Tragedi Paris Sebagai Ujian Bagi Suporter Sepak Bola

Pertandingan Prancis dan Jerman di Stade de France, Jumat (13/11) malam memasuki menit ke-20 ketika Patrice Evra merangsek di sisi kiri lapangan dan terdengarlah suara ledakan. Sempat terhenti sebentar, pertandingan akhirnya dimainkan sampai selesai dan dimenangkan tuan rumah dengan dua gol masing-masing oleh Olivier Giroud dan Andre-Pierre Gignac.

Tidak ada perayaan berlebih. Tidak ada euforia. Tidak ada gegap gempita dari suporter di stadion. Padahal Les Bleus baru saja mengalahkan sang juara dunia. Yang ada dan tampak malah puluhan ribu suporter turun dari tribun stadion dan merangsek untuk masuk ke dalam lapangan.

Ada ketakutan di sana. Ada raut cemas. Dan jelas, bukan seperti ini harusnya sepak bola dimainkan. Sepak bola semestinya bahagia dan menyenangkan. Bukan dirundung teror dan diselimuti ketakutan.

Saya masih menikmati Sabtu pagi yang tenang ketika rentetan pesan di Whatsapp menyadarkan bahwa ada yang salah dan brutal terjadi di Paris. Segera saya membuka internet dan menemukan hasil pencarian yang lantas membuat Sabtu (14/11) pagi berantakan.

Ada aksi teror di beberapa titik di ibukota Prancis yang menewaskan hampir 150 orang lebih. Tagar #PrayForParis bertebaran. Saya yang biasanya membenci gerakan tagar di media sosial dan mengutukinya sebagai aksi latah, kali ini, nurani dan emosi dipaksa untuk menjilat ludah sendiri. Saya berusaha menjadi manusia waras untuk kemudian melihat aksi teror sebagai sesuatu yang bengis dan amoral.

Ada nukilan dari buku Bumi Manusia milik Pramoedya Ananta Toer yang bertuliskan, “Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biar pun dia sarjana.

 Jelas kalimat ini apa yang dirasakan Pram, ketika kita, para manusia, entah waras atau tidak, menanggapi adanya sebuah tragedi kemanusiaan. Sepak bola sebagai sebuah permainan olahraga populer di kolong langit pun tak lepas bersinggungan dengan hal ini.

BACA JUGA:  Belanda yang Penuh Masalah

Saya belum lahir ketika tragedi Heysel atau Hillsborough terjadi. Lalu ada pula kisah pilu Superga yang menimpa skuat Torino dan tragedi Munchen yang menimpa pasukan Manchester United di bawah Sir Matt Busby.

Saya tidak mengalami itu semua, hanya membaca cerita itu dari penuturan orang ketiga. Dari esai dan artikel yang tersebar di dunia maya. Namun, ketika kemudian saya ikut bersedih dan merayakan dengan sendu rasa kehilangan yang sama karena kisah-kisah tragis tersebut, apakah itu reaksi berlebihan?

Tiap kali membicarakan sepak bola yang harusnya menyenangkan dan menggembirakan, esai-esai Eduardo Galeano dan cerita Nick Hornby di Fever Pitch kembali menyeruak di ingatan. Galeano dan Hornby memperlakukan sepak bola sebagai sebuah media terbaik untuk bersenang-senang dan jatuh cinta.

Galeano bahkan memperlakukan sepak bola sebagai sebuah olahraga yang begitu lekat dengan romantisme dan keajaiban. Untuk permainan Enzo Francescoli yang begitu diidolakannya. Untuk kenikmatan menonton bocah-bocah kecil yang tertawa riang sambil berlarian dengan bola.

Dunia begitu cepat berubah, dan bebal serta banalnya kualitas pemikiran manusia membuat sepak bola di dunia modern tidak akan pernah bisa seromantis seperti yang selalu dituliskan Eduardo Galeano.

Untuk para pemain sepak bola yang lapangan tempat bermainnya dirundung konflik bersenjata berkepanjangan. Untuk para pesepak bola Palestina dan Irak yang hampir tiap waktunya diwarnai desing peluru dan ledakan bom.

Pada 2013 lalu, sebuah bom pernah diledakkan di sebuah stadion di dekat Baghdad yang menewaskan lima orang, tiga di antaranya adalah pemain sepak bola dan dua lainnya adalah penonton.

Untuk para pesepak bola Afrika yang kemudian negaranya harus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk perang saudara dan membuat sepak bola sebagai mimpi yang tak mungkin terwujud. Jangankan bisa berlari dan menendang bola, untuk bisa hidup esok hari saja sudah nikmat yang begitu besar. Karena sepak bola tidak selalu senyaman dan senikmat yang tampak di liga-liga Eropa.

BACA JUGA:  Takdir Matthias Jaissle

Kemanusiaan dalam sepak bola ibarat sesuatu yang memang saya akui perlu dipicu. Karena sepak bola kemudian dipandang sebagai sebuah cara untuk bersenang-senang, memang sebaiknya seperti itu kemudian para suporter melihat dan menikmati sepak bola. Untuk merasakan euforia. Untuk merasakan gegap gempita stadion saat tim pujaan menang.

Sepak bola ada, untuk membuat manusia merasakan bahagia. Hingga kemudian muncul sebuah teror untuk kemanusiaan. Teror itu ada untuk memicu kewarasan kita sebagai manusia. Karena kita menjadi manusia terlebih dahulu, sebelum menjadi seorang suporter sepak bola.

Kita mengesampingkan euforia kemenangan dan nikmatnya perayaan gol untuk sejenak merasakan apa yang mengoyak kemanusiaan. Teror kemanusiaan di dalam sepak bola itu ada untuk menguji kita, menguji Anda dan saya, bahwa kita ini seorang suporter bola yang waras atau tidak sebagai manusia?

Tidak perlu merasa malu atau sungkan untuk merasa menjadi bagian dari warga Paris yang sedang berduka. Anda dan saya hanya mencoba menjadi manusia yang waras. Itu saja. Karena seperti halnya kemanusiaan, sepak bola pun milik semua orang yang mencintainya.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.