Kapitalisme Semu dan Kegagalan Swastanisasi Sepak Bola Indonesia

Membuka dasawarsa 1990-an, pada tahun 1990 LP3ES merilis sebuah buku yang berangkat dari penelitian Yoshihara Kunio berjudul Kapitalisme Semu di Asia Tenggara. Pemerintah Orde Baru meradang dengan penerbitan buku tersebut karena dianggap membandingkan Presiden Soeharto dengan diktator Filipina, Ferdinand Marcos. Buku tersebut sejatinya tidak hanya mengangkat tentang pembangunan ekonomi Indonesia, namun juga empat negara Asia Tenggara lainnya. Akhirnya, Kejaksaan Agung melarang penerbitan dan peredaran buku tersebut. Di kalangan mahasiswa 1990-an, buku tersebut beredar di bawah tangan dengan format fotokopi, serupa dengan buku–buku lain yang dilarang oleh pemerintahan Orde Baru.

Buku yang ditulis oleh Kunio berisi kritik terhadap praktik bisnis yang berlangsung di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurutnya, tidak ada kapitalisme murni dalam praktik ekonomi di Indonesia sebagaimana yang lazim ditemui di negara–negara maju. Di negara–negara Eropa Barat, di mana kapitalisme bermula, para pengusaha lebih mengandalkan inovasi dan kompetisi. Fenomena serupa juga terjadi di Jepang, di mana inovasi dan kompetisi menjadi nafas dalam kapitalisme yang menjadikan Jepang sebagai negara industri terdepan di Asia.

Berbeda dengan Eropa Barat dan Jepang, kapitalisme yang terjadi di Indonesia mengandalkan para kapitalis besar yang beroperasi dengan dukungan pemerintah. Mereka tidak dapat beroperasi tanpa dukungan pemerintah, sehingga inovasi dan kompetisi menjadi terabaikan. Banyak dari kapitalis yang demikian ini hanya mengandalkan para pemburu rente (rent seekers) dan bergantung pada koneksi pada pemerintah dengan memanfaatkan proteksi, lisensi bisnis atau monopoli kegiatan bisnis tertentu dari pemerintah. Corak yang demikian ini disebut oleh Kunio sebagai kapitalisme semu (ersatz capitalism).

Empat tahun setelah buku Kapitalisme Semu di Asia Tenggara terbit, sepak bola Indonesia mengalami perubahan format kompetisi, tatkala PSSI menggabungkan kompetisi Perserikatan dan Galatama ke dalam Liga Indonesia. Dalam bukunya, Kunio memang tidak menyentuh tentang sepak bola, namun tesisnya tentang kapitalisme semu bisa digunakan sebagai pisau analisis mengenai wajah sepak bola Indonesia pascaunifikasi dua format kompetisi.

BACA JUGA:  Proyek Harapan Palsu Stadion Mahakam Depok

Kompetisi Perserikatan dan Galatama (Liga Sepak Bola Utama) awalnya berjalan beriringan pada jalurnya masing–masing. Yang pertama disebut adalah kompetisi amatir yang diikuti perserikatan sepak bola di berbagai kota, di mana masing–masing perserikatan sepak bola ini memiliki klub–klub anggota. Klub-klub anggota ini adalah klub–klub amatir yang menyuplai pemain bagi tim Perserikatan. Sebagai sebuah identitas bagi daerah, tim Perserikatan banyak diisi oleh pejabat–pejabat pemerintah di daerah. Tentu ini juga tidak lepas dari filosofi pembinaan olah raga amatir di daerah, sehingga fasilitas di daerah juga banyak dimanfaatkan oleh tim Perserikatan. Sedangkan yang disebut kedua adalah klub semiprofesional yang dibentuk oleh perusahaan dengan modal dari para pendiri dan pemiliknya.

Musim pertama Liga Indonesia mempersuakan Persib Bandung (yang bisa dianggap mewakili Perserikatan) melawan Petrokimia Putra (yang menjadi representasi Galatama). Persib berhasil menjadi juara dan kini menjadi salah satu tim papan atas di Indonesia, sedangkan nama Petrokimia Putra kini tinggal kenangan setelah melakukan merger dengan Persegres Gresik. Padahal, klub eks-Galatama ini memiliki fasilitas mandiri, yakni Stadion Petrokimia Gresik. Bandingkan fasilitas yang dimiliki klub ini dengan klub–klub yang saat ini eksis dalam orbit sepak bola Indonesia.

Pascakawin silang Perserikatan dan Galatama, banyak dari klub–klub eks-Galatama yang tidak mampu bersaing dengan klub–klub eks-Perserikatan. Barito Putera, Arema, Semen Padang dan Pelita adalah segelintir klub eks-Galatama yang masih bertahan dengan beberapa di antaranya bertahan dengan mengandalkan koneksi dengan pemerintah daerah atau bahkan dengan elit klub yang berasal dari kalangan politisi dan birokrat.

Klub–klub eks-Perserikatan lebih mudah bertahan karena mereka bisa memanfaatkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), terutama karena elit klub yang memiliki koneksi dengan pemerintah di daerah, baik di eksekutif dan legislatif. Implikasi dari modus penggunaan dana APBD ini adalah tim dibentuk untuk jangka waktu satu tahun atau satu musim kompetisi karena umumnya dana APBD yang digunakan adalah dana hibah yang tidak bisa dianggarkan multi years. Tim eks-Galatama, seperti Petrokimia Putra, kelimpungan dan kolaps karena kalah bersaing dengan klub yang disusui APBD.

BACA JUGA:  Sepak Terjang PSIS di Kancah Internasional

Mengikuti tesis Kunio, jelaslah bahwa keinginan untuk memajukan sepak bola Indonesia ala Eropa dengan unifikasi Perserikatan dan Galatama justru menjadi buah simalakama. Dalilnya adalah bahwa adanya keinginan untuk memodernisasi sepak bola Indonesia dilakukan dengan memutar kompetisi di mana klub mengandalkan koneksi pada pemerintah dengan memanfaatkan proteksi pemerintah. Klub–klub pun bahkan masih menggunakan sarana milik pemerintah, seperti stadion, lapangan untuk berlatih, mes pemain dan sebagainya.

Tahun 2011, dalam situasi di mana kesadaran antikorupsi semakin menguat, terbitlah aturan Menteri Dalam Negeri yang melarang penggunaan dana APBD untuk sepak bola profesional. Pemerintah daerah yang awalnya jor–joran menggelontorkan dana hibah APBD menutup kran bantuan keuangan. Pemerintah daerah juga mulai mengenakan biaya atas pemanfaatkan fasilitas yang mereka miliki ketika ada klub yang memanfaatkannya dengan tujuan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Walaupun demikian, bukan berarti kapitalisme semu dalam sepak bola Indonesia benar–benar sirna. Elit klub di daerah beberapa di antaranya adalah birokrat dan politisi lokal dan nasional.

Dibangun di atas pondasi kapitalisme semu, sepak bola Indonesia terus dipaksa untuk menjadi sepak bola profesional. PSSI dengan klub–klub pendukungnya memosisikan diri sebagai “pihak swasta”, padahal dalam sejarahnya, dan sampai saat ini, masih ada peran pemerintah. Pada akhirnya, salah kaprah penggabungan kompetisi pada tahun 1994 ini implikasinya terus terasa sampai sekarang.

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.