Vuvuzela, Om Telolet Om, dan Afeksi Kita Kepada Ketidaknyamanan

Terkadang, manusia begitu mudah beradaptasi dengan hal baru. Bahkan ketika hal baru tersebut pada awalnya terasa menyebalkan dan mengganggu. Saya menyebutnya keahlian alami, dan hal ini yang membuat kita lebih permisif kepada rasa tak nyaman.

Pembaca masih ingat Vuvuzela? Alat tiup yang mulai dikenal secara luas ketika digunakan para suporter sepak bola ketika ajang Piala Konfederasi 2009 di Afrika Selatan. Level kepopuleran Vuvuzela mencapai puncaknya ketika Piala Dunia 2010, di tempat yang sama.

Tahukah pembaca, bahwa keberadaan vuvuzela dianggap mengganggu? Bahkan, oleh urbandictionary.com, Vuvuzela diartikan sebagai, saya kutip secara utuh, “A mind-numbing torture device made of cheap, brightly colored plastic.”

Alat untuk menyiksa. Luar biasa bukan.

Suara bisingnya yang menyerupai kawanan lebah yang tengah terbang bersama sembari marah tersebut sempat dianggap membuat “tidak nyaman” pemain dan penonton sepak bola.

Begini perbandingannya. Tempelkan Vuvuzela ke telingan pembaca, lalu tiup sekencang mungkin. Kebisingan maksimal yang bisa dihasilkan hingga 127 desibel. Level ini lebih bising ketimbang suara drum ditabuh yang “hanya” mencapai 122 desibel. Pun dengan suara gergaji mesin yang hanya mencatatkan 100 desibel.

Hear the World Foundation yang bermarkas di Swiss bahkan sampai mengeluarkan peringatan bahwa terpapar suara bising hingga 127 desibel dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan kehilangan pendegaran.

Oleh sebab itu, fans di dalam stadion yang terpapar suara bising Vuvuzela dalam waktu yang lama disarankan menggunakan pelindung telinga. Di Afrika Selatan, alat pelindung telingan tersebut disebut Vuvu-stops, dan mereka sempat kehabisan stok ketika Piala Dunia 2010 dihelat.

Jika pembaca mencermati rentetan paragraf di atas, nampak sebuah anomali. Vuvuzela yang dianggap berbahaya, tetap dibawa masuk oleh fans ke dalam stadion. Dibunyikan bersama, dan dinikmati secara berjamaah. Sesuatu yang membuat tidak nyaman, justru digunakan untuk membuat sebuah pertandingan sepak bola semakin meriah.

Seorang suporter, yang pada awalnya tidak meniup Vuvuzela pun akan memaklumi ketika ia hanya bisa mengeluh sendirian. Bahkan, pada akhirnya, ia ikut meniup Vuvuzela yang terbuat dari plastik tersebut. Bising yang memekakkan telinga berubah menjadi keseruan yang dirindukan.

BACA JUGA:  Mengenal Franck Kessie

Ya, bukan tak mungkin mereka datang ke stadion hanya ingin meniup Vuvuzela, terlibat dalam keramaian, melebur dalam kebisingan bersama, dan asik ber-swafoto bersama alat tiup yang sempat diperkirakan berasal dari Bahasa Zulu tersebut.

Mengapa? Karena manusia dapat dengan mudah beradaptasi dengan rasa tidak nyaman. Asal, dinikmati secara bersama-sama. Seperti tawuran suporter dalam sepak bola. Rasa sakit jelas akan menjadi ganjarannya, namun tetap dirayakan dengan senyum dari bibir yang pecah akibat pukulan dari suporter lawan.

Fenomena Om Telolet Om dan adaptasi dengan pikuk lalu-lintas

Beberapa hari ini, linimasa dunia diwarnai dengan meme dan candaan tentang suara klakson bus. Untuk memahami fenomena ini, kita perlu berkenalan dengan etimologi kata “klakson”.

Kata “klakson” berasal dari Bahasa Yunani, klazo, yang artinya “menjerit”. Nah, kata “menjerit” mempunyai kata dasar “jerit”, yang menurut KBBI V diartikan sebagai suara keras yang melengking (dari manusia atau binatang). Maka hakekatnya, klakson yang serupa jeritan membuat pendengarnya menjadi tidak nyaman.

Sejurus dengan arti tersebut, klakson pada kendaraan dimaknai sebagai sarana untuk memberi peringatan. Tujuannya, menghindarkan sebuah kendaraan dari kecelakaan. Pada intinya, klakson merupakan sebuah penanda (kehadiran), yang dapat dieskpresikan dengan berbagai rupa.

Rupa yang dimaksud adalah nada, suara yang ditimbulkan. Kreativitas manusia menghasilkan nada klakson yang beragam. Tak melulu satu nada dan melengking mengagetkan. Nada klakson dimodifikasi menjadi lebih “menyenangkan”, meskipun tetap dalam konteks arti kata, yaitu “sebuah jeritan”.

Klakson bus, digunakan sebagai penanda ketika kendaraan tersebut hendak mendahului, atau melakukan suatu manuver. Suara ini dianggap menyebalkan karena begitu keras dan tak jarang membuat kaget pengendara. Jika refleks pengendara tak bagus, boleh jadi kecelakaan akan terjadi.

Di tengah sesuatu yang “lumrah” ini, ternyata ada sekelompok orang yang merasa nyaman saja dengan ketidaknyamanan suara klakson bus. Nada “telolet” dianggap lucu, bahkan direkam menggunakan gawai.

Mulai dari anak-anak hingga dewasa, mereka berjejer di tepi jalan raya yang ramai untuk menunggu sebuah bus yang lewat. Mereka akan menjulurkan jempol tangan, bahkan ada yang membawa selembar kertas bertuliskan “Om, Telolet, Om”. Mereka menantikan sopir bus untuk menekan klakson.

BACA JUGA:  Perihal Insiden Messi dan Ronaldo di India: Mengapa Sebaiknya Kita Menghargai Sebuah Proses

Ketika suara klakson membahana, mereka yang berjejer di tepi jalan rasa yang tengah padat akan bersorak, bahkan berjoget. Suara keras klakson bus, yang pada awalnya dianggap mengganggu, berubah menjadi suara yang ditunggu. Kreativitas manusia membuatnya menjadi mungkin.

Prie GS, seorang budayawan, memandang telolet sebagai murni estetika saja. Sopir, yang bersedia menekan klakson memberikan kegembiraan kepada pecinta telolet, dan ini sebuah sedekah. “Hakekatnya, kegembiraan itu menular,” kata Prie GS kepada Liputan6.com.

“kegembiraan yang menular”. Bukankan ini seperti kebisingan dari Vuvuzela? Sesuatu yang pada awalnya menjengkelkan, berubah menjadi suara yang dirindukan. Dari ketidaknyamanan, “dimaafkan” menjadi sesuatu yang biasa, dan bahkan menjadi candu.

Klakson (bus) dan padatnya jalan raya, dua hal yang pada awalnya dihindari, kini justru dicintai.

Afeksi, lalu permisif kepada ketidaknyamanan

Begitulah manusia, yang permisif dengan “yang pada awalnya dibenci”. Bagi fans Arsenal, melihat anak asuh Arsene Wenger memainkan sepak bola menyerang yang cair adalah sebuah kegembiraan. Sedangkan, “parkir telolet” ala Jose Mourinho dipandang sebagai aib dan memalukan.

Padahal, tak jarang juga, Arsenal bertahan “memarkir telolet” hampir sepanjang laga, menyerang sesekali saja, lalu gagal, dan kebobolan. Sadarlah, bertahan merupakan pekerjaan paling berat dalam sepak bola.

Ketika Arsenal bermain bertahan, dan menang, seperti saat melawan Manchester City atau Bayern Munchen beberapa tahun yang lalu, Gooners maklum saja. Akui saja, Anda merayakan kemenangan tersebut bukan?

Afeksi yang terpendam kepada ketidaknyamanan, diwujudkan dalam sikap permisif ketika hal negatif tersebut dirasakan dan dinikmati untuk kegembiraan bersama.

Sesuatu yang membuat tidak nyaman, dimaklumi ketika hasilnya dirasakan bersama. Lain soal jika tetap kalah, tidak ada kegembiraan yang ditularkan seperti kata Prie GS di atas. Maka, untuk beberapa soal, manusia cenderung menyiapkan sisi afeksi untuk rasa sakit dan soal ketidaknyamanan.

https://twitter.com/FCBayernEN/status/811570787102683138

 

Komentar
Koki @arsenalskitchen.