Tidak Ada Brasil Hari Ini

Meski membebaskan puisinya dalam interpretasi bebas, namun Aan Mansyur sempat bercerita tentang puisinya sendiri yang dijadikan judul dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang legendaris itu dalam sebuah bedah buku yang diadakan di Universitas Padjajaran, Bandung.

Tidak Ada New York Hari Ini. Aan bercerita tenang bagaimana ia berusaha menempatkan diri sebagai Rangga yang terus terasing di negeri orang. Bersama lika-likunya menjaga Cinta meski pada akhirnya harus menyudahi hubungannya.

Kemudian, Aan bercerita tentang Jakarta dan New York. New York dipandang Aan sebagai pusat dunia, dan saya setuju akan hal ini. Maka, saat ia mengatakan bahwa Tidak Ada New York Hari Ini, hal ini ia maksudkan adalah tidak ada pusat dunia bagi Rangga. Ia sudah hilang.

Hatinya berada di Jakarta, namun fisiknya berada di New York. Bersama Cinta dan segala kehidupan yang ia rindukan tersisa di Jakarta. Ia ingin berada di masa kini, namun tampak sudah semua jelas menjadi derita baginya.

Puisi jelas adalah interpretasi bebas, dan selayaknya puisi, kita akan mampu mendefinisikan segala apa pun sesuai sudut pandang kita. Puisi memang memberikan ruang untuk itu. Perbedaan pemaknaan antara penulis dan pembacanya adalah hal yang wajar.

Mengingat setiap individu memiliki interpretasinya sendiri. Menganggap semua puisi adalah puisi cinta merupakan sebuah hal yang tak salah, meski tentu saja, puisi adalah suatu hal yang sifatnya berlapis-lapis. Bisa jadi, sebuah puisi bermakna kritik sosial, ataupun bernada politik seperti bait-bait WS Rendra.

Dan karena kebebasan ini, entah mengapa, saya berusaha cukup lancang untuk mengubah sebuah karya. Dan biarkanlah saya membayangkan, andaikata Rangga adalah seorang pesepak bola yang merantau ke Brasil dan kemudian harus membela timnas Brasil yang dilatih oleh Carlos Dunga.

Sebuah tim yang kehilangan identitasnya, dan kejayaan, hingga tak nyaman lagi dengan dirinya dan tersisa hanya lelucon bagi negara lain. Tidak ada Brasil hari ini.

Jika setidaknya Anda lupa atau amnesia atas apa yang terjadi pada Dunga dan Brasil beberapa tahun belakangan, maka akan saya jelaskan.

BACA JUGA:  Anomali Chelsea yang Mengerikan

Brasil bukan lagi sebuah negeri yang memainkan jogo bonito yang aduhai ala Brasil. Kubur dalam-dalam kenangan akan Romario, Rivaldo, Ronaldo, Roberto Carlos, Cafu, Carlos, Ronaldinho, Kaka, dan nama lainnya yang tak mungkin saya sebut.

Kubur semua citra bahwa permainan mereka sangatlah indah. Karena Brasil yang kita saksikan dua tahun terakhir ini adalah Brasil yang mengecewakan dan mencatat bencana.

Brasil yang kalah 7-1 dari Jerman, ataupun Brasil yang kini dipecundangi oleh tim sekelas Peru, dan hanya mendapatkan imbang saat melawan Ekuador. Brasil yang kehilangan kepaduan dalam timnya, dan publiknya yang tak tahan atas racikan Carlos Dunga di era keduanya ia menjadi pelatih Brasil.

Brasil yang bisa saja sulit ditembus oleh pemain yang berada dalam performa terbaiknya. Bahkan, akun spesialis sepak bola Brasil seperti @Zizoulogy mengkritik bahwa andaikata Dimitri Payet adalah seorang Brasil, kansnya akan hilang sebaik apa pun bagaimana ia bermain.

Ini tentu mengacu pada performa Firmino di dua tahun yang tak dipanggil timnas, kendati performanya sedang trengginas. Atau yang lebih konyol, ia sempat berencana memanggil Kaka untuk Copa America Centanario karena pemain lain tak memiliki dokumentasi! Padahal, ya Kaka sudah sangat uzur dan “hanya” bermain di Major League Soccer.

Dan bayangkan betapa menyebalkannya menunggu untuk dipanggil ke timnas dengan pilihan yang sungguh konyol ini. Kekonyolan yang hanya pilihan Roy Hodgson dan timnas Inggris-nya yang mampu menandinginya.

Itu tentu perspektif dari satu sisi, sisi lainnya adalah bagaimana kegagalan Carlos Dunga dalam membangun permainan tim yang tangguh dengan pemain yang ada. Meski bukanlah skuat yang kuat, namun sesungguhnya Brasil bisa mencapai sesuatu yang lebih baik kendati tanpa Neymar sekalipun.

Dengan pemain berkualitas seperti Philippe Coutinho, Willian, Casemiro, hingga bintang muda Santos seperti Gabriel “Gabigol”, setidaknya Dunga harusnya mampu mengemulasikan performa mereka di liga.

BACA JUGA:  Sayonara, Marcelo!

Namun itu gagal, dan kita sangat kehilangan Brasil yang dipenuhi dengan senyum sumringah dari para pemainnya yang akan menularkan semangat mereka kepada kita pula. Membuat kita bertanya, ke mana larinya Brasil yang kita kenal sebagai negeri sepak bola itu.

Brasil yang kita saksikan saat ini adalah Brasil yang sangat buruk dalam transisi menyerang ke bertahan, serta memiliki penyelesaian akhir yang buruk. Bahkan orang se-awam saya dalam urusan taktik sepak bola bisa menilai itu. Saya tak pernah sebosan ini saat menyaksikan Brasil. Seakan seseorang tampak seperti bermain dan asyik dengan sekat-sekat dirinya sendiri.

Pemecatan Dunga kini sudah dilakukan dan diharapkan menjadi pelipur lara. Namun, luka atas kasus yang disebabkan Dunga adalah satu sisi, sementara yang lainnya adalah yang sedang melanda federasi mereka saat ini.

CBF, federasi sepak bola Brasil, setidaknya sudah mengganti dua kali ketuanya, dan sayangnya, kedua ketuanya ini sama-sama ditangkap oleh FBI karena diduga melakukan penggelapan dana.

Federasi yang korup, dan chaos yang tampak di lapangan, adalah mengapa saya mengatakan bahwa andaikata Rangga dulu memilih merantau, dan menjadi pesepak bola hebat dan cukup pantas untuk masuk skuat Dunga saat ini, mungkin problema ini yang harus ia jalani.

Permasalahan yang sungguh kompleks, dan kali ini bukan hanya ia yang merasa hilang di negeri orang. Melainkan sebuah negeri megah yang dihormati sepak bolanya yang turut juga kehilangan dirinya dan terjebak dalam kenangan masa lampau.

Setidaknya, saya merasa inilah yang menjadi benang merah antara sebuah puisi yang fenomenal itu dan masalah Brasil kini. Mungkin Aan Mansyur nanti akan menulis puisi ini seperti ini nanti, sembari berusaha tak hanya menyerap kesenduan Rangga, namun seluruh penggemar publik Brasil:

 

Tidak ada Brasil hari ini.

Tidak ada Brasil kemarin.

AKu sendiri dan Brasil tidak berada di sini.

Semua orang adalah orang lain.

 

Komentar