Persiba mungkin sudah terhapus dari peta elit sepakbola Indonesia. Jejak langkah, keanggunan nan indah mewangi dari tim bermarkas di Stadiun Sultan Agung kini menyepi bersama klub-klub kasta ketiga di Indonesia.
Lenyapnya Persiba, dibarengi kembali oleh geliat luar biasa sepakbola sekitarnya, yakni PSIM Yogyakarta dan PSS Sleman. Mereka memupuk kedigdayaan, sedangkan tim dari Bantul itu hilang entah ke mana.
Teringat betul kala Persiba meladeni permainan mengerikan wakil dari timur, Persidafon. Lalu, pada akhirnya mereka bersua dengan Persiraja di Stadion Manahan.
Kala itu, laga yang diadakan di tempat netral bagai angin yang berhembus menuju kubu Laskar Sultan Agung. Sorak sorai, deru bass drum, hingga tangisan seluruh warga Bantul tumpah ruah.
Bagai sebuah mimpi, tim sederhana asal pesisir selatan ini bisa menembus kasta teratas. Sebuah liga yang tak pernah sebelumnya terbayangkan bagi warga Bantul.
“Rasanya seperti mimpi di siang bolong kala itu,” ujar M. Arif Nur, seorang mantan pemain junior Persiba dan pernah hampir menembus seleksi Timnas usia muda.
“Rasanya, menembus pertama itu bagai mimpi. Dan Ezequiel Gonzalez serta kolega sukses menunaikan mimpi-mimpi kami. Itu luar biasa,” lanjutnya.
Sepakbola dan Bantul pernah benar-benar melekat. Wajah-wajah Ezequiel, Wahyu Wiji, Busari, Fortune Udo, terpampang bagai wujud terima kasih. Semua itu terbungkus dengan khusyuk dalam wajah Paserbumi.
Semua bangga mengaku menjadi Paserbumi. Persiba, kala itu, seakan menjadi representasi DIY dan bahkan Jawa Tengah kala itu. Dan kini, walau sangat sakit untuk mengakui, Persiba bagai sebuah museum usang.
Sepakbola di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah menyimpan tradisi kuat sejak masa perserikatan. Berangkat dari sana, mengendap berbagai kultur lokal di sana, salah satunya adalah kultur pemasangan bendera.
Bendera atau panji itu bukan hanya sebagai penegasan, namun kini sudah menjadi kultur tersendiri. Lazimnya, hijau-hitam adalah PS. Sleman, biru-putih adalah PSIM, dan Persiba itu merah.
Untuk kabupaten yang pernah punya klub dengan sejarah hebat pada akhir 2000-an hingga awal dekade selanjutnya, menjadi sebuah ironi bahwasanya saat ini panji berwarna merah itu mulai luntur. Di daerahnya sendiri, warna hijau dan biru kerap terlihat berkibar.
Penurunan animo itu, pada dasarnya terkait dengan penurunan performa Persiba sendiri. Bayangkan saja, setelah melakoni musim legendaris pada 2010/2011, kini mereka terjun bebas ke level terbawah. Bermain di kompetisi yang sama dengan dengan tim sepak bola universitas, seperti UAD dan UNY.
Akan tetapi, keyakinan masih ada, bahwa rasa cinta itu abadi. Persiba masih mengendap di hati para suporternya yang sedekade silam bersorak sorai di Stadion Sultan Agung. Mereka hanya tak lagi menjadikan tim itu sebagai pilihan pertamanya.
Untuk saat ini, Persiba memang kalah seksi dibandingkan PSS dan PSIM. Dan pergeseran massa itu terjadi. Mantan-mantan pengibar panji-panji merah di Bantul mengarahkan dukungan ke dua klub di utara daerahnya tersebut.
Pergeseran tersebut membesarkan kantong-kantong suporter PSIM dan PSS di Bantul sebetulnya dari dulu sudah ada. Di seputar Jalan Imogir Timur misalnya. Basis pendukung Laskar Mataram menggelembung di sana. Situasi yang realistis, mengingat PSIM kini menjadi salah satu representasi persepakbolaan DIY.
Di beberapa kawasan lain, terutama yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman, bendera hijau turut menjamur. Tak lain dan tak bukan berkat kesuksesan PSS dalam beberapa tahun terakhir yang hingga saat ini masih bermain di level tertinggi sepakbola Indonesia.
Kehadiran kultur segar yang dibawa oleh Brigata Curva Sud beberapa tahun silam turut andil pula. Mereka yang berhasil menyedot atensi Indonesia tentu saja juga sukses menggaet banyak kalangan di provinsi ini.
Berkembangnya BCS juga ikut memacu kelompok suporter , Brajamusti, untuk melebarkan sayapnya. Berakar dari rivalitas kedua kubu, mereka berusaha menancapkan pasak sedalam-dalamnya ke masyarakat sepakbola DIY.
Sementara itu, di Bantul, Persiba tak lagi besar. Sulit untuk terus bertahan hanya Bersama tim kecil seperti itu tanpa terpengaruh ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh dua kelompok pendukung klub di utara mereka. Menjamurnya bendera hijau dan biru di Bantul tak dapat dielakkan.
Kondisi tersebut sebenarnya dirasakan juga oleh daerah yang sepakbolanya berada di level semenjana dan diapit oleh kultur yang lebih besar. Contohnya di Klaten.
Namun, ironi yang terjadi di Bantul lebih getir. Pasalnya pernah ada klub kuat menancapkan bendera di sini. Di mana kini bahkan pepohonan di seputar Stadion Sultan Agung saja lebih tinggi dari prestasi mereka.
Mungkin saja kondisi yang ada memang harus terjadi seperti ini agar Laskar Sultan Agung tidak keasyikan terlelap dari tidurnya. Andai diambil hikmahnya, fenomena bendera tiga warna itu bisa jadi patut disyukuri.
Jika mau, situasi tersebut bisa dijadikan cambuk semangat bagi Persiba untuk mempertahankan eksistensinya. Layaknya Manchester City yang bangkit menghadapi hegemoni Manchester United di kota yang sama setelah menerima olok-olok sebagai tetangga berisik.
Ketika waktu terus berjalan, roda kehidupan tetap berputar kalau memang tidak ditakdirkan berhenti. Begitu pula Persiba. Andai klub itu memang tak mati, langit Bantul mungkin saja akan memerah kembali. Entah kapan.