“Satu hal yang jelas, sepakbola akan tetap menjadi bagian penting dalam hidup saya,” tegas Franck Ribery saat mengumumkan keputusan gantung sepatu di usia 39 tahun. Bola dan Ribery adalah satu kesatuan. Si kulit bulat terus melekat di kakinya saat menjelajahi sektor sayap, tempat yang paling nyaman baginya untuk memainkan bola.
Ketika pertama kali mendarat di Bayern Muenchen pada Juni 2007, Iphone generasi pertama baru diluncurkan oleh Steve Jobs lima bulan sebelumnya, sedangkan trefik di media sosial belum sekencang sekarang. Jika karier 12 musimnya bersama The Bavarian terjadi di masa kini, Ribery bisa-bisa memenuhi timeline dengan cuplikan aksi dribble-nya mengacak-acak pertahanan lawan.
Luka Membekas dan Pembentukan Karakter
Ia mendapat julukan The Scarface. Semua orang tahu mengapa pemain kebangsaan Prancis itu dijuluki demikian. Namun, tak semua orang memahami dari mana luka di wajahnya berasal dan mengapa ia tak pergi ke dokter gigi. Ribery mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan. Saat masih berusia dua tahun, ia bersama keluarga terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil parah.
Mobil yang ia tumpangi menabrak truk sehingga Ribery kecil yang duduk di bangku belakang terlempar melalui kaca depan saat terjadi tabrakan. Ia mendapat lebih dari seratus jahitan tepat setelah kecelakaan yang kemudian dengan bangga ia pertahankan sampai sekarang. “Saya bangga dengan luka ini, karena itu memberi saya kekuatan dan menempa karakter. Tuhan memberi saya perbedaan ini,” ungkap Ribery ketika ditanya soal bekas luka di sisi kanan wajahnya itu.
Toh hal itu sama sekali tak mengganggu performanya di lapangan. Ia tetap cepat dan sangat menakutkan untuk bek-bek lawan. Determinasi serta sikapnya sebagai seorang profesional juga mendapat pengakuan, sehingga Ribery tak perlu banyak tingkah untuk mengincar pembuktian. Pep Guardiola pernah mengungkapkan opininya terhadap sikap Ribery yang selalu bekerja keras untuk tim.
“Saya tidak pernah melihat seorang pemain di level ini dengan karakter seperti demikian, bagaimana dia berjuang untuk tim, itu menjadi suatu kehormatan untuk saya sebagai pelatihnya,” ujar Guardiola saat masih menukangi Muenchen.
Kaki-kaki Cepat dan Penggila Kecepatan
“A Ferrari in the Bayern shirt,” puji Zinedine Zidane untuk Franck. Selain kecepatannya di atas lapangan, Ribery juga penggila kecepatan saat berada di lintasan. Ia cinta setengah mati dengan mobil dan motorsport. Suatu waktu, Ribery turut berpartisipasi sebagai co-pilot dalam agenda DTM, sebuah ajang balap mobil turing di Jerman. Menggunakan Audi A4, ia akhirnya berkesempatan merasakan bagaimana rasanya melaju kencang dengan kecepatan 100 km/jam hanya dalam waktu 2.8 detik.
Di atas lapangan, kecepatan rata-ratanya mencapai 30,7 km/jam. Namun, bukan hanya kecepatan yang menjadi kekuatan Ribery, melainkan juga ketangkasan dan kelincahannya untuk mengubah arah saat membawa bola. Jika tidak ada Ronaldo-Messi yang mendominasi sepakbola, sangat mungkin bagi Ribery untuk memenangkan Ballon d’Or pada 2013 lalu.
https://twitter.com/ChampionsLeague/status/1583423502337523712
Musim itu, Ribery sedang berada di puncak kariernya. Setelah berkutat dengan cedera dan masalah di kehidupan pribadi pada 2010, Ribery kembali menghadirkan sihir terbaiknya di sepakbola. Ia begitu dicintai para fans, terlebih setelah mempersembahkan gelar Liga Champions usai mengalahkan Borussia Dortmund di final. 12 gol dan 21 assists lahir dari kaki-kaki cepatnya saat itu. Ribery bahkan tak ragu mengklaim bahwa kala itu, dirinya adalah pemain terbaik di Eropa. Selain bertengger di urutan ketiga Ballon d’Or, konsistensinya mendulang penghargaan UEFA Best Player in Europe 2012/2013 dan masuk di jajaran FIFPro World XI for 2013.
Kelahiran dan Kebangkitan Robbery
Di tahun yang sama, julukan Robbery, Robben & Ribery kembali tinggi mengudara untuk penguasa dua sektor sayap Bayern Munchen. Bisa dibilang saat itu The Bavarian memiliki duet winger terbaik di dunia yang siap menggempur pertahanan lawan dari kedua sisi. Sang pemain menjadi pengangkat performa tim. Kontribusinya untuk Munchen luar biasa. Selain gol dan assist, Ribery juga mahir soal penciptaan peluang. Ia menjadi pemain dengan angka chances creation tertinggi, yakni 86 kali atau seperlima dari total chances creation Bayern Munchen di musim itu (data Squawka.com).
29 Agustus 2009, saat Bayern Muenchen menjamu Wolfsburg di Allianz Arena, Robben dan Ribery untuk pertama kali berbagi peran di kedua sayap The Bavarian. Sebuah aksi serangan balik cepat dimotori oleh Robbery yang akhirnya berbuah gol kedua dan ketiga untuk kubu Muenchen. Keduanya melakukan selebrasi bersama dan tepat setelah itu Robbery lahir ke dunia. “Itu sebuah chemistry, sinergi, dan secara otomatis terjadi begitu saja,” kesan Robben tentang duetnya dengan Ribery di atas lapangan dan sebagai sebuah persahabatan yang disatukan oleh sepakbola.
Tak Ingin Berpisah dengan Sepakbola
Muenchen adalah rumah bagi Ribery. Selama 12 tahun keluarganya menetap di Grunwald, pinggiran kota rimbun yang terletak di tepi Sungai Isar. Bersamaan dengan masa tinggalnya yang lama sebelum hengkang ke Italia, 17 trofi mayor berhasil dikoleksi sebagai pendanda karier cemerlang The Great Ribery, terdiri dari 9 gelar Bundesliga, 6 trofi DFB-Pokal, 1 piala Si Kuping Besar, dan 1 kali juara Piala Dunia Antar Klub.
Ribery dan sepakbola tak akan berpisah begitu saja. Setelah berkutat dengan cedera selama di Salernitana, Ribery memutuskan pensiun di usia 39 tahun dan akan melanjutkan karier sebagai staf kepelatihan di klub Serie A tersebut. Adalah Carlo Ancelotti dan Jupp Heynckes yang menjadi inspirasinya sebagai juru taktik. Dua eks pelatih top tersebut juga sempat menangani The Bavarian dan menjadi saksi kehebatan sang winger ajaib. “Alhamdulillah,” tulis Ribery di akhir kalimat perpisahannya.