile telah melakukan pelanggaran berat dengan meninggalkan lapangan sebelum pertandingan usai. Chile pun didiskualifikasi.

Keputusan FIFA ini menuai kecaman. Sejumlah pihak bersimpati kepada FFC (Federasi Sepak Bola Chile). FIFA yang kala itu dipimpin oleh pengacara Brasil bernama Joao Havelange dinilai bersikap bias. Sejumlah pihak menganggap FIFA meloloskan Brasil karena alasan ekonomi. Bayangkan, berapa banyak uang lepas dari genggaman FIFA jika Chile yang lolos alih-alih Brasil.

Namun, hasil investigasi lanjutan yang dilakukan FIFA berhasil membalikkan opini tersebut. Ternyata, Roberto Rojas sengaja melukai diri sendiri! Hal tersebut dibuktikan dengan berbagai foto kejadian yang menunjukkan bahwa petasan jatuh cukup jauh dari Rojas. Bukti lain adalah tidak ditemukannya luka bakar sedikit pun pada tubuh Rojas. Laporan dokter tim Chile pun dinilai janggal oleh FIFA.

Atas tindakan tersebut, FIFA menghukum Rojas dari lapangan seumur hidup. Tak hanya itu, pelatih Aravena dan kapten Fernando Astengo yang memprovokasi skuat Chile mendapat sanksi larangan bermain–meski tak selama Rojas. Lebih parah lagi, Chile dilarang ikut serta di Piala Dunia 1994.

Roberto Rojas pada awalnya menyangkal temuan FIFA tersebut. Namun fakta sudah terkuak dan Rojas akhirnya mengakui tindakan tidak sportifnya. Sebelum pertandingan, Rojas menyelipkan pisau cukur untuk melukai dirinya. Pisau cukur tersebut ia simpan di sarung tangan kiri. Dengan bantuan kapten Fernando Astengo, Rojas berhasil “menghilangkan” barang bukti. Skenario cerdik yang bakal membuat Vince McMahon bangga.

Citra Roberto Rojas pun berubah. Julukan El Condor sebagai simbol kebesaran Chile berubah menjadi Condorito–sebuah karakter komik strip. Demi sebuah kebanggaan berlaga di puncak, ia rela melanggar nilai-nilai sportivitas.

Ambisi yang kelewat memang memaksa Rojas pensiun dini. Meski demikian, kecintaannya pada sepak bola tidak pernah luntur. Selepas dijatuhkannya sanksi FIFA, Rojas mencoba peruntungan sebagai komentator sepak bola. Namanya yang cukup dikenal menjadi nilai lebih. Rojas pun sempat mendirikan sebuah akademi sepak bola bagi anak-anak Chile.

Tahun 2001, FIFA mencabut sanksi larangan bertanding Rojas. Pada usia 43 tahun ia tentu tak berharap dapat merestorasi karir gemilangnya. Satu pertandingan terakhir dimainkannya pada partai testimonial Ivan Zamorano. Masuk 20 menit terakhir pertandingan, penonton memberinya sambutan antusias.

Sambutan dan antusiasme penonton kala itu membuatnya terharu. Kerinduannya akan teriakan suporter dan atmosfer stadion pun sedikit terobati. Usai pertandingan, Rojas pun menunjukkan perasaannya dan mengatakan, “Hal ini sangat berarti, saat rakyatku memaafkan.”

 

*) Tulisan ini pernah dimuat di Fandomagz edisi ke-5. Ditayangkan kembali dengan perubahan seperlunya.

 

Komentar
Fans bola layar 14", karena fans layar kaca sudah terlalu mainstream.