Terdapat sekitar 10.000 penonton yang menyaksikan kemenangan telak 14-0 Iran atas Kamboja pada 2019 lalu. Namun, ada yang berbeda dengan pertandingan yang digelar di Stadion Azadi, Teheran, itu.
Dalam lanjutan kualifikasi Piala Dunia 2022 Qatar tersebut, sekitar 4.500 pasang mata di antaranya adalah kaum perempuan. Sebuah peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah, sebagai nafas segar persepakbolaan di tanah Iran, pun kawasan Timur Tengah.
Seperti yang dicatat oleh Franklin Foer dalam Memahami Dunia Lewat Sepak Bola (2017), setelah Revolusi Islam Iran pada 1979, stadion difatwakan haram untuk diinjakkan oleh kaki para perempuan penikmat bola.
Argumen rezim Mullah sederhana, perempuan di ruang publik, apalagi disesaki para lelaki, dianggap melanggar syariat. Meski begitu, perempuan Iran kerap bersiasat memasuki stadion dengan setelah jubah pria, mengepres dada, dan menggulung rambut panjangnya.
Barulah, setelah Sahar Khodayari menggadaikan dirinya sebagai martir, era baru bagi kaum perempuan Iran mengemuka.
Sebelumnya, ia nekat menonton sepakbola langsung di stadion yang berujung atas hukuman penjara bagi dirinya. Di muka pengadilan, Khodayari membakar tubuhnya sebagai bentuk penentangan atas kungkungan kebebasan.
Kisah perjuangan perempuan Iran demi menikmati kegembiraan di pinggir lapangan, sekaligus demi kesetaraan hak atas akses ruang publik itu, butuh waktu panjang dan jalan yang berliku hingga akhirnya bisa terwujud.
Meski sepakbola modern kini berusia sekitar satu setengah abad, rupanya kesetaraan yang selalu didengungkan banyak penikmat lapangan hijau, tidak melulu hadir secara harfiah. Apalagi ketika sepakbola telah berkelindan dengan konteks ekonomi politik tertentu.
Berbeda masa, terpaut jarak, kisah The English Game, serial sepakbola garapan Netflix, menghadirkan tontonan serupa. Bagaimana sepakbola memungkinkan menjelma sebagai alat perjuangan, sekaligus sesuatu yang pantas diperjuangkan.
Ada dua tokoh sentral dalam serial yang berangkat dari sejarah awal sepak bola modern di Inggris ini: Arthur Kinnaird, yang diperankan Edward Holcroft, dan Fergus Suter, yang dilakonkan Kevin Guthrie.
Nama pertama dikenang sebagai penampil terbanyak Piala FA hingga kini, sekaligus pernah menjabat sebagai ketua federasi sepakbola Inggris, FA. Sementara itu, nama kedua ditasbihkan sebagai pencetus sepak bola modern – bersama sahabatnya sesama Skotalndia, Jimmy Love.
Seperti teks pada menit awal episode pertama, konteks historis The English Game dicomot dari peristiwa pada tahun 1879, di mana kaum aristokrat terdidik cum kelas borjuis menganggap sepakbola adalah milik mereka.
Hal ini persis sebagaimana Luciano Wernicke dedahkan dalam Mengapa Sebelas Lawan Sebelas? dan Serba-serbi Sejarah Sepak Bola Lainnya (2019) mengenai aturan main sepak bola dan pengembangannya pada awalnya didominasi oleh klub-klub besutan kaum aristokrat.
Mereka pula yang melembagakan sepakbola dalam sebuah kompetisi di bawah payung besar Football Association (FA). Dalam serial ini, saya sempat tercengang, ternyata pengurus FA – bahkan ketuanya – bermain di sebuah klub berisikan sesama borjuis dari London.
Jelaslah, juara kompetisi Piala FA sejak digelar pada musim 1871/1872, selalu berasal dari klub para kaum kaya. Sebelum akhirnya, Blackburn hadir mengakhiri dominasi klub para elit dengan bermodalkan pemain berbakat dari kalangan kelas pekerja.
Dalam salah satu scene menjelang final ulangan Piala FA 1879, pemilik klub Darwen, James Walsh bersikeras agar Blackburn bisa bermain di final, sebagai wakil kelas buruh dari kota Lancashire, Inggris Utara.
“Jika Blackburn menang, kita (kelas pekerja) menang. Sebab, ada yang berpikir bahwa para pekerja tak pantas bermain sepakbola,” ujar Walsh.
Sekilas, pernyataan tersebut mengindikasikan secara sederhana bahwa final Piala FA adalah pertarungan antara proletar dan borjuis. Meskipun, The English Game ternyata tidak sesimpel itu.
Ada detail-detail kecil yang menunjukkan kompleksitas serial itu yang menunjukkan lebih sekadar narasi para protagonis melawan antagonis di lapangan hijau. Pertentangan kelas itu ada, namun sepakbola membuat hal itu lebih ruwet.
Jika ditilik lebih jauh, The English Game secara implisit memuat lapis makna kedua, yakni tentang awal mula sepakbola menjadi bagian dari kapitalisme, di mana waktu luang dan hiburan akhir pekan disulap jadi ladang bisnis.
Di serial tersebut, John Catwright, pemilik klub Blackburn menunjukkan masa depan sepak bola yang kini ada di tangan taipan semisal Roman Abramovich, Keluarga Glazer, Keluarga Agnelli, hingga Florentino Perez.
Mengesampingkan hal di atas, rasanya sepakbola masih relevan sebagai alat perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan di banyak ruang dan waktu.
Dalam sejarah, semua orang bakal mengingat Barcelona sebagai kawah candradimuka perlawanan masyarakat Catalan. Tendangan ke dada polisi di Stadion Maksimir pula yang memicu Revolusi Beludru dan meruntuhkan Yugoslavia.
Lalu ada pidato Didier Drogba di ruang media yang mendamaikan perang sipil di Pantai Gading. Hingga bentangan spanduk solidaritas pendukung Glasgow Celtic di Skotlandia atas perjuangan rakyat Palestina.
Perjuangan akan kesetaraan dan keadilan akan selalu hadir dari balik rerumputan hijau di atas lapangan. Sebab, kegembiraan sepak bola sebagai modal perjuangan adalah milik semua orang. Tak bisa dibeli, apalagi ditawar.