Adagium “sepakbola merupakan bahasa universal” memang benar adanya. Tanpa harus menguasai berbagai bahasa, cukup sering kita temui bagaimana para pemain dalam satu tim saling terkoneksi. Mauro Pochettino asal Argentina juga pernah berkata demikian saat menukangi Southampton. Periode 2013/2014, Pochettino belum fasih berbahasa inggris, sementara skuad The Saints didominasi oleh pemain domestik. Ia sempat diragukan oleh para fans terkait cara pendekatannya ke pemain. Pochettino menggunakan jasa interpreter kala itu baik saat interview, latihan, dan pertandingan.
Perkataannya memang klise, namun benar adanya. Pochettino mampu membawa Soton merangsek ke papan tengah saat berada di bawah komandonya. Namun seiring waktu berjalan, menguasai bahasa lain menjadi sebuah kewajiban bagi para pesepakbola di masa sekarang. Pemahaman taktik menjadi urgensi agar setiap pelatih dan pemain mau belajar bahasa universal yang digunakan dalam sebuah tim. Hal itu juga karena sepakbola modern semakin kompleks dan dinamis sehingga aspek komunikasi menjadi kunci utama agar transfer pemikiran antar pemain maupun dengan pelatih berjalan dengan semestinya.
Legenda Liverpool, Michael Owen mengalami kendala tersebut saat berseragam Real Madrid. Membela klub yang berada di jantung negara Spanyol, Owen dituntut untuk menguasai bahasa latin yang mayoritas digunakan sebagai bahasa universal penggawa El Real. Owen pun mengakui bahwa kendala bahasa menjadi salah satu faktor kunci penurunan kariernya saat berada di skuad Los Galacticos besutan Jose Antonio Camacho. Di sisi lain, ia juga cukup terkejut bagaimana para pemain bintang bisa bersatu dalam sebuah ikatan permainan.
Ternyata, kemampuan intelegensia seorang mega bintang menjadi sebabnya. Seorang pemain hebat kadang tak terlalu memusingkan batasan budaya tersebut. Ambil contoh eks gelandang Arsenal bersinar di awal 2000-an, Robert Pires. Dikutip dari situs Bleacher Report, pada 2003 Pires sempat mengatakan dalam sebuah interview, “Saya sangat ingin belajar (Bahasa Inggris), namun dalam 3 tahun, saya tidak menemukan waktu yang tepat.” Satu contoh kasus yang sangat wajar mengingat Pires selalu menjadi pilihan utama Arsene Wenger di tiap pertandingan.
Dengan demikian, belajar bahasa baru tak menjadi prioritasnya mengingat saat itu di skuad Arsenal juga diisi oleh para pemain Prancis macam Henry, Vieira, Clichy, hingga Anelka. Namun ia tetap menegaskan bahwa pemahaman bahasa asing tetap perlu bagi para pesepakbola. Contoh lain kita tentu sering menyaksikan bagaimana transformasi Cristiano Ronaldo muda yang dibantu Gary Neville saat post match interview pertamanya, kini telah menjadi bintang tak hanya di sepakbola dengan kemampuan Bahasa Inggris yang mumpuni.
@footballfandom_id Hanno Behrens sudah bisa ngomong “lo gue”? #hannobehrens #persija #footballfandom #fyp
Terkini penggemar sepakbola Indonesia dibuat terkesan dengan kemampuan Bahasa Indonesia Hanno Behrens dalam sebuah wawancara atau kecepatan De Ligt dalam menguasai Bahasa Jerman dalam waktu singkat sejak ia pindah ke Bayern Munchen. Pesepakbola sebenarnya bisa saja berkomunikasi secara non verbal menggunakan gestur, tapi lebih rawan miskomunikasi jika dibandingkan dengan bahasa verbal. Untuk itu, kini hampir tiap pemain yang melancong ke luar negaranya tak hanya memiliki seorang interpreter, namun juga berguru pada seorang yang bisa mengajari mereka bahasa setempat seperti halnya yang dilakukan oleh Behrens.
Sepakbola juga memungkinkan para pelatih, pemain, dan seluruh insannya punya kesempatan untuk menguasai banyak bahasa berbeda dari belahan dunia. Beberapa pelatih dan pemain dikenal sebagai poligot karena menguasai beberapa bahasa. Seperti eks kiper Chelsea, Petr Cech yang fasih berbicara lima bahasa. Sebagai penjaga gawang, ia punya tanggung jawab untuk menjadi komando lini pertahanan, untuk itu ia berbicara Bahasa Inggris kepada Per Mertesacker, berkomunikasi dengan Bahasa Spanyol saat memberikan instruksi untuk Hector Bellerin dan Nacho Monreal, serta kadang juga berbicara Bahasa Prancis saat sedang bersama Laurent Koscielny. Sedangkan ia juga menguasai Bahasa Ibu-nya yakni Bahasa Ceko dan fasih berbahasa Jerman.
Seorang Jose Mourinho bahkan mendapat julukan “The Translator” berkat kemampuannya berbahasa Inggris, Spanyol, Italia, Prancis, Catalan, dan Inggris. Semua itu ia dapatkan setelah melanglang buana sebagai penerjemah dan melatih berbagai klub dari banyak negara. Kemampuan itu juga menjadi salah satu faktor penyebab bagaimana ia dikenal pintar dalam melakukan pendekatan dan memotivasi para pemain. Jadi, apakah pesepakbola wajib menguasai bahasa lokal tempat ia bermain, atau cukup mahir berbahasa Inggris saja?