Usai mengalami #Brexit kedua dalam satu pekan terakhir, skuat The Three Lions sudah kembali ke kampung halaman dalam rangka arus mudik yang memang sedang mengalami titik puncaknya dalam seminggu terakhir ini dan dalam seminggu ke depan nanti jelang hari raya Idul Fitri.
Pulangnya Inggris lebih awal dari Piala Eropa 2016 adalah berkah Ramadan, setidaknya, rombongan mereka tidak akan terjebak kemacetan arus mudik andai pulang usai fase perempat final atau semifinal, misalnya.
Dalam setiap turnamen akbar, hal termudah dan paling enak dilakukan adalah menonton timnas Inggris bermain, dan mencari kesalahannya di setiap pertandingan. Mengejek Inggris adalah kenikmatan yang hakiki.
Megah dan mewahnya Liga Primer Inggris adalah motivasi utama untuk membenci dan menyimpan rasa iri untuk Inggris dan kesebelasan sepak bolanya.
Faktanya sudah jelas memang, sejak zaman dahulu kala, bahkan dijelaskan berkali-kali oleh banyak penulis bola internasional, Inggris memang tidak pernah menjadi negara sepak bola yang besar secara prestasi.
Kalau besar secara popularitas, jelas benar, karena liga Inggris adalah liga populer dan sangat menarik untuk ditonton dan dinikmati. Kaki-kaki beterbangan, tekel keras terjadi jauh lebih banyak daripada di Italia, hingga permainan ala kick and rush yang cepat dan menghentak, namun tak jarang, membosankan.
Itu masih belum menghitung perputaran uang dan pembagian nilai kontrak hak siar tim-tim di Inggris yang nominalnya jauh lebih besar dari yang diterima beberapa klub di liga lain di Eropa.
Menelaah arus perputaran uang dan besarnya kontrak dan gaji-gaji pemain di Inggris itu menjadi magnet utama untuk mengarahkan pandangan ke liga di negeri monarki konstitusional ini.
Kita akan dengan mudah berkomentar dan nyinyir tentang kenapa pemain yang mulai mengalami kebotakan di kepalanya dan bermain buruk sepanjang musim 2015/2016 bisa digaji 300 ribu poundsterling.
Atau mengapa Theo Walcott yang biasa saja itu bisa memiliki gaji yang lebih tinggi dari N’Golo Kante. Perihal kontrak dan gaji pemain adalah isu seksi dalam pembahasan sepak bola. Itulah kenapa orang akan selalu membicarakan Inggris dan liganya.
Kenapa Inggris gagal (lagi)?
Ketika Martin Glenn, chief executive FA (PSSI-nya Inggris) sampai berujar “I’m not football expert”, orang harusnya sadar bahwa sepak bola Inggris ini memang kelasnya masih setara Indonesia.
Bedanya, Inggris jauh berkali-kali lebih matang dan mapan dalam mengurus liganya dan sukses menghasilkan salah satu liga sepak bola paling populer di dunia. Saya tekankan ya, paling populer, bukan paling baik. Lagipula, baik atau tidaknya liga sepak bola di dunia itu relatif.
Usai mundurnya Roy Hodgson, yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang ia lakukan bersama timnas, FA harusnya paham bahwa permasalahan laten di sepak bola Inggris ini sama dengan yang dialami Indonesia. Sama seperti La Nyalla Mataliti, saya rasa, dalam satu dan banyak hal, Martin Glenn ini memiliki komparasi yang mirip dengan pemimpin tertinggi PSSI itu.
Mereka sama-sama buta sepak bola. Memiliki minat utama pada bisnis. Hanya bedanya, yang satu mampu menghasilkan iklim kompetisi yang sehat, sedangkan yang satunya lagi sukses menghasilkan siklus korupsi yang masif dan sistematis.
Dari sini, kita patut paham bagaimana sepak bola Inggris bisa berjalan dan tumbuh berkembang seperti ini. Ini masih ditunjang dengan pola kelola di media-media Inggris yang nyatanya, masih begitu-begitu saja dan tidak pernah belajar dari pengalaman.
Sejak era kegelapan timnas Inggris di tangan Steve McClaren dan direplika dengan baik oleh rezim Roy Hodgson, media Inggris masih saja dengan sporadis memunculkan nama-nama calon pengganti Hodgson dengan deretan pelatih yang medioker dan berpotensi menjadikan Inggris bermain seperti timnas sepak bola Kepulauan Faroe.
Dari segelintir nama yang dimunculkan media, tersebutlah nama-nama seperti Gareth Southgate, Alan Pardew, Harry Redknapp, Steve Bruce bahkan Sam Allardyce dan Gary Neville yang hancur lebur karier melatihnya bersama Valencia musim lalu.
Pertanyaannya sederhana, kenapa tidak sekalian menunjuk Tony Pulis dan membuat Inggris memainkan sepak bola ala Pulis yang luar biasa hebat itu? Kalau ingin membuat timnas yang semakin medioker, FA harusnya paham, mereka tidak perlu setengah-setengah.
Isu pelatih adalah satu isu, isu lainnya, adalah pemain. Hodgson memang sangat layak disalahkan karena performa Inggris dan kapabilitas taktikalnya yang busuk, tapi apakah pemain tidak berkontribusi menjadikan kesebelasan Inggris bermain buruk?
Harry Kane misalnya, menjadi penyerang tunggal dan dijadikan tumpuan serangan, top skor Liga Inggris musim lalu ini tampil mengecewakan dan gagal mencetak gol dalam empat pertandingan di Euro. Alasan kebugaran dan kelelahan yang dikemukakan media Inggris pun terkesan konyol.
Kane “hanya” bermain dalam 50 pertandingan dan tidak berkompetisi terlalu jauh di kompetisi Eropa bersama Tottenham Hotspurs. Bandingkan dengan Antoine Griezmann yang bermain 54 kali bersama Atletico Madrid, ditangani oleh Didier Deschamps yang notabene bukan tactical genius, dan masih bisa mencetak tiga gol dan bersaing untuk menjadi top skor Piala Eropa tahun ini.
Sekadar trivia, Griezmann bahkan telat bergabung bersama skuat Prancis karena dispensasi usai membela Atleti di final Liga Champions Eropa melawan Real Madrid.
Kalau alasan kelelahan dijadikan kambing hitam dan satu-satunya excuse, mungkin ya, mungkin, FA perlu menghapus jadwal Boxing Day dan mulai mengenalkan istilah jeda musim dingin bagi kompetisi di Liga Primer Inggris.
Bagaimana Inggris ke depannya?
Solusi bagi Inggris hanya dua, bermain pragmatis atau belajar memainkan sepak bola secara taktis.
Untuk solusi pertama, FA tidak perlu repot. Mereka tinggal menempatkan salah satu diantara Tony Pulis atau Sam Allardyce untuk menangani timnas.
Reputasi mereka bermain pragmatis dan menyelamatkan tim masing-masing dari jerat degradasi adalah CV yang cocok untuk menjadikan Inggris timnas yang membosankan, pragmatis, dan rentan diejek oleh Justin Lhaksana.
Lagipula, Pulis mampu bermain sepak bola ala rugby dan menjadikan kemantapan fisik sebagai senjata utama, cocok dengan konsep sepak bola Inggris yang terkenal keras, banal dan medioker. Setelah itu, FA hanya perlu berharap Inggris tak bermain seperti timnas Kepulauan Faroe atau Gibraltar.
Solusi kedua, bermain taktis. Ini solusi yang susah-susah gampang, mengingat jumlah pelatih bagus yang ada di pasaran mulai menipis.
Arsene Wenger, nama yang banyak disebutkan oleh Telegraph dan Mirror, bukan nama yang cocok. Arsene memang bagus, tapi itu dulu, di era Inggris masih memiliki Paul Gascoigne.
Sekarang, beliau telah kehabisan midasnya dan tidak memiliki kapabilitas taktik yang ciamik dan inovatif. Sudah ada buktinya dengan puasa gelar Liga yang dialami Arsenal dalam satu dekade terakhir. Inggris sudah terlalu lama tanpa gelar dan Arsene bukan solusi apik.
Beberapa pelatih yang sempat menganggur pun mulai menemukan klub, seperti Jorge Sampaoli di Sevilla, Marcelo Bielsa yang merapat di Lazio hingga Unai Emery yang sudah dipastikan berlabuh di Paris Saint-Germain untuk musim depan.
Sebenarnya, ada nama Eddie Howe yang cukup bagus secara taktikal dan masih belia, namun untuk menangani Inggris dan ekspektasi publiknya yang besar, Howe jelas lebih cocok untuk berkembang dulu lebih jauh bersama AFC Bournemouth.
Ada satu nama pelatih bagus yang masih jobless dan potensial untuk menangani Inggris, yaitu Lucien Favre. Rekam jejaknya bagus di Borussia Moenchengladbach, walau tidak memiliki catatan gelar yang memadai. Tapi kalau FA benar-benar ingin solusi yang mampu mengubah Inggris menjadi tim yang lebih taktis, Favre adalah nama yang patut dicoba.
Tapi, di atas semua fakta itu, karena satu dan lain hal, sebagai pendukung timnas Inggris, saya akan sangat antusias andai FA memilih nama Jose Mourinho. Iblis Valak dari Setubal ini paling paham cara menjadi juara dibanding siapa pun di dunia kepelatihan modern saat ini.
Ia membosankan, arogan dan bebal. Tiga sifat yang sangat British. Dan terlebih lagi, Jose paham benar kultur sepak bola Inggris. Sayangnya, pria flamboyan ini sudah mengikat kontrak dengan iblis satu lagi dari neraka, dan itu berarti, quest untuk mencari pelatih timnas yang tepat untuk Inggris masih akan sangat terjal.