Sepakbola Menyediakan Tempat bagi Perempuan

Maskulinitas yang ada di sepakbola membuat perempuan seringkali ditepikan dari olahraga yang satu ini. Padahal, perempuan juga memiliki hak untuk bermain sepakbola atau menonton pertandingannya. Saya sendiri merupakan satu dari sekian perempuan yang menggemari sepakbola.

Layaknya para lelaki, kaum Hawa pun jago mengolah si kulit bundar. Tak percaya? Silakan lihat aksi-aksi pesepakbola perempuan semisal Marta, Mia Hamm, Alex Morgan, Sun Wen, Homare Sawa sampai Vivianne Miedema.

Perihal fanatisme pun setali tiga uang. Entah terhadap suatu kesebelasan atau pesepakbola (umumnya yang rupawan dan punya skill ciamik) tertentu. Hal inilah yang kemudian memunculkan aliansi maupun faksi suporter perempuan.  Di ranah lokal, kita bisa melihat eksistensi Jak Angel (kelompok suporter perempuan Persija) atau Bonita (pendukung Persebaya dari kaum Hawa).

Sayangnya, saya tetap merasa bahwa dunia bersikap tidak adil kepada perempuan. Baik kepada pemain atau suporter, selalu saja terjadi tindak pelecehan. Alih-alih melihat skill pemain atau fanatisme suporter perempuan, sorak-sorai yang lahir untuk mereka lebih identik dengan perilaku seksis terkait paras atau bentuk tubuh.

Bahkan ada pula yang menganggap kalau mereka bermain sepakbola atau bernyanyi memberi dukungan dari tribun, maka si perempuan tak lagi punya harga diri dan kehilangan sisi feminimnya. Sebuah anggapan yang sungguh tak masuk akal. Ironis, di Indonesia cara berpikir seperti ini masih tumbuh subur.

Para perempuan seolah dilarang berolahraga dan didikte untuk lebih banyak di rumah buat mengurus rumah tangga. Orang-orang yang melakukan ini biasanya memegang dalih bahwa itu adalah kodrat perempuan. Kaum Hawa diperlakukan bak seekor burung peliharaan yang mesti berdiam di dalam sangkar.

Entah berapa banyak kasus pelecehan yang dialami pemain atau suporter perempuan kala beraksi maupun menonton pertandingan. Silakan tanya, berapa kali mereka mengalami tindak catcalling dari para lelaki yang tak tahu sopan santun?

BACA JUGA:  Piala Menpora: Oase di Tengah Pandemi Covid-19

Kian mengerikan, perbuatan seksis juga dipamerkan oleh komentator pertandingan di televisi. Saat kamera menyorot tribun yang diisi suporter perempuan, muncul ucapan seksis yang memalukan. Saya sendiri mendapati ini dalam laga Persita versus PSM pada 6 Maret 2020 silam. Jujur, saya geram dengan dua komentator pertandingan kala itu, Rama Sugianto dan Erwin Fitriansyah.

“Lihat ini dia. Saya melihat ada sesuatu yang menonjol tapi bukan bakat. Ada yang besar, tapi bukan harapan, Bung Erwin. Apa itu, Bung Erwin?”, ucap Rama.

“Perempuan-perempuan yang menghiasi tribun ini, ya”, ujar Bung Erwin.

Kita juga pasti masih ingat jelas kejadian yang dialami seorang gadis Iran, Sahar Khodayari, pada tahun lalu. Ia dilarang menonton sepakbola secara langsung di stadion. Alhasil, ia datang dengan menggunakan rambut palsu dan mengenakan mantel supaya terlihat seperti laki-laki agar diizinkan masuk ke stadion. Apes, aksinya tersebut ketahuan dan lantas divonis hukuman penjara selama enam bulan.

Tak terima dengan keputusan itu, Sahar melakukan perlawanan dengan membakar dirinya sebagai bentuk protes. Gara-gara hal tersebut, ia kehilangan nyawanya meski sempat dilarikan ke rumah sakit dan menjalani perawatan selama beberapa hari.

Pilu, sebab kematiannya tidak diberitakan oleh media resmi pemerintah Iran. Namun tragedi ini diketahui oleh induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) yang kemudian meminta larangan perempuan ke stadion dicabut oleh pemerintah Iran.

Mengutip pernyataan dari Amnesty Internasional, pihak berwenang Iran akhirnya mengizinkan kaum Hawa untuk menyaksikan pertandingan sepakbola di stadion semenjak Revolusi Islam yang terjadi di sana pada tahun 1979 silam. Tragis, hal itu mesti didahului nyawa yang hilang.

Sepakbola untuk semua tampaknya cuma jargon semata. Realitanya, ada banyak halangan yang didapat kaum Hawa dari olahraga yang satu ini. Baik dari sisi religi maupun sosial. Padahal, para perempuan juga memiliki hak untuk mengembangkan diri sesuai minat dan bakatnya.

BACA JUGA:  Flick, Klopp, dan Problematika Penghargaan Terbaik

Saya sendiri pernah mengejar mimpi menjadi pesepakbola. Rasanya menyenangkan sekali bisa menggiring atau menyepak bola. Berlarian dan berbagi kesenangan bersama mereka yang juga menggilai sepakbola. Tak peduli lagi dengan keringat yang bercucuran atau bau badan yang menyengat. Menikmati momen memenangkan laga atau justru bersabar akibat kekalahan yang diderita. Sayangnya semua harus terhenti di tengah jalan. Alasannya? Ah, sepertinya mudah ditebak.

Perkembangan sepakbola perempuan yang makin laju akhir-akhir ini merupakan kabar baik. Namun saya masih menyimpan rasa kecewa dan amarah bila perempuan yang bermain atau menonton sepakbola dilecehkan. Bagaimanapun juga, kami memiliki hak setara terkait sepakbola. Maka hormati dan dukunglah itu semua. Jangan bertingkah sebaliknya, terutama kaum Adam yang selama ini gemar menjadikan kaum Hawa sebagai objek semata.

 

 

Komentar
Mahasiswi semester akhir yang sibuk menatap layar komputer. Berusaha membiasakan diri menulis agar tidak menjadi mahasiswi jurnalistik yang durhaka. Bisa ditemui di akun twitter @hslindaboerhan.