Yang “Kiri” dan yang Seksi: Anti Kapitalisme Sepak Bola di Ladang Kapital

Kecuali cerita tentang New York Cosmos yang sukses memboyong Pele, Franz Beckenbauer, hingga Johan Neeskens, sejatinya tak ada yang benar-benar menarik dalam kehidupan sepak bola di Amerika Serikat. Akan tetapi, jika Anda hendak mengetahui bagaimana sepak bola dimainkan dengan cara yang tak lazim sekaligus menjadi alat perjuangan, Amerika bisa jadi salah satu negeri yang patut ditelusuri.

Ada beragam contoh mengenai hal tersebut. Pada tahun 2003 silam, misalnya, segerombolan komunis dan anarkis di Duluth, Minnesota, mendirikan sebuah liga non-profesional yang dinamakan Commie Soccer League (CSL).

Sebagaimana namanya, CSL adalah sebuah liga yang dibentuk dengan prinsip-prinsip deliberatif. Salah satu contoh penerapan prinsip tersebut adalah kedua tim mesti mendiskusikan dahulu bagaimana aturan yang akan dimainkan sebelum pertandingan berlangsung. Dengan kata lain, peraturan dijalankan dengan se-fleksibel mungkin.

Jika kedua tim sepakat tak ada offside atau handball bukan suatu pelanggaran, pertandingan pun akan dimainkan dengan aturan tersebut. Selain itu, bila suatu waktu aturan yang telah disepakati tersebut ternyata memberatkan, pertandingan bisa saja dihentikan sementara untuk mendiskusikan kembali semuanya.

Dalam wawancaranya dengan Minnesota Public Radio, Adam Ritscher, salah seorang penggagas CSL, mengatakan, “Setiap pekan aturannya bisa berbeda-beda, tergantung dari banyaknya massa.”

Sementara itu di Chicago, barisan anarkis juga menggelar turnamen sepak bola yang diberi nama Haymarket Memorial Soccer Tournament. Turnamen ini sejatinya merupakan bagian dari Matches and Mayhem: sebuah ritual tahunan yang biasa diselenggarakan untuk mengenang tragedi Haymarket Affair pada tahun 1886 silam.

Ada pun, tim yang akan bermain merupakan kelompok-kelompok anarkis dari seluruh Amerika. Walau begitu, tak menutup kemungkinan juga jika kelompok anarkis dari belahan dunia lain ingin ikut serta. Kelompok anarkis di Chicago sendiri, yang notabene merupakan tuan rumah, telah memiliki tim yang berdiri sejak tahun 2001. Namanya: Arsenal.

Di tempat yang berbeda, tepatnya di Baltimore, sekelompok anarkis-feminis juga memiliki sebuah “punk-rock soccer team” yang dinamakan CCCP, singkatan dari Charm City Cunt Punchers. Di Portland, sebuah kelompok yang menyebut diri mereka “lazy stingking leftist hippies” kerap mengadakan turnamen sepak bola antar gelandangan, pengangguran, dan masyarakat marjinal lain.

Di Cape Cod, ada sebuah liga sepak bola yang juga didirikan oleh para aktivis komunis. Liga yang dinamakan Socialist Saturday Morning Sandy Pond Soccer League (SSMSPSL) tersebut biasanya melibatkan tim-tim yang berisikan para punkrocker atau skinhead seperti Red Action Skinheads (RASH) dari Philadelphia atau Skins and Punks against Racism (SPAR).

BACA JUGA:  Menjaga Denyut Nadi Sepakbola Cirebon

Dalam situsnya, SSMSPSL memberi sedikit penjelasan apa yang dimaksud dengan gerakan ini:

“As you comrades all know, the emergence of the anti-advancement parties known as the ‘freedom alliance’ and the ‘bull-moose’ was by no means accidental, but was an acute manifestation of the intense class struggle in our league at the present stage. The criminal aim of these “alliances” is to split our party and seize supreme power in the party and the state by conspiratorial means, and thus pave the way for a counter-revolutionary come-back. Under the unified leadership of the Central Committee (i.e. BIG BROTHER), our party will smash the anti-Party alliances and become even more united and consolidated. This will be an important victory in our struggle for the cause of both socialism and soccer….”

Dari sekian wilayah di Amerika yang telah menggelar turnamen atau pertandingan antar tim “kiri”, barangkali hanya di San Fransisco-lah upaya tersebut dilakukan dengan serius. Ada dua tim di sana yang telah dibentuk sejak tahun 2002: Left Wing FC dan Krondstadt FC. Left Wing FC berhaluan komunisme, sementara Krondstadt FC, yang namanya ditakik dari The Krondsadt Rebellion, salah satu kelompok separatis pada masa Revolusi Rusia, berbasis anarkisme.

Kendati sama-sama berjuang melawan imperialisme dan kapitalisme, kedua tim juga sempat beberapa kali bertanding dalam turnamen Bay Area Direct Action Soccer Series (BADASS), yang mana merupakan bagian dari ritual tahunan Anarchist Bookfair. Salah seorang pemain Krondstadt pernah menuliskan maksud dari pertandingan ini di laman http://collectiveliberation.org.

“We’ve run in the streets together. We’ve been in meetings together. We’ve strategized against imperialism together. But now it’s time for Bay Area Anarchists and Communists to bring our relationship to a whole new level. So we’re going to build unity and work out our differences where it really matters – on the soccer field. Come support your comrades and cheer us on!”

Pertandingan pertama mereka pun berlangsung ricuh. Hal tersebut terjadi bukan lantaran keributan antarpemain, tetapi karena dibubarkan aparat setelah beberapa orang suporter dianggap telah membuat keributan dengan berlarian kesana-sini sambil mengibarkan bendera hitam berukuran besar dan berteriak-teriak:“Agitate! Agitate! Score a goal and smash the state!”

Di turnamen yang sama pada Minggu, 17 Agustus 2006, kedua tim kembali bersemuka di Bay Area. Ketika skor masih imbang 2-2, beberapa orang aparat datang membubarkan pertandingan tersebut dengan alasan belum ada izin dari pemda setempat.

BACA JUGA:  Percik-percik Pemahaman: Menyoal Negative Space di Luar Lapangan

Nisha Anand, salah seorang pemain Kronstadt yang juga merupakan anggota SFWAR (San Francisco Women Against Rape), memberi pernyatan pascapembubaran tersebut, “If you put all the players from both teams together, you have representatives from a lot of great radical social justice organizations, non-profits, and collectives in the Bay Area, that is incredibly powerful stuff!”

Dari sekian penjelasan singkat di atas, ada sebuah pertanyaan yang sejatinya perlu dijelaskan: Mengapa para aktivis “kiri” tersebut memilih sepak bola sebagai salah satu alat perjuangan? Salah seorang pemain Detroit Riot FC, Paul Royal, memberikan jawabannya, “The nature of the game is such that it allows people with different skill levels and abilities to play at the same time. This is important because we lefties try to be inclusive and compassionate with our political beliefs. And because there’s is no better way to block off a street during a demonstration than with an impromptu soccer match.”

Jika ditilik ke belakang, sejarah perjuangan para aktivis “kiri” di Amerika melalui media sepak bola bermula pada tahun 2000 silam. Ketika itu, para barisan pemikir anarkis di Washington mendirikan Anarchist Soccer League dan menantang World Bank bertanding dalam laga bertajuk Soccer Showdown. Sejak saat itu, sepak bola pun menjadi semacam ritual “wajib” untuk diselenggarakan ketika kelompok anarkis-komunis mengadakan acara. Tentu dengan catatan dimainkan melalui cara yang tak lazim.

Agak mengejutkan setelah mengetahui ternyata perkembangan anti-kapitalisme sepak bola paling pesat justru terjadi bukan di negeri-negeri yang berhaluan “kiri”, melainkan di tanah kelahirannya sendiri: Amerika Serikat. Saya tak tahu apakah hal tersebut ironis atau tidak. Tetapi, jika diperkenankan untuk menilainya, saya kira semua ini terlihat seksi.

 

Komentar
Pemalas, penulis, pembangkang.