Bagaimana cara menghidupkan orang mati?
Sesingkat, namun sedalam inilah Mario F. Lawi mengintrepetasikan The Scientist-nya Coldplay dalam sebuah bagian dari sekumpulan puisi “Mendengarkan Coldplay.”
Mario menggunakan pendekatan lewat video musik, di mana Chris Martin berjalan mundur dan kembali ke “masa lalu” di mana kekasihnya (dalam video tersebut) masih hidup.
Yang berusaha dikomunikasikan dalam video musik tersebut adalah sebuah pertanyaan: apakah Anda pernah menyesali sesuatu, sampai-sampai selalu membawanya dalam doa berharap Tuhan memberikan kesempatan kedua?
Rasa sakit, sesal, dan lara tak melulu soal ditinggal untuk selamanya oleh seseorang yang Anda cintai. Lara, bisa ditemukan di banyak sisi kehidupan, salah satunya sepak bola. Dan, Frank Lampard mungkin contoh yang paling sesuai.
Frank James Lampard Junior, adalah seorang pemain yang begitu mencintai Chelsea dengan seluruh nyawanya. Namun cintanya seperti tak berbalas ketika “dipaksa” pergi setelah kontraknya tidak diperpanjang di jendela transfer musim 2014/2015.
Pada akhirnya, perpisahan memang terjadi. Frank Lampard menyusul Didier Drogba yang sudah lebih dahulu hengkang, dan meninggalkan John Terry seorang diri sebagai pemain Chelsea dari awal masa Kerajaan Roman Abramovich.
Kepergian Lampard makin terasa pilu setelah ia dengan gemilang mempersembahkan rentetan trofi untuk The Blues. Mulai dari gelar juara Liga Primer Inggris, FA Cup, Piala Liga, Europa League, hingga trofi Liga Champions. Gelar terakhir ini seperti menjadi pemuas dahaga Roman Abramovich akan kesuksesan tertinggi bagi klub Eropa.
Kendati bukan lulusan akademi Chelsea, Lampard sangat dicinta. Pada masa jayanya, perdebatan mana yang lebih hebat, antara Frank Lampard dan Steven Gerrard menjadi tajuk panas antara fans The Blues dan The Reds.
Maklum, baik Lampard maupun Gerrard sama-sama rajin membuat gol. Lampard merupakan pencetak gol terbanyak dalam sejarah Chelsea dengan 211 gol dari 649 laga di semua kompetisi. Catatan asisnya juga luar biasa, tertinggi kedua setelah Ryan Giggs di era Liga Primer.
Di samping kontribusi masif untuk klub, sosok Lampard yang sederhana dan terkesan polos makin membuat fans mengidolakannya. Anda bisa menangkap kesederhanaan Lampard dari wawancara dengan Chelsea TV pada Februari 2010.
Saat itu, Lampard memantapkan diri untuk menjadikan Chelsea sebagai klub terakhirnya. Pemain yang lekat dengan nomor punggung 8 tersebut bercerita bagaimana ia kemudian menolak tawaran bereuni dengan Jose Mourinho di Internazionale Milano. Alasannya sederhana: karena ayah dan ibunya.
Ia berkata, “Aku takkan pernah bisa lupa apa yang ayah dan ibuku katakan, ‘Jangan lupa saat kau pergi ke lapangan, semua orang menyanyikan namamu, jangan lupa kemurahan hati macam apa yang telah mereka berikan terhadap bocah dari West Ham yang hijrah ke London’, hal itu membuatku berpikir bahwa aku telah mengambil keputusan yang benar.”
“Keluargaku selalu ingin agar aku bertahan di Chelsea. Banyak hal yang terjadi dalam hidupku dan lalu aku berpikir, bagaimana aku bisa mengenyahkan itu semua? Itu takkan menyisakan apa-apa kecuali keputusan buruk (jika memilih pergi). Aku sangat senang sekarang karena aku bisa mengakhiri karierku di sini.”
Namun ada sesuatu di dunia ini yang tak bisa kita kontrol. Hal itu bernama takdir. Takdir, seperti halnya nasib, membelokkan kisah hidup Lampard. Impiannya untuk bertahan tak kesampaian. Chelsea tak memperpanjang kontraknya. Seperti cinta yang tak harus memiliki, Lampard memilih menerima kelokan takdirnya.
Adalah 24 Juli 2014, ketika Lampard menyambut peluang bermain di New York City FC, Amerika Serikat. Ia merasakan tantangan baru bersama klub yang ambisius. Kontrak diteken untuk dua tahun, dan semua tampak mulus.
Setelah sedu sedan perpisahan, kemudian semua telah disepakati oleh kedua pihak: bagi Chelsea, hidup harus berlanjut – pun bagi Lampard. Ia telah bertekad untuk tak kembali ke Inggris untuk membela klub lain. Sialnya, semua tak semulus yang direncanakan.
Pertarungan batin dan Manchester City
Ia pindah ke klub barunya dengan situasi yang unik. Klub yang bermarkas di Yankee Stadium itu hanya berisi dua orang: David Villa, dan dirinya. Kendati demikian, New York City FC kemudian berhasil menjaring penggemar baru dan mengisi kekosongan tim dengan pemain-pemain yang mengenal kiprah Lampard selama di Inggris.
Namun, kedatangan Frank Lampard ke New York City FC sendiri, malah membuka jalan lain. Sebuah jalan yang tak mengenakkan bagi Chelsea dan segenap pendukungnya.
Sebuah kenyataan yang terasa getir saat mengetahui bahwa New York City FC dimiliki oleh Abu Dhabi United Group. Sebuah konsorsium kaya raya yang juga menjadi pemilik Manchester City. Para petinggi Abu Dhabi United Group secara langsung meminta Lampard untuk mau membela Manchester Biru.
Lampard mungkin bisa menolak tawaran tersebut, mungkin tidak. Namun pada akhirnya, ia memang menyanggupi permintaan tersebut. Ia mengenang kembali keputusan tersebut kepada Daily Mail pada tahun 2015.
“Aku sempat diminta untuk tinggal di Manchester oleh para petinggi klub, dan itu bukan perkara yang mudah.”
Ya, keputusan bermain untuk City akan seperti menjilat ludah sendiri saat menegaskan dirinya tidak akan bermain untuk klub lain di Inggris selain Chelsea. Pertarungan batin yang hebat terasa dalam setiap intonasi kalimat yang ia produksi. Lampard harus memilih.
Pemain kelahiran Romford tersebut akhirnya menyanggupi permintaan petinggi Abu Dhabi United Group. Sebagai laki-laki, ia siap memikul konsekuensi untuk dicemooh. Ia sepenuhnya sadar dengan kondisi tersebut. Namun, Lampard memandangnya dari sisi yang lain.
Sebagai seorang atlet, ia merasa begitu dihargai ketika ada sebuah klub yang dengan tulus memintanya untuk bertahan. Ia menghargai perasaan akan kepercayaan tersebut. Suatu perasaan yang rumit, yang tak ia dapatkan di penghujung kariernya bersama The Blues.
Keengganan Frank Lampard untuk kembali lagi ke Inggris sebagai pemain memang berdasar. Anda bisa melihat wajahnya yang tampak terpaksa bahagia saat diperkenalkan sebagai pemain City. Pun dari debutnya yang langsung melawan eks klubnya, menghenyakkan para fans Chelsea di seluruh dunia.
Pada saat kaki-kakinya berhasil mengelabui John Terry dan membuat Thibaut Courtois tak bisa berbuat apa-apa, ada hening sejenak dalam diri Lampard. Ia menolak rekan-rekannya yang ingin berbahagia atas golnya. Dalam benaknya, mungkin terdengar suara Chris Martin dengan penuh lirih saat menyanyikan bait-bait ini:
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh, take me back to the start
Di tengah gemuruh tepuk tangan dari fans Chelsea dan Manchester City, air mata Lampard mengalir luluh. Derasnya tak seberapa, namun seperti membasuh pergolakan akan sesal dalam batinnya. Sebuah sesal, yang mungkin abadi bersemayam dalam setiap ayunan kaki seorang Frank Lampard.