Cahaya Berpendar Riyad Mahrez

Riyad was too small and very frail. He wasnt quick. Hes too slow and not good enough tactically. At 12-17 years age, it was hard time for him.

Ucapan itu dikutip dari Mohamed Coulibaly saat wawancara dengan Daily Mail (23/4), ia seorang direktur olahraga dari sebuah klub sepak bola kecil di pinggiran Paris bernama Sarcelles.

Kandang Sarcelles hanya sekitar beberapa kilometer saja dari Stade de France. Sarcelles juga tempat Riyad Mahrez lahir dan tumbuh besar. Ia seorang Parisien, sebuah alasan mengapa ia bersama NGolo Kante sangat padu dan cocok satu sama lain.

Tidak ada yang menduga, Mahrez kecil akan bertransformasi menjadi bintang besar musim ini. Musim lalu, Nigel Pearson masih rutin memainkannya sebagai pelapis untuk mengisi posisi pengatur serangan di belakang duet Leonardo Ulloa dan Jamie Vardy.

Posisi itu bukan mutlak milik Mahrez. Ia bersaing dengan Andy King yang lebih banyak dimainkan di posisi itu sebelumnya. Mahrez bukan pilihan utama, mungkin, mengingat ia bertubuh kecil dan sedikit horor membayangkannya berduel dengan Vincent Kompany.

Siapa sangka, beberapa bulan lalu, si kecil kurus dari Aljazair sukses mempecundangi Vincent Kompany dan mengantar Leicester City menghantam Manchester City di Etihad (6/2). Mahrez membuat 1 gol dan 2 asis kala itu untuk mempersembahkan kemenangan 1-3 bagi Leicester dari sang tuan rumah yang juga pesaing juara Liga Inggris.

Dan jangan lupa, satu lengkungan cantiknya ke gawang Chelsea (15/12), usai memperdaya Cesar Azpilicueta menghasilkan kemenangan 2-1 bagi Leicester dan sukses mengantarkan Jose Mourinho menemui senjakalanya bersama sang juara bertahan musim ini.

Sayup-sayup ada suara sumbang yang mengkritisi kegemilangan Mahrez. Pemuda Paris yang karier juniornya di Perancis begitu sulit ini, disebut-sebut hanya akan memiliki satu musim yang gemilang bersama Leicester City. One season wonder, they said.

Tapi mereka lupa, tidak ada sensasi semusim yang mampu sedemikian gemilang dan akhirnya berhasil merebut gelar PFA Player of The Year. Gelar prestisius yang sama yang pernah diraih Thierry Henry, Luis Suarez hingga Eden Hazard tahun lalu.

BACA JUGA:  Analisis Pertandingan Liverpool 1-0 Leicester City: Liverpool Superior di Tengah Namun Tidak Dimanfaatkan Secara Maksimal

Apakah layak? Dengan gelontoran 17 gol di liga dan 11 asis. Ditambah catatan Leicester tengah unggul 8 angka dari Tottenham Hotspur dengan sisa tiga laga, hanya Tuhan yang bisa menggagalkan Mahrez merebut gelar individu tersebut musim ini.

Jadi, dia sangat layak menerima penghargaan tersebut. Mahrez kini merupakan pemain asal Afrika (berpaspor Aljazair) pertama yang meraih PFA Player of The Year.

***

Riyad is our light. When he switches on, he changed our color.

Ucapan Claudio Ranieri di konferensi pers jelang laga melawan Swansea City hari Minggu (24/24) bukan sekadar bualan belaka. Mahrez bukan hanya lilin kecil yang bersinar di ruangan kecil, ia cahaya terang yang kilaunya membantu Jamie Vardy bersaing memperebutkan gelar top skor dengan Harry Kane dan Sergio Aguero.

Tipikal needle player yang mampu berkontribusi maksimal ketika dibutuhkan. Ia punya banyak hal, walau tidak memiliki segalanya seperti Lionel Messi.

Mahrez seorang kidal, kaki kirinya luar biasa mumpuni. Ia licin, seorang pemain sayap modern yang mampu bermain cuts inside dengan baik dan mampu mengirim umpan silang serta through pass dengan baik.

Umpan terobosannya untuk Jamie Vardy mengantarkan sang kawan menembus rekor Ruud Van Nistelrooy dengan mencetak 11 gol beruntun saat melawan Manchester United.

Pemain sayap, dengan kemampuan sama baiknya dalam memberi umpan silang dan umpan menyusur tanah. Sebuah kombinasi yang menakjubkan, anomalinya lagi, ia bukan seseorang dari Brasil atau Argentina yang tersohor sangat tricky dan licin, ia juga bukan orang Spanyol atau Italia yang menawan dan mempesona secara taktikal.

Mahrez, bocah Paris yang membela Aljazair. Tanah leluhur salah satu legenda besar Prancis, Zinedine Zidane. Tapi, mulai musim ini, Aljazair bukan hanya tentang Zidane, Mahrez, bocah kurus berkaki kidal itu tengah mengukir namanya menjadi sejarah yang layak dikenang dengan baik.

BACA JUGA:  Keajaiban Leicester City

Publik boleh gegap gempita dengan melejitnya pemain akademi macam Marcus Rashford dan Alex Iwobi untuk Manchester United dan Arsenal. Atau Lionel Messi yang melejit lewat La Masia.

Tapi Mahrez menawarkan cerita yang lain. Prancis, usai era Michel Platini dan Zinedine Zidane, mengutamakan kultur di akademi pemainnya dengan pendekatan fisik dan sangat strict.

Tidak heran, mereka menelurkan banyak pemain bertipikal keras dan kuat. Patrick Vieira, Claude Makelele hingga NGolo Kante, adalah sedikit gambaran bagaimana akademi di sepak bola Perancis tidak mengedepankan teknik dan olah bola yang baik.

Memang, tidak semua pemain dari akademi di Prancis akan seperti itu, Paul Pogba dan Anthony Martial, misalnya. Tapi sebagian besar, sistem akademi di Prancis banyak menelurkan gelandang tahan banting berkualitas yang menjadi tulang punggung tim dengan kualitas spartan dan mobilitasnya yang tinggi di lapangan.

Mahrez adalah cerita tentang seorang bocah kurus yang berjuang menembus akademi sepak bola di Prancis yang berjalan dengan pendekatan fisik yang kental. Dan ia gagal. Ia bertubuh kecil ketika remaja, fisik yang tak mumpuni untuk beradu dengan sistem yang dijalankan di Negeri Napoleon itu.

Lain soal kalau ia tumbuh di La Masia, masalahnya, Mahrez bukan Messi. Tapi, saat ini, ia setidaknya berada di satu titik yang sama dengan Messi. Ia bersiap meraih gelar liga yang sudah sangat dekat di depan mata. Bukan dengan tim kaya yang besar, tapi dengan Leicester City dan dinahkodai seorang pelatih medioker dengan riwayat pecundang yang panjang.

Konon, Mahrez kecil begitu mendambakan bermain untuk Barcelona. Bukankah menarik, ketika nantinya ia sukses membawa Leicester juara di Inggris, si kidal dari Sarcelles ini akan pindah bermain di Catalan bersama makhluk asing dari Argentina yang tak perlu disebutkan namanya itu?

Dongeng yang kelewat sempurna untuk seorang pemain dari tanah Afrika.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.